Santi meneruskan perjalanannya ke tempat berkumpul peserta parade sepeda hias. Di sana sudah terlihat Zahra dan Riska dua sahabatnya menunggu. Tak lama kemudian acara karnaval dimulai, Santi bersepeda bersama kedua sahabatnya. Penduduk desa sudah berdiri di tepi jalan menonton karnaval. Melewati pabrik gula, Santi sempat melihat kedua orang tuanya melambaikan tangan padanya.
Ketika melewati masjid, tiba-tiba perut Santi terasa mulas.
Huuh, kenapa harus sekarang, mengganggu saja, batin Santi.
“Zahra, Riska perutku mulas nih, aku mau ke masjid dulu numpang ke toilet,” kata Santi.
“Nanggung nih sebentar lagi selesai, kamu ga bisa nahan sampai ke tujuan?” tanya Zahra.
Santi merasa perutnya semakin melilit, sambil meringis dia berkata
“Aduuh aku nggak bisa, udah ya kalian duluan saja nanti aku nyusul!”
Santi keluar dari barisan mengayuh sepedanya menuju ke masjid. Setelah minta izin pada marbot masjid, Santi ke toilet menunaikan hajatnya. Setelah selesai, Santi segera mengayuh sepedanya keluar halaman masjid.
Di depan gapura masjid, Santi menemukan keanehan. Jalanan di depan masjid yang tadinya penuh penonton karnaval tiba-tiba saja tampak lenggang. Namun Santi masih berprasangka baik
Kemana saja para penontonnya? Ah, mungkin karena karnavalnya sudah mau selesai mereka bubar, sebaiknya aku segera ngebut menyusul Zahra dan Riska, pikir Santi.
Santi langsung mengayuh sepedanya menyusuri jalanan, namun tiba-tiba saja Santi tersadar ketika sepedanya tidak berjalan dengan lancar, jalanan yang tadinya aspal, kini berubah menjadi jalanan tanah yang dikeraskan, rumah-rumah di tepi jalan dengan dinding bata berubah jadi rumah kayu atau rumah dari anyaman bambu dan jaraknya pun jauh-jauh. Terkesiap Santi menyadari lingkungannya sudah berubah, dia semakin panik ketika menyadari hari sudah semakin sore.