Alasan pemaaf itu antara lain; karena pengaruh daya paksa (Psl 48 KUHP), karena pembelaan terpaksa yang melampauai batas (Psl 49 KUHP), karena melaksanakan ketentuan undang-undang (Psl 50 KUHP) dan karena melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang (Psl 51 KUHP). Disamping itu alasan pemaaf juga dapat lahir dari "hilangnya" sifat melawan hukum formil maupun materiil sebuah aturan, adanya izin dari pemilik bagi tindak pidana perusakan. Demikian juga alasan pemaaf juga bisa lahir karena alasan profesi (sebagai contoh imunitas bagi profesi advokat yang tidak dapat dituntut dalam melaksanakan profesinya dengan itikad baik). Â
Â
Â
Â
Dari perspektif sosiologis: putusan yang memuat  suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan (Pasal 263 ayat (3) KUHAP) dapa berbentuk putusan-putusan yang didalamnya mengandung judisial corruption, putusan yang didalamnya menggambarkan ada pemihakan (partiality), putusan yang mengandung kekeliruan dan/atau kekhilafan.Â
Â
Salah satu bentuk putusannya adalah putusan yang pada tingkat pertama di pengadilan negeri menghukum, pada taingkat banding di pengadilan tinggi menghukum dan pada tingkat Kasasi di Mahkamah Agung justru melepaskan (onslag) karena ada tiga pendapat berbeda dari ketiga hakim Kasasi. Hakim Ketua memutus "perbuatan pidana" terdakwa terbukti, hakim anggota pertama memutus itu perbuatan perdata dan hakim anggota ketiga memutus sebagai perbuatan administrasi. Putusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak (voting) menyimpulkan bahwa perbuatan terdakwa terbukti tetapi bukan merupakan perbuatan pidana.
Â
Pada suatu ketika mendapat kesempatan mem"profil assessment" bidang hukum seorang calon hakim agung yang kebetulan jabatan strukturalnya di bidang pengawasan, info gambaran tentang profil hakim yang berintegritas atau tidak dapat dilihat dari beberapa indicator dalam putusan-putusannya, antara lain:
Â
Posisi kasus