Aku bertemu dengannya, seseorang yang menarik perhatianku lebih dari yang lainnya, seseorang yang memporak-porandakan jagat rayaku dengan cara yang manis setelah seseorang yang lain mematahkan hatiku dengan tega. Dengan manisnya dia  memperlakukanku atau mungkin saja dia memang baik pada semua orang,tapi entahlah. Terlepas dari perkiraan itu, jujur aku telah jatuh hati padanya, sejak rapat Osis yang pertama. Kegiatan Osis adalah hal yang paling kutunggu, kau tau kenapa karena itulah kesempatan untukku lebih dekat memperhatikannya tak seperti biasanya yang aku hanya bisa dari kejauhan. Aku yang sedikit malu menyapanya ketika kita berpapasan -padahal setiapkali aku keluar kelas mataku selalu mencari-cari keberadaannya-.
"Hei, Ari" sapaku,
"Hei" balasnya dengan menaikkan alis kanannya sambil tersenyum.
"Meskipun hanya hal sepele semacam itu, ada debar-debar tak menentu dalam dadaku. Benar apa yang orang lain katakan bahwa bahagia itu sederhana, sesederhana melihat senyummu, Ari." kataku dalam hati, mana berani aku mengatakan langsung padanya.
Dia layaknya imigran yang terus menyelundup dalam mimpiku, bak gasing yang terus berputar dalam pikiranku. Ia yang semakin sering mengirimi ku pesan pada malam menuju larut, sekedar ucapan selamat malam, lalu ia menceritakan tentang harinya, dan aku bercerita tentang kekagumanku padanya, sesekali ia juga mengirimi puisi (walaupun aku tau bukan dia yang membuatnya), begini isinya.
"Milea"
Bolehkah aku berpendapat?
Ini tentang dia yang ada di bumi
Ketika Tuhan menciptakannya
Kukira Dia ada maksud pamer
      Dilan, Bandung 1990
Meski aku tak paham, entah untuk ditujukan padaku atau mungkin hanya ingin berbagi puisi tapi itu membuatku senyum-senyum sendiri. Aku tak kan berbicara perihal parasnya, atau pun yang dia punya namun ada sesuatu tentangnya yang selalu mampu membuatku merasa baik-baik saja, entah apa itu. Berbincang sampai salah satu diantara kami tertidur. Sungguh aku takkan bosan dengan semua yang ia ketik. Ughh.. bagaimana mungkin aku menghidar untuk menyukainya, sebenarnya mantra apa yang ia gunakan hingga aku bisa menggilainya seperti ini?
Namun, akhir-akhir ini terdengar sesuatu yang tidak mengenakkan telingaku perihal dia yang kabarnya baru saja jadian dengan gadis lain, katanya sih kakak kelas. Awalnya aku tak percaya tapi setelah melihat kebersamaan mereka di kantin sekolah. Duppp...! Jantungku serasa berhenti. Benar adanya! Tubuhku tiba-tiba lunglai, hatiku patah, sendu pilu perih terasa. Luka lama yang belum sepenuhnya sembuh oleh sebuah pengkhianatan harus di tambah oleh pupusnya sebuah harapan. Cemburu? Jelas cemburu! Rasanya ingin marah!  Namun aku bisa apa?? ketika kenyataan tak sesuai harapan, Apa selama ini  ia hanya menganggapku rekan kerja dan adik kelasnya. Atau aku saja yang tak bisa membedakan sikap manis sebuah ketertarikkan dengan yang memang baik pada semua orang? Apa mungkin aku yang terlalu berharap?. Rasa yang terlanjur dalam harus ku kubur dalam dalam. Lama sesak rasanya didada, luka bak menganga tanpa perban. Hari kan terus berlanjut, dan luka tetap saja basah. Aku yang melihat kebersamaan mereka yang semakin hari semakin "romantis" rasanya ingin muak. "mengapa tidak diriku saja yang ada di posisi gadis itu?", pikirku. Arghh, aku kalah! Dan kalah sebelum berperang ialah hal yang menyebalkan.
Sekolah kembali mengadakan kegiatan, dan osis pun rapat. Aku datang sedikit terlambat karena guru yang mengajar dikelasku baru mengizinkanku. Dan saat itu kursi yang tersisa hanya ada di samping ari
, "Aya, sini aja" ia memanggilku
 Dan aku hanya menganggukkan kepala untuk membalas.
"lama ga keliatan, kemana aja?" tanyanya.
"ga kemana-mana, cuman lagi sibuk ngerjain tugas aja" jawabku. Padahal aku hanya tak ingin keluar kelas apa lagi melihat mereka, ari dan gadisnya.
"oh, gitu. Semangat ya ngerjain tugasnya", sambung ari dengan senyuman manis.
"iya makasih" jawab ku singkat.
"Aya, aku mau tanya kalo cewek itu lebih suka dikasih bunga atau cokelat? Tanyanya lagi.
" mungkin cokelat", jawabku.
 "benar juga yaa, kan cewek bukan mayat yang di kasih bunga mulu,hahaha "
 "cieeee.. yang mau ngasih pacarnya cokelat." kataku menahan perih. "hehehe" balasannya dengan tersipu malu.
Akhirnya pembina osis datang, dan pembicaraan diantara kita berakhir begitu saja. Nyatanya hari ini harus ku pakai lagi topeng senyumku. Ku simpan lagi perasaan dan lukaku rapat-rapat. Rasanya  bara membakar hati. Sembari hangus, aku mengutuk diriku sendiri. Lagi lagi aku cemburu. Namun, ini bukan salahnya....sungguh. Memang aku saja yang dari awal tak cukup berani menunjukkan bahwa aku menginginkan dirinya. Ya... aku harus mengalah. Aku mengalah kerena aku percaya jika dia memang untukku, sejauh apapun kaki membawanya pergi, jalan yang ia tempuh hanya akan membawanya kembali padaku. "Selamat untukmu ari, Aku akan pergi untuk menyembuhkan luka (lagi). Semoga kau bahagia dengan gadis itu. Namamu kan tetap terselip diantara bismillah dan amin selepas sujudku pada-Nya".
Malam demi malam kucoba menahan perih dan tangis yang menghiasi pelupuk mata, lalu minggu demi minggu mencoba untuk tidak lagi jatuh hati. Salah seorang teman menepuk bahuku.
"sudahlah, kau harus ingat apa yang dikatakan guru bahasa Indonesia, -dunia tak selebar daun kelor. Mati satu akan tumbuh seribu- Kau terus saja memperbaiki diri, buatlah dirimu menarik maka seseorang yang menarik akan menghampirimu", begitu katanya.
Perkataannya membuatku merenung lebih lama lagi, ada benarnya apa yang ia katakan. Meyakinkan diri untuk lebih kuat lagi. Berbisik pada hati, semua akan baik baik saja. Lalu aku teringat kutipan pada sebuah novel "Garis Waktu" karya Fiersa Besari "Pada sebuah garis waktu yang merangkak maju, akan ada saatnya kau terluka dan kehilangan pegangan. Yang paling menggiurkan setelahnya adalah berbaring, menikmati kepedihan dan membiarkan garis waktu menyeretmu yang niat-tak niat menjalani hidup. Lantas, mau sampai kapan? Sampai segalanya terlambat untuk dibenahi? Sampai cahayamu redup seredup-redupnya? Sadarkah bahwa Tuhan mengujimu karena Dia percaya dirimu lebih kuat dari yang kau duga? Bangkit! Hidup takkan menunggumu"
Sejak itu aku mencoba tetap baik baik saja, mencari kesibukkan dengan hal-hal yang bisa ku lakukan. Mendengarkan lagu-lagu penguat hati, membaca novel-novel pelipur lara. Bersenang-senang menikmati waktu, tapi tidak halnya menikmati senja, dan hujan. Dua hal yang tiba-tiba selalu ingin kuhindari. Karena itu hanya akan mengembalikan ingatanku padamu.
Setelah hari-hari yang patah itu. Nyatanya aku tetap baik-baik saja dengan diri yang lebih baik pastinya, beberapa hal yang kutunda sebelumnya, kini telah tercapai. Sunyi, sepi dan sendiri ialah hal-hal yang telah biasa ku nikmati. Meski beberapa orang mencoba mendekatiku. Tapi aku memilih untuk menutup hati, aku tak ingin menjadikan mereka sebuah pelampisan. Aku takkan setega itu. aku harus menyembuhkan hatiku sendiri hingga benar-benar sembuh dari sebuah pengkhianatan olehnya (seseorang yang sekarang tak lagi berkoalisi dengan ku) dan pengharapan pada ari, sekali lagi ku katakan ia bukan pemberi harapa palsu ini hanya aku yang terlalu berharap lebih.
Suatu hari, kudengar dia yang ari bilang "gadisku" telah berhasil mengancurkan  hatinya. Setelah mendengar kabar angin itu, aku segera mangambil ponselku. Tak lain tak bukan, yaa.... aku stalking semua akun sosial medianya untuk membuktikannya. Ternyata benar, postingan ari maknanya galau semua. . Hampir saja aku - yang terbiasa bertepuk sebelah tangan ini- ingin memberinya applause sambil memuji-muji karma - uppss... Tapi menurutmu, apa aku akan setega itu? jelas tidak!. Keesokkan harinya kami bertemu di sekolah, sekian lama tak pernah bertegur sapa, entah angin apa yang tengah melandanya. Dia menyapaku, meski matanya masih terlihat sembab, ia coba menggariskan senyum yang dulu selalu mampu membuyarkan pikiranku.
 "hai, Aya", sapanya
 "hai", kataku
 "kamu masih pake pin bbm yang lamakan?"
 "iya,masih kok", jawabku.
 "oh, yaudah nanti deh" ,katamu menyudahi pembicaraan
 "nanti apa??", tanyaku. Namun kau sudah berlalu tanpa menjawab pertanyaanku.
"si ari, kebiasaan deh ninggalin orang gitu aja.", gumamku dalam hati. Sesampainya dirumah, ponselku berdering tanda BBM masuk, nyatanya itu darinya. Dia menanyakan apa aku sibuk sore itu. Jika tidak, dia memintaku untuk menemaninya menikmati jingganya kaki langit di tepian pantai. Kebetulan, tugas sekolahku tidak ada dan pekerjaan rumah sudah selesai tadi pagi. Lantas aku pun mengiyakan ajakannya dam kami pergi ke sana usai ashar.
Dan di sana ia bercerita, katanya dia menangis deras saat gadis itu pergi meninggalkannya pas sayang-sayangnya lalu kedinginan bersama torehan-torehan luka yang tertinggal. Aku tau rasanya seperti apa, aku pun pernah diposisinya, dulu.
"Kita sama, entah terlalu hebat menyembunyikan perasaan atau terlalu takut untuk menyatakaan suatu kekecewaan langsung pada orangnya." kataku untuk sekedar memberi respon.Â
Sepanjang tepian pantai kami susuri, aku yang dengan senang hati mendengarkan apa saja yang ia keluhkan dan ia terus saja menceritakan kepedihan yang dirasakannya sambil menahan air mata yang ingin tumpah. Melihat dia serapuh ini, mana mungkin aku bisa meninggalkannya sendiri, meski tanpa ia peduli bagaimana aku lebih rapuh waktu dulu.
      Kemudian, setelah hari itu dia semakin intens mencariku, menghubungiku disetiap malamku. Menyapaku setiap kali bertemu.
"Apa kau tengah mencari tempat pelarianmu?" "Mencari tempat untuk meredakan hari-harimu yang mulai suram setelah kepergiannya." Beberapa pertanyaan yang tak menemukan jawaban terus terngiang dalam pikiranku.
 Dan bodohnya aku dengan suka rela menjadi pemeran pengganti untuk meredakan malam-malamnya yang muram. Dengan rela membagi jam tidurku untuk terus mendengar ceritanya yang mulai tenggelam dalam kenangan hingga jam satu pagi. Namun sepertinya lama-kelamaan dia pun lelah dan kehabisan cerita tentang gadis itu, gadis yang telah membuat hatinya terluka, lalu mulai bercerita perihal "aku dan dia".  Mulai dari sekedar mengenang bagaimana kami dulu, entah apa maksudmu, segala kalimat perhatian itu, pujian-pujian itu.
"terima kasih telah hadir kala ku terluka, selamat tidur, jangan lupa makan" katanya
 Aku berusaha tak terlalu menanggapi semua yang dia katakan. Bagiku, ini hanyalah pelampiasannya. Aku tak ingin berharap lagi, dengan sekuat hati aku menolak gejolak yang ingin kembali hadir dalam dadaku.
"Tolong ri, jangan kau hancurkan pertahanan yang telah kubangun. Segala keteraturan dan repetisi membosankan yang telah jadi kebiasaanku. Jangan memikatkku lagi jika kau memang tak berniat untuk mengikat. Aku lelah jika harus berlumpurkan harapan palsu (lagi)".
Berbulan-bulan kami terlarut nikmati kebersamaan ini. Meski tak mampu mendefinisikan semuanya, tapi kami tahu ini indah walau tak bernama. Sekedar makan siang bersama, menonton film di bioskop, menemaninya latihan futsal dan masih banyak lagi. Hmm... tanpa kusadari semua ini mengembalikan segala rasa yang pernah ada di hatiku.
"Bagaimana kabar hatimu sekarang, Ri? Apa masih terluka, apa tangis masih mengiasi pelupuk matamu? Kuharap kau telah belajar untuk kembali bahagia", Sesekali aku bertanya di suatu hari
Dia terdiam sejenak,tampak berpikir dengan sedikit renungan lalu menjawab
"sudahlah, Â jangan kau bahas lagi masalalu itu, sekarang aku telah nyaman bersamamu.".
 Jawabanmu membuatku enggan untuk melanjutkan. Apa mungkin ada kode-kode tersirat dalam perkataannya itu? hmm entahlah.
Mentari menyinsing di ufuk timur, aku baru saja terbangun dari mimpi yg cukup panjang. "Tak apalah sedikit kesiangan toh hari ini weekend",pikirku.
Selang beberapa menit kemudian.Tanda BBM mu masuk dan
"selamat pagi, Aya"
"Pagi,ri"
"Hari ini sibuk gak? Kalo nggak kamu ingin ikut dengan ku hari ini yaaa?" . tanya ari
"Kemana!?", Aku yang tadinya masih setengah sadar sontak kaget bak orang yang disiram air ketika tidur.
"Ikut jelah, aku mau ngomong sesuatu? Yaaaa??",
"Yaudah deh. Dari pada diam dirumah. Jemput ya" sambungku mengiyakan ajakannya
"Ok sip", balasannya menggunakan voice note.
Sesuai janji di pagi harinya sore itu kami pun bertemu, ia menjemputku menggunakan motornya CB 100, meski gerimis kami tetap pergi. akan lebih romantis katanya.
Sepanjang jalan kota kami tertawa, ia bercerita banyak hal-hal lucu.
"Aku bisa menghentikan hujan sekarang?" katanya
"Caranya??" kataku
" Hujan berhenti!!!" teriak dia di tengah hujan. Lalu ia diam sejenak, ingin melihat hasilnya.
"hahaha, mana coba? Gak berhenti tu hujannya." kataku sambil terbahak-bahak.
"Dia gak denger sih" katanya
"Kan gak punya kuping" kataku.
" iya ", katanya
Lalu kami terdiam, dan akhirnya tertawak karena garing "krik-krik"
"hahaha"
"Aya, aku mau nanya?". Katanya untuk memulai pembicaraan kembali.
"Tanya apa?" kataku.
" Tentang kita"
" Kita kenapa?"
"Bagaimana tentang kejelasan kita?, aku telah nyaman bersamamu, sepertinya kau pun demikian", tanyanya dengan nada suara pelan. Aku pun terdiam. Dia terlalu tutup poin hingga aku tak tau harus menjawabnya bagaimana.
Disaat seperti inilah yang membuatku bingung, ketika hati ingin terus berlari ke arahmu namun pikiranku kurang setuju. Pikiranku percaya jika hatiku terus berlari ke arahmu, nanti ia akan kembali hancur tapi hatiku terus bergejolak. Â Â Â "Tunggu sebentar, izinkan hati dan pikiranku berunding dulu. Telah lama aku mendambamu, meski dulu sempat pupus harapan tapi bukan salahmu (sepenuhnya)",
Hingga berbulan-bulan kami pada hubungan tanpa kejelasan
"sekeras-kerasnya batu akan rapuh juga jika setiap hari di tetesi air sama halnya dengan hatimu akan luluh jika aku terus berusaha. Maka dari itu aku tetap sabar menunggumu", katanya. -- Aku sempat sedikit tertawa lirih, dulu kumendambakanmu yang mendambakan orang lain,tapi lihat sekarang semua malah berbalik, kini kau yang mengejar-ngejar diriku, Ari.
Ku renungkan lagi semua ini, apa ini sudah benar? apa ia benar- benar nyata dengan segala yang ia rasakan? Apa ia benar-benar telah melupakan masa lalunya? Pertanyaan tanpa jawab lagi-lagi kutemukan, seharusnya ia dapat menjawabnya, tapi bagaimana bisa menjawab, pertanyaannya saja tak ku ajukan padanya. Tak lama kusadari, perasaanku terasa lebih deras dari hujan yang melambung lebih ringan diudara ketika bersamanya. Dihatiku adalah dia, dengan perasaan hangat dan tenang didekatnya. Tak bisa lebih lama lagi, dan pada akhirnya aku tak ingin mengantung seseorang berlarut-larut. Aku pun takut akan hukum alam, bahasa trendnya "karma". Maka, kan kubiarkan hatiku berpesta pora menikmati indahnya jatuh hati, bersenandung gembira bersamanya sedangkan pikiranku akan duduk manis dikepala. Jikapun suatu hari nanti hatiku kembali patah, aku percaya seperti biasa pikiran akan selalu ada untuk membantunya pulih. Tapi aku sangat berharap kebersamaan ini berlangsung lama.
(Gigin Auliya, 23 april 2017)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H