"Aku akan bertahan. Luka ini sangat menyiksa. Darah keluar dalam jumlah banyak membuatku lemas."
Dengan sigap aku menarik kaki Fredy dan menggendongnya ke garis belakang dan menyerahkannya pada pasukan medis, Kekuatan Jerman semakin kuat. Pesawat tempur mereka meraung-raung di udara. Hamparan tanah lapang pertempuran berubah jadi lautan Gas Klorin yang membunuh ratusan tentara. Misi penyerbuan telah gagal.
Di kala rintik hujan mulai jatuh sebuah surat kecil datang diantar Kurir untuk beberapa pasukan. Namaku disebut oleh Kurir. Aku berjalan terpincang-pincang karena luka setelah penyerbuan. Menyambut kertas itu dengan tanganku. Surat itu ditulis oleh anakku, Mary. la menuliskannya dengan rasa khawatir dan waswas.
"Viktor, cucumu sudah besar Ayah, la sudah berumur tiga tahun semenjak engkau pergi berperang. Ia bahkan sudah bisa membaca beberapa kata dan sudah mahir berjalan. Sekarang ia sedang menderita sakit kolera. Keadaan Saint Mihiel memburuk. Jumlah kematian warga sipil meningkat, penyakit juga semakin tersebar ke kota. Jumlah makanan juga menipis. Jangan khawatir, aku pasti bisa bertahan."
Hatiku sesak dan tertegun sejenak melihat betapa buruknya kondisi Saint Mihiel. Namun aku hanya bisa membalas surat tersebut dengan sekilas dan berdoa pada Tuhan agarÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H