Mohon tunggu...
Fikri Akbar
Fikri Akbar Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

Islamisasi Ilmu

5 Maret 2018   00:10 Diperbarui: 5 Maret 2018   01:17 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Islam Nusantara

Perdebatan tentang islam; antara islam sebagai agama islam yang memuat agama

Normatif dengan Islam di pandang sebagai nilai universal telah melalui perjalanan yang

Cukuppanjang dalam realitas sejarah dunia. Begitu juga para intelektual Islam yang ber-

Domisili di negara Indonesia.

Sebagian intelektual muslim memandang islam secara normatif dogmatis penerapan

Syari'at islam dalam kehidupan sehari-hari dan sebagai panduan dama siste "nation state"

Adalah sebuah cerminan dari orang-orang yang masih memiliki nalar normatif dogmatif .

Disisi yang lain gerakan modernisme Islam bergerak dengan mengikuti arus globalisasi dan

Modernisme dunia. Peralihan dari homo erectuspada homo sapiendan dinamika das sein

Dan das sollenmembawa manusia kepada modernisasi yang serba mekanik, (dengan ketidak

Sadaran menganggap "pintar", padahal seluruh elemen otak sudah terkonstruk oleh modernisasi

Dunia). Modernitas yang menjanjikan objektivitas ilmu pengetahuan dan universitas moral dan

Hukum pun tidak lagi mampu melapangkan impian utopis itu. Apa yang boleh Habermas

Disebut dengan 'patologi modernitas' menjadi bukti konkret bualan sekaligus arogansi

Modernitas yang berhasrat menghadirkan 'dunia bertepi' dengan segala ketunggalannya.

Hibriditas terberangus dan diberangus atas nama universalitas.

Pada akhir abad 19 dab awal abad 20, dunia islam menghadapi gerakan modernisme

Yang menyesuaikan ajaran islam dengan modernisasi dunia. Di berbagai belahan dunia, islam

Berusaha merubah "wajah" menjafdi modern,termasuk juga di Nusantara.

Akar pembaharuan dalam islam ini di mulai pada abad 17 yang di motori oleh tiga

Tokoh yaitu Nuruddin ar-Araniri, Syeh Abdur Rauf Singkel dan Muhammad Yusuf Makassar.

Pada abad 19 Syeh Khatib Minangkabau membawa "pembaharuan" di Nusantara. Pemikiran

Pembaharuan ini kembali membumi pada era 1970-an yang dimotori oleh intelektual islam

Nusantara sendiri , yaitu Munawwir Sjadzali, Abdurrahman Wahid, Dawam Raharjo, Ahmad

Syafi'i Ma'arif, Nur Kholis Majid dan Amin Rais (al-muawwar,2001). Intelektual muslim yang

Memunculkan pembaharuan dalam khazanah islam dan sebagian yang masih berpegang teguh

Pada nilai-nilai normatif dogatis, bagi penulis, dua kajian itu terjebak dalam masa-masa Pan-

Islamisme yang berusaha mengibarkan bendera islamisasi di nusantara. Disisi yang lain

Pembaharuan menjadi "topeng"  untuk mencari rejeki  (Notosoetardjo; Bung Karno tentang

Radikalisme),begitu  juga Fundanmental. Para pemikir islam yang menamakn dirinya sebagai

Intelektual islam ternyata hanya menjadi agama (dogma) sebagai instrumen paling ampuh

 Untuk memecah dan terjadinya kekerasan aplikatif. Logika rimba menjadi generalisasi tindakan

Berlabel agama, seperti yang dikatakan Hobbes sebagai homo homini lupusdan agamapun

Kehilangan  elan vitalnya untuk mendakwahkan perennial-nya. Saat itu agama menjadi

"Makhluk" yang menakutkan sebagaimana dikisahkan Charless Kimball (when religion becomes

Evil[Harper Fransisco, 2002] )

Dua sisi kajian yg berbeda ini yang mempunyai "bias" pada tataran wilayah islam

(orang yang memeluk islam saja) tidak pada masyarakat basis nusantara (indonesia saat ini).

Apalagi dalam kondisi pada saat ini yang dikenal dengan krisis multidimensi, muncul satu

Pertanyaan apa kontribusi islam (dua pemikiran yang berbeda)  pada wilayah indonesia dalam

Tatanan basis masyarakat "bodoh' terlepas dari agama , suku dan ras yang berbeda?

Dengan demikian pemikiran islam hanya mengerti atau tidak memahami pada wilayah

Alur paradigme islam saja, tidak menengok sisi "riwayat nusantara" yang telah mempunyai sosio

Kultural sendiri. Banyak pemikir islam yang mengerti dan mengenal "riwayat" China dan Eropa,

Tapi sedikit yang mengerti dan memahami "riwayat" nusantara. Sehinnga sangat di maklumkan,

Kalau semua kajian yang muncul bersifat elistis (guyonannya sahabat-sahabat "seminar atau

Resolusi pemberdayaan masyarakat kecil seperti petani, pedagang kaki lima dan para

Masyarakat nelayan diadakan di dalam hotel berbintang lima).

Pribumisasi islam yang pernah di lontarkan Abdurrahman Wahid pada akhir 80-an,

Secara geneologis menjadi inspirasi munculnya islam nusantara sebagai genre baru pada rana

 Khazanah intelektual islam. Dalam pribumisasi tergambar bagaimana islam sebagai normatif

 Dari tuhan di akomodasikan kedalam kebudayaan hasil proyeksi manusia tanpa kehilangan

Identitasnya. Bagi Abdurrahman Wahid proses mengidentifikasi diri dengan budaya timur

Tengah adalah tercabutnya akar budaya kitas sendiri dan arabisasi belum tentu cocok bagi

kebutuhan bangsa khususnya dan nusantara umumnya. Pribumisasi bukanlah menjadi satu

Bentuk perlawanan untuk meneguhkan budaya setempat agar tidak hilang. Inti pribumisasi islam

Adalah kebutuhan bukan untuk menghindari polarisasi anatara agama dengan budaya sebab

Polarisasi demikian tidak dapat terhindarkan. Pribumisasi islam telah menjadikan agama dan

Budaya tidak salimg mengalahkan melainkan berwujud dalam pola nalar keagamaan yang

Tidak lagi mengambil bentuknya yang otentik dari agama, serta berusaha mempertemukan

Jembatan yang selama ini memisahkan antara agama dan budaya.

Pribumisasi islam tidak lebih dari kontekstualisasi yang di munculkan pemikir

Kontenporer seperti Asghar, Nasr Hamid, Abu Zaed, Sayyed Hosen Nasr, Hasan Hanafi,

Arkoun, DLL. Konstekstualisasi yang dijadikan sebagai paradigma sesungguhnya mengambil

Semangat Walisongo dalam dakwahnya ke wilayah nusantara pada abad 15 dan 16 di pulau jawa

Dalam hal ini Walisomgo telah berhasil memasukan nilai-nilai lokal dalam islam yang khas

Keindonesiaan. Kreatifitas Walisongo ini melahirkan gugusan baru bagi nalar islam indonesia

Yang tidak harfiyah menurut islam Arab. Tidak ada Arabisasi dalam penyebaran islam pada

Awal di nusantara. Hal ini tentu berbeda dengan apa yang dilakukan pada masa selanjutnya

(abad ke-17) oleh Abdurrauf Al-Singkili dan Muhammad Yusuf Al-makassari yang lebih corak

Purifikasi dalam pembaharuan islam.

Sejarah ini berulang menjadi kesadaran-kesadaran baru pada era 90-an melakukan kritik

Terhadap model keberagamaan yang bercorak puritan. Kiri islamnya Hasan Hanafi dab gagasan

Pos tradisionalisme islam Muhammad Abid Al-Jabiri, Muhammad Arkoun,Nasr Hamid Abu

Zaed dan Muhammad Syahrur telah menjadi rujukan utama dari kelompok-kelompok islam

Tradisional untuk melakukan kritik nalar islam, sekaligus menjadi tradisi sebagai jembatan

Emas menuju pemikiran islam membebaskan.

Dengan demikian islam nusantara sebagai bagian dari pertarungan wacana (discovery)

Merupakan kelanjutan dari gagasan sebelumnya dengan semangan dan tantangan berbeda.

Tantangan yang di hadapi islam nusantara adalahuniversalisasi dan otentikasi islam dalam

Segala bentuknya yang mengarah pada fundamentalisme Islam.

DAFTAR PUSTAKA

1.Abdurrahman Wahid, Pergulatan negara, agama dan kebudayaan (jakarta;

            Desantara, 2001),111

         2.Dr. Yusuf Qardhawi, Al-khashaish al-‘aamiyah al-islam (Beirut cet. VIII, 1993) .3

         3.Abdurrahman, Moeslim, 1995. Islam Transformatif, Jakarta; Pustaka Firdaus

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun