4. Peninjauan Kembali dapat juga diajukan terhadap putusan yang tidak menghukum.
Â
Siapa para pihak yang dapat mengajukan upaya hukum luar biasa PK berdasar Pasal 263 ayat (3) KUHAP ini, tentu saja dikembalikan pada para pihak yang bersangkutan atau yang mempunyai kepentingan dalam perkara aquo. Dalam konteks ini Pasal 24 Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman juga memberikan landasan hukum : "Terhadap  putusan  pengadilan  yang  telah  memperoleh kekuatan  hukum  tetap,  pihak-pihak  yang  bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada MahkamahAgung,  apabila  terdapat  hal  atau  keadaan  tertentu  yang ditentukan dalam undang-undang. Dan "pihak-pihak yang bersangkutan" dalam sebuah perkara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (putusan Pengadilan Negeri yang tidak dilakukan upaya hukum banding, putusan Pengadilan Tinggi /Banding yang tidak dilakukan upaya hukum Kasasi dan Putusan Kasasi MA) adalah terpidana dan korban yang dalam hal ini diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum.
Â
Dengan demikian pihak yang bersangkutan yang paling berkepentingan dalam upaya hukum luar biasa PK berdasarkan Pasal 263 ayat (3) KUHAP adalah korban yang atas nama kepentingan umum diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum, dan tidak mungkin Terpidana atau ahli warisnya mengajukan PK terhadap putusan tanpa pemidanaan. Oleh karenanya  Pasal 263 ayat (1) dan Pasal 263 ayat (3) KUHAP adalah pengejawantahan asas keseimbangan antara penghormatan terhadap Hak asasi Manusia (HAM Terpidana) dengan penegakan hukum sebagai kepentingan umum (korban) yang juga harus dihormati. Ini juga bisa disebut sebagai pelaksanaan asas "audi et alterum partem" memberi kesempatan yang sama pada para pihak untuk mengajukan argumennya.
Â
Â
Bentuk : putusan yang memuat  suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan (Pasal 263 ayat (3) KUHAP).
Â
Dalam perspektif yuridis dijatuhkannya pemidanaa terhadap seseorang didasarkan pada empat hal: pertama, pelaku telah melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam hukuman pidana oleh peraturan perundangan. Kedua; terbukti ada kesalahannya, baik berupa kelalaian maupun kesengajaan, ketiga; pelaku dapat dipertanggung jawabkan jiwanya, bukan anak-anak atau terganggu kesadarannya, dan keempat; tidak ada alasan pemaaf. Â Jadi sangat mungkin meskipun sudah terbukti seorang pelaku melakukan tindak pidana, demikian juga terbukti kesalahannya baik karena disengaja maupun karena kelalaian dan dapat dipertanggung jawabkan jiwanya, dalam putusan tidak ada pemidanaan karena adanya alasan pemaaf.
Â