"Biasanya sehari dapat berapa Pak", aku mulai bersikap seperti wartawan
"Tergantung berapa lama hujannnya, kalau hujannya lama, banyak orang yang akhirnya tidak sabar menunggu hujan dan menyewa payung" Satu jam bisa mengantar 10 sepuluh orang menyeberang jalan dan rata-rata membayar seribu atau dua ribu.
"Wah kalau begitu, sehabis mengantarkan saya, Bapak bisa langsung pulang dong", balasku dengan rasa bangga dan berjasa telah menjanjikan uang yang ternyata cukup besar untuk ukuran penghasilan seorang pengojek payung.
"Iya Mas, setelah ini saya langsung pulang, Istri sudah menunggu makan malam".
Wah hebat sekali si kakek ini walaupun orang yang tidak tergolong punya, tapi punya budaya keluarga yang bagus.
"Bagaimana dengan anak Bapak?, punya berapa anak ?"
"Alhamdulillah saya mempunyai 4 anak laki-laki dan 3 anak perempuan"
"Wow, bapak punya keluarga besar, menurut saya itulah kekayaan yang sebenarnya""Anak saya hanya tiga Pak, berarti bapak lebih kaya dari saya"
Kadang kekayaan materi tidak memberi manfaat apa-apa seperti saya, walaupun ada empat mobil yang terparkir di rumah ibu saya, namun kekayaan bapak berupa payung inilah yang sekarang mampu menolong saya dari guyuran hujan." jiwa motivatorku mulai beraksi.
Terus terang aku sedang berusaha mengajarkan si pengojek payung ini untuk bersyukur walaupun hanya dengan anugerah sebuah payung, toh saat ini payung ini lebih berjasa dari mobil Mercedes ku yang sedari tadi sore terparkir di rumah atau dari si Taxi online yang menolak untuk menjual jasanya.
"Alhamdulillah 7 anak saya adalah anugerah terbesar saya karena mereka semua adalah anak-anak yang berbakti pada kami, orang-tuanya." si Kakek menjelaskan