***
“Papa? Nina? Ran?“
Mereka tak menjawab. Tangan dingin mereka menggandengku, mengajakku ke sebuah taman yang indah. Penuh mawar. Iya, mawar Broceliande yang segar, bukan yang sekarat seperti di depan apartemenku. Beberapa anak kecil tampak lucu wara-wiri di sana.
“Lihatlah mereka ... mereka butuh kamu.“ Papa memeluk pundakku. Diciumnya keningku lekat-lekat. Sayapnya yang putih dan kuat begitu memukauku. Papa, kamu masih seperti dulu ... tahukah kamu seberapa besar rinduku padamu?
“Kenapa harus aku, Papa?“
“Pernikahanmu dengan Nughie tak juga memberimu buah hati... di sini menunggu banyak anak yang haus akan kasih sayang dari perempuan sepertimu.“ Kata papa lagi.
“Dan aku yakin, kamu bisa, Rhein ...“ Nina maju dan memelukku.
“Maafkan aku, Rhein ... telah banyak salah yang aku goreskan dalam hidupmu. Sayangnya, belum ada tempat untukmu di sini. Untuk mati, harus ada ijin dari Tuhan. Kamu harus kembali. Masih ada tugas untukmu.“ Ran ganti meremas jemariku yang masih juga hangat.
“Tugas? Tugas apaaa?“