Islam Nusantara
Perdebatan tentang islam; antara islam sebagai agama islam yang memuat agama
Normatif dengan Islam di pandang sebagai nilai universal telah melalui perjalanan yang
Cukuppanjang dalam realitas sejarah dunia. Begitu juga para intelektual Islam yang ber-
Domisili di negara Indonesia.
Sebagian intelektual muslim memandang islam secara normatif dogmatis penerapan
Syari'at islam dalam kehidupan sehari-hari dan sebagai panduan dama siste "nation state"
Adalah sebuah cerminan dari orang-orang yang masih memiliki nalar normatif dogmatif .
Disisi yang lain gerakan modernisme Islam bergerak dengan mengikuti arus globalisasi dan
Modernisme dunia. Peralihan dari homo erectuspada homo sapiendan dinamika das sein
Dan das sollenmembawa manusia kepada modernisasi yang serba mekanik, (dengan ketidak
Sadaran menganggap "pintar", padahal seluruh elemen otak sudah terkonstruk oleh modernisasi
Dunia). Modernitas yang menjanjikan objektivitas ilmu pengetahuan dan universitas moral dan
Hukum pun tidak lagi mampu melapangkan impian utopis itu. Apa yang boleh Habermas
Disebut dengan 'patologi modernitas' menjadi bukti konkret bualan sekaligus arogansi
Modernitas yang berhasrat menghadirkan 'dunia bertepi' dengan segala ketunggalannya.
Hibriditas terberangus dan diberangus atas nama universalitas.
Pada akhir abad 19 dab awal abad 20, dunia islam menghadapi gerakan modernisme
Yang menyesuaikan ajaran islam dengan modernisasi dunia. Di berbagai belahan dunia, islam
Berusaha merubah "wajah" menjafdi modern,termasuk juga di Nusantara.
Akar pembaharuan dalam islam ini di mulai pada abad 17 yang di motori oleh tiga
Tokoh yaitu Nuruddin ar-Araniri, Syeh Abdur Rauf Singkel dan Muhammad Yusuf Makassar.
Pada abad 19 Syeh Khatib Minangkabau membawa "pembaharuan" di Nusantara. Pemikiran
Pembaharuan ini kembali membumi pada era 1970-an yang dimotori oleh intelektual islam
Nusantara sendiri , yaitu Munawwir Sjadzali, Abdurrahman Wahid, Dawam Raharjo, Ahmad
Syafi'i Ma'arif, Nur Kholis Majid dan Amin Rais (al-muawwar,2001). Intelektual muslim yang
Memunculkan pembaharuan dalam khazanah islam dan sebagian yang masih berpegang teguh
Pada nilai-nilai normatif dogatis, bagi penulis, dua kajian itu terjebak dalam masa-masa Pan-
Islamisme yang berusaha mengibarkan bendera islamisasi di nusantara. Disisi yang lain
Pembaharuan menjadi "topeng"  untuk mencari rejeki  (Notosoetardjo; Bung Karno tentang
Radikalisme),begitu  juga Fundanmental. Para pemikir islam yang menamakn dirinya sebagai
Intelektual islam ternyata hanya menjadi agama (dogma) sebagai instrumen paling ampuh
 Untuk memecah dan terjadinya kekerasan aplikatif. Logika rimba menjadi generalisasi tindakan
Berlabel agama, seperti yang dikatakan Hobbes sebagai homo homini lupusdan agamapun
Kehilangan  elan vitalnya untuk mendakwahkan perennial-nya. Saat itu agama menjadi
"Makhluk" yang menakutkan sebagaimana dikisahkan Charless Kimball (when religion becomes
Evil[Harper Fransisco, 2002] )
Dua sisi kajian yg berbeda ini yang mempunyai "bias" pada tataran wilayah islam
(orang yang memeluk islam saja) tidak pada masyarakat basis nusantara (indonesia saat ini).
Apalagi dalam kondisi pada saat ini yang dikenal dengan krisis multidimensi, muncul satu
Pertanyaan apa kontribusi islam (dua pemikiran yang berbeda) Â pada wilayah indonesia dalam
Tatanan basis masyarakat "bodoh' terlepas dari agama , suku dan ras yang berbeda?
Dengan demikian pemikiran islam hanya mengerti atau tidak memahami pada wilayah
Alur paradigme islam saja, tidak menengok sisi "riwayat nusantara" yang telah mempunyai sosio
Kultural sendiri. Banyak pemikir islam yang mengerti dan mengenal "riwayat" China dan Eropa,
Tapi sedikit yang mengerti dan memahami "riwayat" nusantara. Sehinnga sangat di maklumkan,
Kalau semua kajian yang muncul bersifat elistis (guyonannya sahabat-sahabat "seminar atau
Resolusi pemberdayaan masyarakat kecil seperti petani, pedagang kaki lima dan para
Masyarakat nelayan diadakan di dalam hotel berbintang lima).
Pribumisasi islam yang pernah di lontarkan Abdurrahman Wahid pada akhir 80-an,
Secara geneologis menjadi inspirasi munculnya islam nusantara sebagai genre baru pada rana
 Khazanah intelektual islam. Dalam pribumisasi tergambar bagaimana islam sebagai normatif
 Dari tuhan di akomodasikan kedalam kebudayaan hasil proyeksi manusia tanpa kehilangan
Identitasnya. Bagi Abdurrahman Wahid proses mengidentifikasi diri dengan budaya timur
Tengah adalah tercabutnya akar budaya kitas sendiri dan arabisasi belum tentu cocok bagi
kebutuhan bangsa khususnya dan nusantara umumnya. Pribumisasi bukanlah menjadi satu
Bentuk perlawanan untuk meneguhkan budaya setempat agar tidak hilang. Inti pribumisasi islam
Adalah kebutuhan bukan untuk menghindari polarisasi anatara agama dengan budaya sebab
Polarisasi demikian tidak dapat terhindarkan. Pribumisasi islam telah menjadikan agama dan
Budaya tidak salimg mengalahkan melainkan berwujud dalam pola nalar keagamaan yang
Tidak lagi mengambil bentuknya yang otentik dari agama, serta berusaha mempertemukan
Jembatan yang selama ini memisahkan antara agama dan budaya.
Pribumisasi islam tidak lebih dari kontekstualisasi yang di munculkan pemikir
Kontenporer seperti Asghar, Nasr Hamid, Abu Zaed, Sayyed Hosen Nasr, Hasan Hanafi,
Arkoun, DLL. Konstekstualisasi yang dijadikan sebagai paradigma sesungguhnya mengambil
Semangat Walisongo dalam dakwahnya ke wilayah nusantara pada abad 15 dan 16 di pulau jawa
Dalam hal ini Walisomgo telah berhasil memasukan nilai-nilai lokal dalam islam yang khas
Keindonesiaan. Kreatifitas Walisongo ini melahirkan gugusan baru bagi nalar islam indonesia
Yang tidak harfiyah menurut islam Arab. Tidak ada Arabisasi dalam penyebaran islam pada
Awal di nusantara. Hal ini tentu berbeda dengan apa yang dilakukan pada masa selanjutnya
(abad ke-17) oleh Abdurrauf Al-Singkili dan Muhammad Yusuf Al-makassari yang lebih corak
Purifikasi dalam pembaharuan islam.
Sejarah ini berulang menjadi kesadaran-kesadaran baru pada era 90-an melakukan kritik
Terhadap model keberagamaan yang bercorak puritan. Kiri islamnya Hasan Hanafi dab gagasan
Pos tradisionalisme islam Muhammad Abid Al-Jabiri, Muhammad Arkoun,Nasr Hamid Abu
Zaed dan Muhammad Syahrur telah menjadi rujukan utama dari kelompok-kelompok islam
Tradisional untuk melakukan kritik nalar islam, sekaligus menjadi tradisi sebagai jembatan
Emas menuju pemikiran islam membebaskan.
Dengan demikian islam nusantara sebagai bagian dari pertarungan wacana (discovery)
Merupakan kelanjutan dari gagasan sebelumnya dengan semangan dan tantangan berbeda.
Tantangan yang di hadapi islam nusantara adalahuniversalisasi dan otentikasi islam dalam
Segala bentuknya yang mengarah pada fundamentalisme Islam.
DAFTAR PUSTAKA
1.Abdurrahman Wahid, Pergulatan negara, agama dan kebudayaan (jakarta;
      Desantara, 2001),111
     2.Dr. Yusuf Qardhawi, Al-khashaish al-‘aamiyah al-islam (Beirut cet. VIII, 1993) .3
     3.Abdurrahman, Moeslim, 1995. Islam Transformatif, Jakarta; Pustaka Firdaus
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H