“Iya iya. Kau sudah seperti Ibu saya saja, Hesa” Ucapan Yosaphat itu membuat keduanya tertawa dan dilanjutkan dengan kesibukan masing-masing mempersipakan diri untuk berangkat ke kelas Sekolah Pelayaran.
Yosaphat dan Hesa sedang menunggu kawan satu asramanya yang bernama Ares. Berbeda dengan Yosaphat dan Hesa yang ingin masuk sekolah pelayaran atas kemauan sendiri, Ares ‘terpaksa’ masuk sekolah pelayanan atas kemauan orang tuanya terutama ayahnya yang merupakan seorang prajurit angkatan laut. Karena itu, Ares hampir setiap hari merasa malas untuk masuk ke kelas. Bangun dari tidur pun sangat susah, harus di teriaki bahkan di pukul oleh Yosaphat dan Hesa.
“Ares, cepatlah! Nanti kita terlambat” ucap Hesa dengan nada kesal pada Ares.
“Kita tinggalkan saja dia, dia yang lambat jangan sampai kita yang terkena imbasnya” Yosaphat yang sedari tadi diam akhirnya berbicara dengan nada serius sambil meninnggalkan kamar asrama mereka.
“Siap, kita tinggalkan saja Ares” Ucap Hesa yang mengiyakan ajakan Yosaphat.
“Hei kalian! tunggu!” teriak Ares sambil berlari mengejar Yosaphat dan Hesa. Yosaphat berkata serius seperti tadi itu hanya sebuah candaan, dan kedua temannya pun tahu bahwa Yosaphat hanya bercanda saja.
***
Salatiga, 1925
Mariyam sedang merajut sebuah baju hangat yang sangat mungil. Perempuan anggun dan rupawan itu membuat baju untuk calon anaknya yang diperkirakan akan lahir ke dunia ini dalam beberapa hari kedepan. Suaminya, yaitu Sukarno Darmoprawiro tidak bisa selalu menemaninya. Sukarno sangat sibuk dengan pekerjaannya sebagai Resesre Polisi, maka dari itu Sukarno tidak bisa selalu ada di sisi Mariyam yang sedang mengandung besar itu.
“Ndhuk, buahnya dimakan dulu. Katanya tadi ingin makan buah” Ucap Ibunda Mariyam.
“Sebentar Ibu, baju rajutanku sebentar lagi selesai.” Balas Mariyam yang sangat fokus pada rajutannya.”