“Miraah…Miraaah…kamu dimana?!”
Wari berusaha keluar namun beberapa pekerja pabrik mencegahnya.
“Sudahlah, jangan korbankan nyawamu, keadaan di luar masih gawat. Sabarlah dulu sampai pesawatnya benar-benar pergi. Doakan saja semoga adikmu selamat.”
Suara pesawat makin menjauh, mungkin karena merasa sudah berhasil merusak pabrik, mereka pergi meninggalkan lokasi. Setelah keadaan aman, mereka menghambur keluar mencari Mirah. Di bagian depan gedung mereka menemukan tubuh Mirah terbaring di antara reruntuhan dengan darah tergenang di sekitar tubuhnya. Sebuah bongkahan puing bangunan telah menghantam kepala Mirah. Melihat kondisi adiknya yang tewas secara mengenaskan, Wari menangis dan menjerit histeris memanggil nama adiknya.
Santi yang tidak pernah melihat darah dan mayat langsung pingsan di tempat dan ketika sadar dia sudah mendapati dirinya berada di rumah. Ibunya langsung berseru gembira
“Santi, syukurlah akhirnya kamu sudah sadar.”
Santi yang masih kebingungan bertanya
“Bapak, Ibu, apa yang terjadi kepadaku?”
“Kamu semalaman pingsan, sekarang ini sudah pagi. Tadi ketika sudah maghrib, kamu belum juga pulang. Bapak pikir kamu mampir ke rumah Zahra atau Riska. Lalu Bapak menyusulmu ke rumah Zahra, ternyata kata Zahra, di tengah perjalanan kamu mampir ke masjid, katanya perutmu mulas dan mereka disuruh duluan. Tapi setelah lama menunggu di tempat tujuan, ternyata kamu tidak juga datang. Mereka berpikir kamu sudah pulang duluan, jadi akhirnya mereka segera pulang,” jelas ibunya.
“Lalu bagaimana Bapak menemukanku?” tanya Zahra.
Bapaknya mulai bercerita