“Hana tewas terbakar, tak ada yang tersisa lagi darinya. Aku meningkar janjiku yan akan mengantarnya menuju kaki lagit. Ia pergi seorang diri.”
“bagaimana dengan suamimu?”
“aku menyuruhnya pergi. Pertengkaran yang hebat terjadi di antara kami. Aku berkata padanya, ‘aku lebih suka jika mati bersamanya ketimabang aku harus hidup tanpanya’ ia katakan, ‘kau masih punya aku yang bisa menemani sisa hidupmu.’ Aku katakan lagi, ‘aku tak ingin melihatmu lagi. Sebaiknya kau pergi dari hidupku. Dan jangan pernah datang lagi.’ Mungkin saat itu aku sedang tak terkendali. “
“aku menyesal telah menyuruhmu bercerita.”
“tak apa. Akhirnya aku bisa melepas seluruh yang menahan dalam dirku.”
“suamimu. Maksudku. Kau sudah tidak pernah bertemu lagi?”
“ya, tak pernah lagi.” Ia tertahan. “setelah beberapa hari yang lalu, ketika kau datang dengan seorang pria untuk berkencan.”
Apa? Oh tidak. “mak-maksudmu,..” aku terbata.
“ya, John.”
“oh Merry. Aku tidak bermaksud untuk,..”
“tak apa, aku sudah bisa melepasnya. Aku sadar akan satu hal, mungkin beberapa memang tak perlu terselesaikan dengan baik. Dan lagi, ia pergi karena salahku. Karena aku yang menyuruhnya. Sekarang, aku bisa apa?”