Mohon tunggu...
Finka Nur Annisa
Finka Nur Annisa Mohon Tunggu... Lainnya - XII MIPA 2 - SMAN 1 Padalarang

do what u love

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sang Penerjang Ombak, Yos Sudarso

19 November 2021   18:42 Diperbarui: 21 November 2021   16:49 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            

Cahaya yang amat silau menyerang kedua netra seorang pria gagah. Membuat ia berusaha menyesuikan netranya terhadap cahaya yang menyilaukan itu. Tapi terlambat, sudah terlambat. Tembakan dari kapal lawan sudah melayang menghampiri kapal yang dinaiki pria gagah itu.

            “Semuanya bersiap!” teriak sang pemimpin kapal tempur itu.

            Para anak buah bersiaga mendengar perintah sang pemimpin kapal, mereka sudah tau apa yang akan terjadi setelah ini. Pria itu memejamkan mata, ia hanya bisa berdo’a dalam hati pada Sang Maha Kuasa.

            ‘Dor dor dor’

              “Hei bangunlah, Yos!” Ucap seseorang yang berusaha membangunkan seorang pemuda dari tidurnya.

            “Eh, ada apa kawan?” Tanya pemuda itu. Sudah ia duga kejadian itu hanya sebuah mimpi, tidak masuk akal baginya yang sedang menjalani pendidikan di Sekolah Pelayaran Tinggi itu tiba-tiba berada di medan tempur.

            “Sepertinya tadi kau mimpi buruk ya? Kau berkeringat banyak dan teriak tidak jelas tadi” Ucap seseorang yang membangunkan Yos. Namanya Mahesa, panggil saja ia Hesa.

            “Ah iya, lebih tepatnya mimpi yang sangat aneh” Balas Yosaphat  sambil terkekeh.

            “Tumben kau bangun siang, segeralah mandi! Bisa saja nanti kau akan terlambat masuk kelas”

Ucap Hesa sedikit mengomel karena Yosaphat yang bangun terlambat, tidak seperti biasanya yang selalu bangun sangat pagi.

            “Iya iya. Kau sudah seperti Ibu saya saja, Hesa” Ucapan Yosaphat itu membuat keduanya tertawa dan dilanjutkan dengan kesibukan masing-masing mempersipakan diri untuk berangkat ke kelas Sekolah Pelayaran.

            Yosaphat dan Hesa sedang menunggu kawan satu asramanya yang bernama Ares. Berbeda dengan Yosaphat dan Hesa yang ingin masuk sekolah pelayaran atas kemauan sendiri, Ares ‘terpaksa’ masuk sekolah pelayanan atas kemauan orang tuanya terutama ayahnya yang merupakan seorang prajurit angkatan laut. Karena  itu, Ares hampir setiap hari merasa malas untuk masuk ke kelas. Bangun dari tidur pun sangat susah, harus di teriaki bahkan di pukul oleh Yosaphat dan Hesa.

          “Ares, cepatlah! Nanti kita terlambat” ucap Hesa dengan nada kesal pada Ares.

          “Kita tinggalkan saja dia, dia yang lambat jangan sampai kita yang terkena imbasnya” Yosaphat yang sedari tadi diam akhirnya berbicara dengan nada serius sambil meninnggalkan kamar asrama mereka.

            “Siap, kita tinggalkan saja Ares” Ucap Hesa yang mengiyakan ajakan Yosaphat.

            “Hei kalian! tunggu!” teriak Ares sambil berlari mengejar Yosaphat dan Hesa. Yosaphat berkata serius seperti tadi itu hanya sebuah candaan, dan kedua temannya pun tahu bahwa Yosaphat hanya bercanda saja.

                                              ***

                                   Salatiga, 1925

            Mariyam sedang merajut sebuah baju hangat yang sangat mungil. Perempuan anggun dan rupawan itu membuat baju untuk calon anaknya yang diperkirakan akan lahir ke dunia ini dalam beberapa hari kedepan. Suaminya, yaitu Sukarno Darmoprawiro tidak bisa selalu menemaninya. Sukarno sangat sibuk dengan pekerjaannya sebagai Resesre Polisi, maka dari itu Sukarno tidak bisa selalu ada di sisi Mariyam yang sedang mengandung besar itu.

            “Ndhuk, buahnya dimakan dulu. Katanya tadi ingin makan buah” Ucap Ibunda Mariyam.

            “Sebentar Ibu, baju rajutanku sebentar lagi selesai.” Balas Mariyam yang sangat fokus pada rajutannya.”

            “Baiklah, Ibu menjemur baju dulu. Kalo ada apa-apa langsung panggil Ibu saja ya” Ibunda Mariyam itu pun pergi ke halamn rumah.

           “Baik bu.”

            Mariyam melihat baju rajutannya yang baru saja ia selesaikan. Bajunya berwarna biru laut, warna yang sangat disukai Mariyam. Baru saja Ia akan mengambil buah yang ada di meja, tiba-tiba ia merasakan sakit yang amat sangat di perutnya. Ia memanggil Ibunya, Ibunya pun segera memanggil bidan terdekat. Tak lama kemudian bayi kecil yang sangat manis pun hadir, membuat Mariyam menangis bahagia. Sukarno yang sudah diberi kabar itu baru saja sampai rumah dengan tergesa-gesa. Ia melihat Mariyam sedang menggengdong seorang bayi kecil. Sukarno menghampiri Mariyam dengan perasaan terharu, bahagia, dan bangga terhadap istrinya yang baru saja melewati masa hidup dan mati melahirkan anak mereka.

            “Sini, aku ingin menggendongnya” Pinta Sukarno pada Mariyam.

            “Dia bayi laki-laki”  Ucap Mariyam. Sukarno pun mengambil alih untuk menggendong jagoan kecilnya.

            “Seodarso, Yosaphat Soedarso” Ucap Sukarno yang menamai bayi manis itu.

                                          ***

                              Sebuah izin, 1943

            Tahun demi tahun berlalu, Soedarso tumbuh dengan sehat. Ia tumbuh menjadi anak yang tenang dan santun kepada orang-orang. Ia pun dikenal sebagai murid yang sangat cerdas di sekolahnya. Sejak kecil ia mempunyai minat di bidang militer, akan tetapi Mariyam dan Sukarno tidak mengijinkan putranya untuk menjadi prajurit. Ia pun mencoba untuk merubah keinginan . Ia diterima di Kweekschool (sekolah pendidikan guru) di Muntilan, tetapi saat itu di tahun 1942 datanglah Jepang yang membuat kondisi tidak baik. Soedarso atau panggil saja Yos itu gagal menyelesaikan sekolah keguruannya.

            Malam itu Yos sedang merenung di kamarnya, pikirannya berkecamuk. Ia memikirkan apa yang selanjutnya akan ia lakukan dalam hidupnya. Ia masih muda, dan ia pun memiliki keinginan yang kuat untuk menjadi seorang prajurit. Pemuda itu bingung apakah sekarang merupakan waktu yang tepat untuk mencoba meminta izin lagi kepada kedua orang tuanya.

            “Ibu, kau tahu kan sejak kecil aku sangat minat pada bidang militer?” tanya Yos pada Ibundanya.

            “Tentu saja Ibu tahu nak, setelah dipikir-pikir sebenernya untuk apa Ibu melarangmu dulu. Itu keputusanmu. Jika sekarang kau meminta izinku, tentu saja sekarang Ibu mengizinkanmu.” Balasan dari sang Ibu mengejutkannya. Saat terakhir Yos meminta izin, orang tuanya menentang dengan keras. Bahkan Ayahnya memarahi Yos habis-habisan yang membuat pemuda itu kapok untuk mencoba meminta izin lagi.

            “Yang benar bu?” tanya Yos memastikan.

            “Iya nak. Karena ini kemauanmu, Ibu yakin kau akan melakukannya dengan benar”

            “Terimakasih banyak Ibu!” Ucap Yos sambil memeluk sang Ibu saking senangnya.

            “Beritahu Ayah mu, pasti kau akan diberi izin. Ibu dan Ayah sudah pernah membahasnya”

            “ Baik bu”

            “Ayah, apa kau punya waktu? Aku ingin membicarakan sesuatu”

            “Tentu saja, silahkan”

           “Ayah, sepertinya saat ini aku sudah berhak mengambil keputusan sendiri dalam hidupku, kau tahu kan sejak kecil aku sangat minat pada bidang militer?”

            “Sudahlah, Yos. Ayah tahu apa maksudmu. Ayah mengizinkanmu.”

            Lagi-lagi Yos sangat terkejut dengan pernyataan orang tuanya. Membuatnya keheranan, kapan orang tuanya itu mendiskusikan hal ini? Tiba-tiba saja mengizinkan dengan nada yang enak didengar telinga, tidak seperti sebelumnya yang membuat kepala Yos pening karena teriakan Ayahnya.

            “Ayah yakin berbicara dengan benar?”

           “Ayah tidak mengerti maksudmu, tentu saja Ayah berbicara dengan benar. Maafkan Ayah dan Ibu karena sebelumnya melarangmu masuk dunia militer dan malah menuntutmu untuk menjadi seorang guru” Ayah Yos berkata dengan nada menyesal.

            “Tidak apa-apa Ayah, terima kasih sudah mengizinkanku.”

            Yos sangat berterimakasih dan bersyukur telah mendapat izin dari kedua orang tua nya. Akhirnya keinginannya sedari kecil untuk menjadi seorang prajurit pun terkabul. Yos pun masuk Sekolah Tinggi Pelayaran dan mengikuti pendidikan militer angkatan laut Jepang.

                                            ***

                              Kediaman Yos, 1962

            Seperti daun-daun di musim gugur, jatuh begitu banyaknya dan sangat cepat. Ya, sangat cepat. Seperti masa pendidikan Yos yang tidak terasa sudah berakhir. Setelah diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia, Ia bergabung ke dalam BKR yaitu Badan Keamanan Rakyat di sektor kalautan (BKR Laut). Ia pun pernah ditukjuk untuk memimpin beberapa Kapal Perang Repuplik Indonesia seperti KRI Alu, KRI Gajah Mada, KRI Rajawali dan KRI Pattimura.

            Di tahun 1955 Yos memperistri seorang wanita yang dikenal sangat baik dan disiplin bernama Siti Kustini. Tak tersa pernikahannya saat ini telah menginjak 7 tahun,  mereka telah dikaruniai 5 orang anak. Anak-anak nya sangat cerdas dan disiplin seperti kedua orang mereka.

            “Pak, apa minggu ini bapak akan bertugas?” tanya anak kedua Yos.

            “Iya nak, lusa bapak akan pergi bertugas” balas Yos

            “Duh, memangnya Bapak yakin untuk bertugas kembali?” ucap anak kedua Yos itu dengan tidak yakin, ya sebenarnya tak masalah jika ayahnya pergi bertugas. Memang kewajiban Yosaphat untuk bertugas di atas kapal.

            “Tapi bapak baru saja pulih, minggu kemarin saja bapak tidak bisa berdiri karena sakit kepala” ucap salah satu anak Yos itu dengan sedikit sebal.

            “Itu kan minggu kemarin, sekarang bapak sudah sehat” Ucap Yos dengan sangat yakin. Ucapan tersebut memang benar, Yos sudah merasa sehat kembali saat ini bukan hanya omongan palsu saja.

            “Pak, ada teman bapak datang” ucap anak sulung Yos.

            “Suruh dia masuk saja nak”

            “Baik pak” Anak sulung Yos membukakan pintu dan mempersilahkan teman bapaknya untuk duduk.

            “Eh ternyata Paman Hesa yang datang, aku kira siapa” Ucap anak sulung Yos sambil terkekeh karena tadi tidak mengenali teman Bapaknya itu.

            “Bisa-bisanya kau tidak mengenali Paman, Yos lihatlah anakmu ini tadi tidak sempat mengenaliku” Ucap Hesa, mengadu pada Yos yang baru saja datang ke ruang tamu. Dilanjutkan dengan Yos yang tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.

            “Silahkan diminum, Mas.” Ucap Siti Kustini, Istri Yosaphat.

            “Terima kasih, Kustini.” Balas Hesa.

            “Jadi bagaimana rencananya?” tanya Yos pada Hesa.

            “Pembebasan Irian Barat akan dilakukan secara senyap.” Ucap Hesa to the point.

            “Kita akan pakai berapa kapal?” Tanya Yos.

            “Kita akan pakai KRI Matjan Kumbang, KRI Harimau, KRI Matjan Tutul dan KRI Singa. Kau yakin akan ikut? Bahkan saat ini jabatnmu lebih tinggi dari Kolonel Soedomo yang menjadi Komandan Eskander operasi nanti”

            “Tentu saja aku yakin, aku akan ikut”  Ucap Yos tanpa ragu, Ia bertekad untuk menancapkan bendera merah putih secara langsung ditanah Irian Barat.

           “Baiklah terserah kau saja Yos.”

            Kunjungan Hesa ke rumah Yos itu tidak berlangsung lama, memang hanya bertujuan untuk menyampaikan informasi rencana yang akan mereka laksanakan. Mengapa Hesa repot-repot  ke rumah Yos untuk memberitahu rencana itu? Ya karena Yos baru saja pulih dari sakit, beberapa hari yang lalu Yos tidak bisa hadir dalam perundingan perencanaan dan strategi. Dan seharusnya Yosaphat pun tidak usah ikut serta dalam operasi senyap ini.

            Keesokannya Yos sedang berkumpul bersama kelima anaknya di ruang tengah. Sementara Istrinya sedang mempersipakan barang-barang Yos untuk dibawa besok, memastikan tidak ada satupun perlengkapan Yos yang tertinggal.

            “Anak-anak, kemarilah” Perintah Yos kepadanya anak-anaknya yang sedang sibuk masing-masing. Ada yang sedang belajar, dan ada yang sedang bermain dan bercanda satu sama lain.

            “Ada apa pak?” tanya anak sulung Yos.

            “Besok Bapak akan pergi bertugas. Berjanjilah pada Bapak, kalian harus belajar dengan rajin. Sayangilah dan jagalah selalu Ibu kalian.”

            “Kenapa Bapak bicara seperti itu? Nanti juga Bapak akan pulang kan. Bapak yang akan menjaga kami dan juga Ibu” Ucap anak kedua Yos. Kenapa hanya dua anak Yos yang menjawab ucapan Yos tadi? Karena anak-anak Yos yang lain masih terlalu kecil untuk memahami ucapan Yos.

            “Bapak hanya ingin menyampaikan amanah saja pada kalian, jikalau Bapa nanti tidak ada, kalian harus bisa menjalani permintaan Bapak yang tadi.”

            “Baik pak, kami berjanji” Ucap anak sulung Yos.

           

                                            ***

                              Tanjung Priok, 1962

            Bagai diterpa ombak besar, rakyat Indonesia tak bisa mendapat masa tenang. Kemerdekaan Indonesia telah dingenggam, perjuangan para pahlawan telah membuahkan hasil. Tapi tetap saja, masalah belum selesai sampai hari kemerdekaan saja. Masalah masih berdatangan dari Sekutu dan Belanda yang masih ada di Indonesia. Bahkan masalah pun berdatangan dari para pemberontak sesama rakyat Indonesia. Rasa lelah, rasa takut, rasa khawatir dan perasaan tidak tenang masih saja dirasakan rakyat Indonesia termasuk oleh Yosaphat. Pria gagah itu sudah berkali-kali memimpin KRI untuk mempertahankan negara Indomesia.

            “Selamat pagi komandan!” seseorang menyapa Yos dengan  suara kencang, rupanya itu Ares.

            “Pagi Ares, sudah kuduga kaulah yang menyapaku barusan.” Ucap Yos.

            “Apa karena suara berat ku yang sangat khas ini?” Canda Ares.

            “Bukan, karena siapa lagi yang menyapaku dengan suara yang membuat telingaku sakit Ares”

            “Ish dasar” Ares berkata sambil terkekeh, Sahabat lamanya ini masih sama saja. Ciri khasnya yaitu suka bercanda dengan kalimat yang kesannya menyindir. Yah itulah seorang Yosapath.  

              Misi rahasia yang akan mereka laksanakan adalah pembebasan Irian Barat yang tertuang dalam Tri Komando Rakyat yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961. Presiden mengeluarkan Trikora ini karena Belanda meningkari janji untuk membebaskan Papua Barat.

            Perjalanan keempat KRI itu pun dimulai dari Tanjung Priok. Karena ini adalah operasi senyap, maka mereka dilarang berlabuh pada semua pelabuhan. Di perjalanan, KRI Singa tidak dapat melanjutkan perjalanannya karena terjadi kerusakan mesin.

                                               ***

                                     Laut Aru, 1962

            Rembulan ditemani para bintang menerangi bumi yang haus akan cahaya. Di malam tanggal 15 Januari 1962, ketiga KRI itu berada diatas perairan Laut Aru.  Dari kegelapan malam itu Kolobel Mursyid melihat radar blips dari arah depan. Rupanya Belanda sudah mengetahui operasi senyap ini, mereka bersiaga menanti KRI untuk menghadang dan menyerang KRI yang akan menuju Irian Barat itu.

          “Di depan ada musuh” Teriak Mursyid

            “Semuanya, bersiap” Komodor Yos memberi aba-aba dan mengarahkan para pasukan

           ‘Dor dor dor’ 

            Tembakan dari Belanda mendarat pada sekitar ruang kendali KRI Matjan Tutul, anggota pasukan banyak yang mengalami luka cukup parah.

            “Saya yang ambil kendali” Komodor Yos mengambil alih kapal.

            “Sepertinya kita tidak akan bisa melawan, situasinya tidak seimbang” Kolonel Soedomo berucap dengan fakta bahwa saat itu Belanda lebih unggul. Kolonel Soedomo pun memerintahkan ketiga KRI untuk berputar kearah kanan demi menghindari serangan.

            “Mengapa KRI Matjan Tutul malah tetap maju kedepan?” tanya Hesa dengan Khawatir, Hesa saat ini berada di KRI Harimau bersama Kolonel Soedomo.

            “KRI Matjan Tutul melakukan manuver” Ucap Kolonel Soedomo pada semua orang yang berada satu kapal dengannya.

            Komodor Yos Sudarso sengaja mengarahkan kapal kedepan agar dua kapal lain bisa menjauhi titik tempur itu. Senjata andalan KRI yaitu Torpedo sudah tak ada lagi. KRI tidak bisa melawan serangan yang dilayangkan oleh kapal perang Belanda.

            “Kobarkan semangat pertempuran” kalimat itu terus diucapkan Yos pada radio kapal, memerintahkan anggotanya agar terus bertempur. Seketika Yos mengingat mimpi yang pernah menghampiri tidurnya saat masih di sekolah pelayaran, walaupun kejadiannya tidak sama persis tetapi memang hampir sama. Mimpinya itu sangat nyata, sangat terasa seperti luka yang ia dapatkan dari serang Belanda ini.  Ternyata keputusannya memberi amanah pada anak-anaknya yang masih kecil itu sangat benar. Mimpi yang pernah menghampiri tidurnya itu seolah- olah pertanda dari Tuhan. Tak lama kemudian KRI Matjan Tutul benar-benar tenggelam. Kini Laut Aru telah menjadi saksi bagaimana ketiga KRI bertempur melawan kapal perang Belanda.

            Kobarkan semangat pertempuran!

           

 

                   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun