Kepalaku kesemutan, seperti TV yang sudah habis programnya; “Zyxzktrzwqzlkczz ....“ Ternyata cinta bisa membutakan mata seseorang. Yang tadinya cinta menjadi benci.
Ahhhh ... Sudah sampai. Errrr ... di mana kuncinya? Kuminta James mencari di setiap sudut. Kunci rumah ketemu! Rupanya aku pernah menyembunyikan duplikatnya di bawah pot bunga mawar, Broceliande yang sekarat tak terawat. Kasihan.
“Buka komputer. Ketik di sana bahwa kamu, dr. Jalal dari Rumah Sakit Jiwa menyatakan pasienmu, Anna Kalashnikov sudah sembuh dan diperbolehkan meninggalkan rumah sakit.“
“Aku tak bisa dan tak boleh melakukannya, Rhein ... Ini dusta! Bahkan identitas Anna Kalashnikov itu ulahku ... “ James menatapku. Nanar.
“Sudah kuduga ... tapi bukankah tadi di rumah sakit kamu bilang aku sudah cukup sehat?! Jangan kau telan ludah yang telah kau muntahkan, James!“ Lagi-lagi, pistol itu menempel di dahi James.
Ketikan tangan James pada laptopku seiring dengan degup jantungku yang kian kencang. Printer memuntahkan sebuah kertas yang kumau. Mataku bersinar, seperti menemukan pundi emas di sebuah goa yang gelap.
Kuikat James di sebuah kursi. Meniru tontonan penjahat di film Hollywood. Kukunci kamar di mana ia berada.
Aku kabur.
***
Cengkareng, Jakarta, Indonesia.
Lama sudah aku bersembunyi dari James. Lenyap dari muka bumi ini untuk sementara waktu.