Beberapa jenis dan tipe-tipe konflik sebagaimana dikemu kakan oleh pakar ilmu sosiologi. Soerjono Soekanto membedakan dua jenis konflik yaitu sebagai berikut:
Dimensi vertikal atau "konflik atas". Konflik ini terjadi antara elit dan massa (masyarakat). Elit di sini bisa para pengambil kebijaksanaan di tingkat pusat (pemerintahan) bisa pula kelompok bisnis atau aparat militer. Hal yang menonjol dalam konflik ini adalah digunakannya instrument kekerasan negara, sehingga timbul korban di kalangan massa (rakyat);
Konflik horizontal, yakni konflik yang terjadi di kalangan massa (rakyat) itu sendiri seperti konflik antaragama, khususnya antara kelompok agama Islam dan kelompok agama Nasrani (Protestan dan Katolik) selain itu konflik antarsuku.
Sedangkan tipe-tipe konflik oleh Fisher, sebagaimana diuraikan oleh Syamsuddin Pasamai, dapat dibedakan ke dalam empat tipe berikut:
1. Tanpa konflik; menggambarkan situasi yang relatif stabil, hubungan- hubungan antarkelompok bisa saling memenuhi dan damai. Tipe ini bukan berarti tidak ada konflik berarti di dalam masyarakat, akan tetapi ada beberapa kemungkinan atas situasi ini. Pertama, masyarakat mampu menciptakan struktur sosial yang bersifat mencegah ke arah konflik kekerasan. Kedua, sifat budaya yang memungkinkan anggota masyarakat menjauhi permusuhan dan kekerasan.
2. Konflik Laten, suatu keadaan yang di dalamnya terdapat banyak persoalan. sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan agar bisa dimengerti.
3. Konflik terbuka, situasi ketika konflik sosial telah muncul ke permukaan yang berakar dalam dan sangat nyata dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya.
4. Konflik permukaan, memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran, yang dapat di atasi dengan meningkatkan komunikasi (dialog terbuka).
C. Penyelesaian Konflik
 Secara umum, konflik yang terjadi di masyarakat dapat diselesaikan dengan dua cara yakni; secara litigasidan non-litigasi. Penyelesaian secara litigasi yakni penyelesaian konflik yang melibatkan pengadilan dan aparat penegak hukum melalui sebuah mekanisme tertentu yang disebut sebagai mekanisme hukum acara. Sedangkan penyelesaian konflik secara non-litigasi yakni penyelesaian konflik di luar jalur pengadilan atau juga disebut sebagai alternative dispute resolution. Kedua bentuk penyelesain konflik tersebut pada dasarnya menjadikan hukum sebagai patokan mekanismenya. Oleh karena itu hukum memiliki fungsi yang sangat krusial dalam penyelaian konflik, baik secara litigasi maupun secara non-litigasi
Kesimpulan