“Oh ya, waktu mengganti bajumu, ibu menemukan kalung dengan bandul hati warna merah, sebentar ibu ambilkan.”
Ibunya mengambil kalung dari laci dan memberikannya pada Santi.
“Nah, ini kalung yang diberikan Mirah kepadaku sebagai ganti sepedaku.”
Pada saat itulah Eyang buyutnya bersama beberapa kerabatnya muncul di depan pintu kamar, dengan cemas dia menghampiri Santi.
“Nduk, bagaimana keadaanmu?”
“Aku baik-baik saja Eyang, Cuma pingsan sebentar kok,” jawab Santi.
Mata Eyang Wari kemudian tertuju pada kalung yang digenggam Santi.
“Nduk, apa itu yang ada di tanganmu? Sepertinya aku kenal benda itu.”
“Aku diberi kalung oleh seorang anak yang bernama Mirah, katanya dia mau beli sepedaku.”
Mendadak Eyang Wari menangis tersedu, dia meraih kalung itu dan mendekapnya di dadanya.
“Kalung ini kalung batu Mirah Delima ini kesayangan Mirah adikku, batu permata ini namanya sama dengan nama adikku. Kalung ini sudah lama hilang sejak dia meninggal. Mirah…Mirah…kenapa kamu ngeyel keluar gedung. Kalau saja kamu mau nurut, aku masih bisa ketemu kamu sampai hari ini.”
Melihat eyang buyutnya menangis, Santi teringat sesuatu