"Siap, laksanakan pak !!" Sahut kami secara serempak.
Pelatihan yang ku jalani selama beberapa bulan ini sangat menguras tenaga. Kami diajarkan cara menembak dan merakit senjata kami. Bagaimana cara menikam musuh dan memberikan serangan pada parit musuh. Setidaknya itu cukup pikirku untuk memenangkan perang ini. Enam bulan setelah pelatihan ini kami mendapatkan tugas pertama kami. Aku ditugasi
memimpin pasukan untuk melawan Divisi V Jerman pimpinan Baron Von Dorf. 5 September 1914 aku dan pasukanku berangkat menuju Kota Marne. Hamparan kota yang hancur, tanah yang gersang dipenuhi mayat, kepulan asap dimana-mana dan dentuman senjata musuh adalah teman kami sepanjang perjalanan. Diriku telah tiba di bagian parit terdepan
pasukan Prancis. Parit yang panjang, kotor berlumpur dan ditambah sesak manusia adalah
kesan pertama yang kudapati.
Peluit panjang berbunyi bersahutan, seluruh pasukan membuka pisau bayonet dan memasangkannya pada senjata masing-masing. Sebelum diriku mencerna apa yang sedang terjadi, teriakan terdengar dimana-mana. Penyerbuan ke parit Tentara Jerman dimulai. Aku memerintahkan pasukan untuk lari sekuat tenaga menerjang lini terdepan Jerman, Serangan kami dibalas oleh rentetan senapan serbu dan dentuman artileri Jerman. Serempak kami merunduk dan tiarap mencium tanah, berjaga jaga agar hujan peluru tidak membunuh kami. Aku merunduk dan merangkak mendekati parit lawan. Dengan sigap aku melompat dan menancapkan bayonet untuk membunuh tentara itu. Rentetan senapan serbu terhenti, pasukan kembali berjalan menyerbu.
Terus menerjang dibawah hujan peluru dan dekapan kematian tidak menyurutkan tekadku. Tiba-tiba Jerman mengerahkan artileri dalam jumlah besar. Secara mendadak kami dihujani peluru besar artileri. Para tentara Prancis berjatuhan, Saling berteriak meraung kesakitan.
Kehilangan fokus dan lengah, sebuah peluru artileri menghantam parit tempatku sembunyi.
Sontak tubuhku terlempar tinggi ke angkasa dan mendapatkan luka parah. Kepalaku sakit dan
telinga berdengung keras, napasku tersengal sengal, mataku nanar menatap langit. Penglihatan
terakhirku adalah pasukanku sendiri. Satu persatu dari mereka habis terbantai dihujani artileri Jerman. Pasrah bahwa ajal akan menjemput, penglihatanku menjadi buram. Setelah itu aku Jatuh tak sadarkan diri. Tidak tahu apa yang akan terjadi. "Beve. Hrrrr. Dingin sekali. Apa yang sebenarnya terjadi. Kepalaku sakit sekali." Ucapku sambil menatap sekeliling ruangan dari batu bata tempatku berada. Aku melihat tangan dan