Mohon tunggu...
Freya
Freya Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

suka menulis cerita silat, misteri dan horror

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Karnaval Perjalanan Waktu

17 Agustus 2024   14:03 Diperbarui: 17 Agustus 2024   14:14 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pexels dari Pixabay

Peringatan Hari Kemerdekaan telah tiba! Seluruh kampung sibuk mempersiapkan acara untuk memperingati hari kemerdekaan. Umbul-umbul sudah dipasang di sepanjang jalanan kampung, aneka lomba untuk anak-anak maupun orang dewasa sudah mulai diselenggarakan, termasuk acara yang paling ditunggu-tunggu Santi yaitu Karnaval Sepeda Hias.

Sudah sejak tiga hari yang lalu Santi gadis kecil kelas 6 SD itu mempersiapkan sepedanya untuk mengikuti karnaval.  Siang hari sepulang sekolah Santi memastikan kembali kondisi sepedanya agar kegiatan karnaval berjalan lancar.  Sepeda warna merah itu sudah dipenuhi hiasan yang meriah dengan nuansa merah putih. Kegiatan karnaval itu akan dimulai pada jam 15.00 sampai sebelum maghrib, mengelilingi jalanan kampung.

Sebelum berangkat, Santi berpamitan pada bapak ibunya

“Bapak, Ibu, aku berangkat dulu ya.”

“Hati-hati di jalan ya, habis karnaval langsung pulang, nggak usah mampir kemana-mana,” pesan ibunya.

“Bapak Ibu nanti nonton aku pawai ya.“

“Iya, kami pasti akan nungguin kamu lewat, nanti bapak tunggu di jalan depan pabrik gula itu ya,” kata bapaknya.

Dalam perjalanan berangkat ke tempat berkumpul,  Santi bertemu dengan Eyang Wari nenek buyutnya yang usianya sudah 88 tahun. Rumah Eyang Wari letaknya bersebelahan dengan rumah Santi.  Walaupun sudah tua, Eyang Wari masih aktif melakukan aktivitas berjualan nasi pecel di depan rumah. Bagi Eyang Wari, kalau tidak bekerja badannya justru akan terasa sakit semua dan dia tidak ingin melewati hari yang panjang dengan seharian berdiam diri.  Dari teras rumahnya, Eyang Wari melambaikan tangannya memanggil Santi.

“Santi, kamu mau ikut karnaval?”

“Iya Eyang, nanti nonton aku karnaval ya.”

“Ah, eyang sudah tua, berat kaki ini kalau mesti berdiri lama nonton karnaval.   Cepat pulang kalau karnaval sudah selesai ya,”pesan Eyang Wari.

Santi meneruskan perjalanannya ke tempat berkumpul peserta parade sepeda hias. Di sana sudah terlihat Zahra dan Riska dua sahabatnya menunggu.  Tak lama kemudian acara karnaval dimulai, Santi bersepeda bersama kedua sahabatnya.  Penduduk desa sudah berdiri di tepi jalan menonton karnaval. Melewati pabrik gula, Santi sempat melihat kedua orang tuanya melambaikan tangan padanya.

Ketika melewati masjid, tiba-tiba perut Santi terasa mulas.

Huuh, kenapa harus sekarang, mengganggu saja, batin Santi.

“Zahra, Riska perutku mulas nih, aku mau ke masjid dulu numpang ke toilet,” kata Santi.

“Nanggung nih sebentar lagi selesai, kamu ga bisa nahan sampai ke tujuan?” tanya Zahra.

Santi merasa perutnya semakin melilit, sambil meringis dia berkata

“Aduuh aku nggak bisa, udah ya kalian duluan saja nanti aku nyusul!”

Santi keluar dari barisan mengayuh sepedanya menuju ke masjid. Setelah minta izin pada marbot masjid, Santi ke toilet menunaikan hajatnya.  Setelah selesai, Santi segera mengayuh sepedanya keluar halaman masjid.

Di depan gapura masjid, Santi menemukan keanehan. Jalanan di depan masjid yang tadinya penuh penonton karnaval tiba-tiba saja tampak lenggang. Namun Santi masih berprasangka baik

Kemana saja para penontonnya? Ah, mungkin karena karnavalnya sudah mau selesai mereka bubar, sebaiknya aku segera ngebut menyusul Zahra dan Riska, pikir Santi.

Santi langsung mengayuh sepedanya menyusuri jalanan, namun tiba-tiba saja Santi tersadar ketika sepedanya tidak berjalan dengan lancar, jalanan yang tadinya aspal, kini berubah menjadi jalanan tanah yang dikeraskan, rumah-rumah di tepi jalan dengan dinding bata berubah jadi rumah kayu atau rumah dari anyaman bambu dan jaraknya pun jauh-jauh. Terkesiap Santi menyadari lingkungannya sudah berubah, dia semakin panik ketika menyadari hari sudah semakin sore.

Celaka di mana aku sekarang?  Mana hari sudah mau maghrib, sebaiknya aku putar balik saja pulang, pikir Santi.

Dia tidak jadi menyusul sahabatnya dan memilih pulang ke rumah.  Ketika lewat di depan pabrik gula, Santi bertemu dengan sekelompok anak yang sedang bermain di halaman pabrik gula. Anak-anak itu pakaiannya berbeda dengan pakaian yang dikenakan anak-anak di masa sekarang. Anak perempuannya memakai rok terusan warna putih, sedangkan anak laki-lakinya memakai jumpsuit putih tetapi celananya pendek. Santi berhenti sejenak memperhatikan anak-anak itu, ternyata tak satupun dari anak-anak itu yang dikenalnya. Ketika melihat Santi dan sepedanya, anak-anak itu menghentikan kegiatannya dan mendatangi Santi. Tampaknya mereka tertarik dengan sepeda hias Santi yang meriah.

“Sepedamu bagus, kamu dari desa mana?” tanya seorang anak perempuan.

“Aku dari desa sini saja, kalian siapa?”

Anak perempuan itu menjawab sambil menunjuk satu-satu kepada teman-temannya.

“Aku Mirah, itu Wari Kakakku, itu Bowo dan itu Harto. Kami juga berasal dari desa ini, tapi kami baru melihatmu sekarang.”

Bowo mendekati sepeda Santi, menyentuh setiap bagiannya dan memperhatikan dengan seksama

“Sepedamu bagus, aku boleh pinjam sebentar?”

“Boleh, tapi hati-hati ya nanti hiasannya rusak.”

Bowo menaiki sepeda Santi lalu berputar-putar di halaman pabrik gula, setelah itu teman-temannya yang lain bergantian bermain sepeda. Santi memperhatikan lingkungan di sekitarnya, rumah-rumah penduduk masih jarang-jarang dan kebanyakan rumah kayu atau rumah dari anyaman bambu beratap rumbia. Santi menoleh ke arah pabrik gula, bangunannya masih tampak baru, asap mengepul di belakang pabrik pertanda masih ada kegiatan produksi gula. Terdengar suara bergemuruh, terlihat kereta lori mengangkut tebu masuk ke halaman belakang pabrik.  Baru Santi menyadari di halaman samping pabrik ada rel untuk kereta lori pengangkut tebu.

Aneh, pabrik gula ini kok kelihatan masih baru, masih ada kegiatan dan ada relnya. Padahal harusnya pabrik ini sudah tidak ada kegiatan dan rel itu seharusnya sudah tidak ada lagi, pikir Santi.

Sebuah tepukan dipundaknya menyadarkannya, Mirah sudah berdiri di dekatnya, dia melepas kalung emas miliknya lalu diberikannya pada Santi.

“Sudah lama aku ingin memiliki sepeda sendiri, boleh aku beli sepedamu? Aku akan membayarnya dengan kalung kesayanganku ini.”

Santi terkejut mendengar permintaan Mirah

“Hah, membelinya? Tidak, aku tidak akan menjualnya, nanti bapak ibuku marah.”

Namun Mirah masih ngotot memaksa Santi menjualnya

“Coba dulu kalungku ini, kamu pasti akan terlihat cantik memakainya, sini aku pakaikan.”

Santi memandangi kalung emas berbandul batu Mirah Delima berbentuk hati. Sebuah kalung yang cantik, mendadak Santi merasa ingin memilikinya.  Dia tak menolak ketika Mirah kemudian memakaikan kalung itu di leher Santi lalu tersenyum senang

“Nah kan, sekarang kamu jadi lebih cantik.”

Tiba-tiba terdengar suara deru pesawat meraung-raung di kejauhan.  Wajah anak-anak itu tampak ketakutan, mereka menengadah ke langit lalu serempak berseru

“Cocor Merah…Cocor Merah…Cocor Merah datang!”

Cocor merah dalah pesawat pengebom yang digunakan oleh Belanda pada perang dunia II. Pada saat itu mereka biasanya menyasar daerah yang ada pabrik dan perkebunan-perkebunan.  Seorang pekerja pabrik berlari mendatangi mereka lalu menarik tangan anak-anak itu.

“Cepat masuk pabrik, nanti kalian kena bom!”

Santi dan anak-anak lainnya  berlarian masuk ke pabrik.  Di kolong meja kerja mereka berlindung menunggu sampai kondisi tenang dengan hati berdebar.  Deru pesawat  semakin dekat, lalu terdengar suara bom meledak di halaman.

“Blaaaar!”

Santi menangis ketakutan lalu bertanya

“Kenapa ada perang, kita kan sudah merdeka, kok berani-beraninya ada orang menyerang negara Indonesia?”

Santi sekarang bisa membayangkan bagaimana mencekamnya situasi di Gaza tatkala pesawat Israel mengebom pemukiman penduduk dan bagaimana penderitaan rakyat Palestina ketika sanak saudaranya meninggal karena bom dan rumahnya hancur.

Pekerja pabrik yang bersembunyi bersama mereka berkomentar

“Kita memang sudah merdeka, tapi Belanda masih tidak terima, mereka menyerang kita lagi mencoba merebut kembali negara ini. Beberapa hari ini mereka rajin mengebom pabrik dan perkebunan.”

Santi tersadar, saat ini dia berada di tempat dan waktu yang tidak semestinya

“Hah…memangnya ini tahun berapa?”

“Oalaah Nduk, kamu ini apa nggak pernah melihat kalender? Ini kan tanggal lima Agustus tahun empat tujuh.”

Seketika Santi lemas, dia langsung teringat pelajaran sejarah di sekolah. Hari ini dia sedang  berada di masa lalu saat peristiwa Agresi Belanda Pertama. Santi semakin yakin, dia tidak akan bisa kembali lagi ke jamannya. Suara pesawat mulai menjauh keadaan tampak aman, tiba-tiba Mirah keluar dari tempat persembunyiannya. Para pekerja Pabrik berseru

“Hei, mau kemana kamu? Jangan keluar dulu, siapa tahu nanti pesawatnya masih akan kembali lagi!”

“Aku mau melihat sepedaku  kena bom atau tidak, tadi sepedanya di luar,” jawab Mirah.

“Mirah, sepeda itu kan punya Santi, memangnya sekarang sudah jadi milikmu?” tanya Wari kakaknya.

“Aku sudah membelinya, aku bayar dengan kalungku,” Mirah berlari menghambur keluar.

“Hei, jangan keluar!”  seru para pekerja pabrik.

Seorang pekerja berusaha mengejarnya,  tapi sebelum dia bisa menangkap Mirah, terdengar suara pesawat kembali menderu-deru di sekitar pabrik. Pekerja itu mundur mengurungkan niatnya mengejar Mirah dan kembali  bersembunyi.

“Blaaar…blaaar.…!”

Suara bom kembali terdengar memekakan telinga, kaca-kaca jendela bergetar keras bahkan sampai pecah.   

“Blaaar!”

Bom menghancurkan bagian bangunan di depan pabrik, Wari mulai panik menyadari apa yang terjadi pada adiknya. Dia menangis memanggil adiknya

“Miraah…Miraaah…kamu dimana?!”

Wari berusaha keluar namun beberapa pekerja pabrik mencegahnya.

“Sudahlah, jangan korbankan nyawamu, keadaan di luar masih gawat. Sabarlah dulu sampai pesawatnya benar-benar pergi. Doakan saja semoga adikmu selamat.”

Suara pesawat makin menjauh, mungkin karena merasa sudah berhasil merusak pabrik, mereka pergi meninggalkan lokasi. Setelah keadaan aman, mereka menghambur keluar mencari Mirah. Di bagian depan gedung mereka menemukan tubuh Mirah terbaring di antara reruntuhan dengan darah tergenang di sekitar tubuhnya. Sebuah bongkahan puing bangunan telah menghantam kepala Mirah.  Melihat kondisi adiknya yang tewas secara mengenaskan, Wari menangis dan menjerit histeris memanggil nama adiknya.

Santi yang tidak pernah melihat darah dan mayat langsung pingsan di tempat dan ketika sadar dia sudah mendapati dirinya berada di rumah. Ibunya langsung berseru gembira

“Santi, syukurlah akhirnya kamu sudah sadar.”

Santi yang masih kebingungan bertanya

“Bapak, Ibu, apa yang terjadi kepadaku?”

“Kamu semalaman pingsan, sekarang ini sudah pagi. Tadi ketika sudah maghrib, kamu belum juga pulang. Bapak pikir kamu mampir ke rumah Zahra atau Riska. Lalu Bapak menyusulmu ke rumah Zahra, ternyata kata Zahra, di tengah perjalanan kamu mampir ke masjid, katanya perutmu mulas dan mereka disuruh duluan. Tapi setelah lama menunggu di tempat tujuan, ternyata kamu tidak juga datang. Mereka berpikir kamu sudah pulang duluan, jadi akhirnya mereka segera pulang,” jelas ibunya.

“Lalu bagaimana Bapak menemukanku?” tanya Zahra.

Bapaknya mulai bercerita

“Pak Basuki penjual warung Hik di depan pabrik gula melihat sepedamu tergeletak di halaman pabrik. Dia merasa curiga melihat ada sepeda hias tergeletak di halaman pabrik gula yang terbengkalai lama. Pak Basuki lalu mengajak beberapa pelanggannya memeriksa ke dalam pabrik dan ternyata mereka menemukanmu dalam keadaan pingsan di dalam pabrik. Nah sekarang Bapak ingin tahu, apa yang kamu lakukan di sana? Bukankah Bapak sudah bilang jangan mampir-mampir.”

Santi tertunduk, dia bingung harus bercerita bagaimana, dan jika dia bercerita orangtuanya pasti tak kan percaya.

“Kalau aku cerita Bapak percaya tidak?”

Bapaknya mengerutkan kening

“Ceritakan saja semuanya sama Bapak dan Ibu.”

Santi lalu menceritakan semua kejadian yang dialaminya sore itu termasuk pertemuannya dengan Mirah dan teman-temannya. Kedua orangtuanya juga merasa aneh dengan kejadian itu tapi merekapun tidak bisa menemukan penyebabnya.

“Kamu tidak bohong kan?”

“Tentu saja tidak Pak, lagian buat apa aku mampir ke pabrik gula tua yang katanya banyak setannya.”

Mendadak Santi teringat kalung yang diberikan Mirah. Dia meraba lehernya, ternyata kalung itu sudah tidak ada lagi di lehernya.

“Kalungku…dimana kalungku?”

Ibunya seperti teringat sesuatu

“Oh ya, waktu mengganti bajumu, ibu menemukan kalung dengan bandul hati warna merah, sebentar ibu ambilkan.”

Ibunya mengambil kalung dari laci dan memberikannya pada Santi.

“Nah, ini kalung yang diberikan Mirah kepadaku sebagai ganti sepedaku.”

Pada saat itulah Eyang buyutnya bersama beberapa kerabatnya muncul di depan pintu kamar, dengan cemas dia menghampiri Santi.
“Nduk, bagaimana keadaanmu?”

“Aku baik-baik saja Eyang, Cuma pingsan sebentar kok,” jawab Santi.

Mata Eyang Wari kemudian tertuju pada kalung yang digenggam Santi.

“Nduk, apa itu yang ada di tanganmu? Sepertinya aku kenal benda itu.”

“Aku diberi kalung oleh seorang anak yang bernama Mirah, katanya dia mau beli sepedaku.”

Mendadak  Eyang Wari menangis tersedu, dia meraih kalung itu dan mendekapnya di dadanya.

“Kalung ini kalung batu Mirah Delima ini kesayangan Mirah adikku, batu permata ini namanya sama dengan nama adikku. Kalung ini sudah lama hilang sejak dia meninggal.  Mirah…Mirah…kenapa kamu ngeyel keluar gedung. Kalau saja kamu mau nurut, aku masih bisa ketemu kamu sampai hari ini.”

Melihat eyang buyutnya menangis, Santi teringat sesuatu

“Eyang, apa Eyang Mirah  dulu tewas karena dibom Cocor Merah?”

Eyang Wari tersentak

“Ya, bagaimana kamu bisa tahu? Mirah memberikan kalung ini pada seorang anak perempuan yang aneh penampilannya tidak seperti anak di jamanku. Sore itu ketika kami sedang bermain di pabrik gula, seorang anak perempuan datang membawa sepeda warna merah dengan banyak hiasan. Anak itu awalnya tampak kebingungan, Mirah menegurnya lalu kami berkenalan.  Akhirnya dia membiarkan sepedanya dipinjam aku dan teman-temanku. Mirah ternyata menginginkan sepeda itu lalu membelinya dan membayarnya dengan kalung itu. Tapi sayang, ketika itu pesawat Cocor Merah datang mengebom, kami bersembunyi di dalam gedung. Setelah bunyi pesawat menjauh, Mirah keluar dari gedung ingin melihat sepedanya. Tapi ternyata dia terkena bom ketika mau keluar gedung. Lalu bagaimana kamu bisa menemukan kalung ini kembali?”

Dengan suara bergetar Santi berkata

“Mirah yang memberikannya kepadaku kemarin sehabis karnaval.”

Eyang Wari terkejut, tangannya yang membawa kalung bergetar.

“Kamu bertemu dengan arwahnya?”

“Tidak, aku bertemu Eyang, Mirah, Bowo dan Harto saat masih kecil. Kami sempat bermain bersama tapi tiba-tiba ada pesawat Cocor Merah mengebom Pabrik. Aku juga melihat Eyang Mirah meninggal setelah itu aku pingsan,” ungkap Santi.

Mata tua Eyang Wari menerawang jauh, bibirnya tersenyum lalu berkata

“Mungkin ini adalah suatu pertanda bahwa aku akan bertemu kembali dengan dia. Ternyata kamulah anak itu, kamu sudah masuk ke masa ketika aku dan Mirah masih anak-anak. Kalung ini jagalah baik-baik, Mirah telah mempercayaimu untuk menyimpan kalung kesayangannya.”  Eyang Wari lalu mengalungkan kalung ke leher Santi.

“Saya janji akan menjaga kalung ini dengan baik Eyang.”

*****

Keesokan paginya, Eyang Wari meninggal dengan tenang usai sholat subuh. Tubuhnya ditemukan tergeletak di atas sajadahnya. Wajahnya tampak bersih dan tersenyum seolah dia melihat sesuatu yang menyenangkan hatinya.

T A M A T

Pexels dari Pixabay

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun