Aku bertemu dengannya, seseorang yang menarik perhatianku lebih dari yang lainnya, seseorang yang memporak-porandakan jagat rayaku dengan cara yang manis setelah seseorang yang lain mematahkan hatiku dengan tega. Dengan manisnya dia  memperlakukanku atau mungkin saja dia memang baik pada semua orang,tapi entahlah. Terlepas dari perkiraan itu, jujur aku telah jatuh hati padanya, sejak rapat Osis yang pertama. Kegiatan Osis adalah hal yang paling kutunggu, kau tau kenapa karena itulah kesempatan untukku lebih dekat memperhatikannya tak seperti biasanya yang aku hanya bisa dari kejauhan. Aku yang sedikit malu menyapanya ketika kita berpapasan -padahal setiapkali aku keluar kelas mataku selalu mencari-cari keberadaannya-.
"Hei, Ari" sapaku,
"Hei" balasnya dengan menaikkan alis kanannya sambil tersenyum.
"Meskipun hanya hal sepele semacam itu, ada debar-debar tak menentu dalam dadaku. Benar apa yang orang lain katakan bahwa bahagia itu sederhana, sesederhana melihat senyummu, Ari." kataku dalam hati, mana berani aku mengatakan langsung padanya.
Dia layaknya imigran yang terus menyelundup dalam mimpiku, bak gasing yang terus berputar dalam pikiranku. Ia yang semakin sering mengirimi ku pesan pada malam menuju larut, sekedar ucapan selamat malam, lalu ia menceritakan tentang harinya, dan aku bercerita tentang kekagumanku padanya, sesekali ia juga mengirimi puisi (walaupun aku tau bukan dia yang membuatnya), begini isinya.
"Milea"
Bolehkah aku berpendapat?
Ini tentang dia yang ada di bumi
Ketika Tuhan menciptakannya
Kukira Dia ada maksud pamer
      Dilan, Bandung 1990