Mohon tunggu...
Abdul Fickar Hadjar
Abdul Fickar Hadjar Mohon Tunggu... Dosen - Konsultan, Dosen, pengamat hukum & public speaker

Penggemar sastra & filsafat. Pengamat hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kedudukan JPU dalam Konteks Upaya Hukum Peninjauan Kembali dalam Sistem Peradilan Pidana

30 Januari 2020   22:08 Diperbarui: 3 Februari 2020   22:03 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

1.2. Pasal 263 ayat  (1)  Undang-Undang  Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum  Acara  Pidana  (Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Tahun 1981 Nomor  76,  Tambahan  Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Nomor   3209) tidak   mempunyai   kekuatan   hukum   mengikat secara bersyarat,  yaitu  sepanjang  dimaknai  lain  selain  yang secara  eksplisit  tersurat dalam norma a quo;

 

Amar putusan itu didasarkan atas pertimbangan bahwa rumusan   Pasal 263 ayat (1) UU 8/1981 menurut MK mengandung empat landasan pokok yang  tidak  boleh  dilanggar  dan  ditafsirkan  selain  apa  yang  secara  tegas  tersurat  dalam Pasal dimaksud, yaitu:

 

  • 1.  Peninjauan   Kembali   hanya   dapat   diajukan   terhadap   putusan   yang   telah
  •      memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde zaak);
  • Peninjauan  Kembali  tidak  dapat  diajukan  terhadap  putusan  bebas  atau  lepas  dari segala tuntutan hukum;
  • Permohonan  Peninjauan  Kembali  hanya  dapat  diajukan  oleh  terpidana  atau  ahli  
  •       warisnya;
  • Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan terhadap putusan pemidanaan;

 

Pertanyaannya adalah bagaimana dengan kedudukan Jaksa Penuntut Umum pihak yang mewakili korban dalam konteks upaya hukum PK ini ? atau pertanyaan lain bagaimana kedudukan Jaksa Penuntut Umum dalam konteks Pasal 263 ayat (3) KUHAP ?

 

Putusan Mahkamah Konstitusi No.33/PUU-XIV/2016 tgl.12 Mei 2016 secara eksplisit jelas hanya menafsir dan memutus tentang Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang memang tidak menyebutkan sama sekali Jaksa Penuntut Umum sebagai pihak yang berwenang mengajukan upaya hukum PK dan dipertegas oleh putusan MK aquo, tetapi demikian halnya Mahkamah Konstitusi sama sekali tidak membahas atau menafsir Pasal 263 ayat (3) KUHAP yang tidak juga menyebutkan pihak mana yang boleh mengajukan upaya hukum luar biasa PK.

 

Artinya, putusan MK No.33/PUU-XIV/2016 jelas memang ditujukan sebagai dasar hukum Terpidana atau ahli warisnya yang dapat mengajukan PK terhadap "putusan yang menghukum" sedangkan terhadap putusan bebas/lepas Terpidana tidak bisa mengajukan PK. Demikian juga artinya MK tidak pernah melarang Jaksa penuntut Umum mengajukan upaya hukum luar biasa PK dalam konteks Pasal 263 ayat (3) KUHAP. Ada sebagian praktisi dan akademisi menyatakan bahwa Pasal 263 ayat (3) KUHAP adalah bagian tak terpisahkan dari Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang melarang terhadap "putusan lepas" untuk diajukan upaya hukum PK, namun pertanyaannya jika memang Pasal 263 ayat (3) itu bagian dari Pasal 263 ayat (1) KUHAP pertanyaannya mengapa pembuat undang-undang mengecualikan dan mendudukannya sendiri Pasal 263 ayat (3) KUHAP sebagai landasan mengajukan upaya PK terhadap putusan yang terbukti tapi tidak ada pemidanaan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun