Akhirnya batang payungpun kami genggam berdua sambil sesekali berusaha menarik payung ke arah yang menguntungkan badan masing-masing.
"Abi kebasahan dong", protestku pada Fadhil
"Ini Fadhil malah udah kebasahan duluan Bi", Fadhil menjawab disela tawa nakalnya.
Sang Kakek pengojek payung yang sedari tadi mengikuti kami dari belakang, tersenyum melihat keakraban aku dan si bungsu ini.
Air dari arah belakang dengan deras mengalir memaksa kami untuk berhenti sejenak untuk menggulung celana kami ke atas. Aku bahkan memutuskan untuk melepas sepatu yang sebetulnya sudah basah kuyup. Lebih nyaman bertelanjang kaki menikmati air deras yang terasa sejuk menerpa kaki.
Walaupun hujan turun dengan derasnya, namun tidak menurunkan tingkat kemacetan lalu lintas yang kami lalui. Tidak ada opsi selain untuk berjalan diatas trotoar yang juga dipenuhi oleh pedagang kaki lima. Beberapa kali aku terpeleset dan hampir saja jatuh kalau saja Fadhil tidak dengan sigap menahanku sambil tertawa.
"Hati-hati Bi, Abi udah mulai tua"
"Enak saja, jalannya saja yang licin tidak bersahabat", aku sangat menikmati kebersamaan dengan si Bungsu saat ini dan aku yakin momen seperti ini akan menempel dalam memori kami berdua.
Terjalnya jalan yang kami lalui berakhir ketika kami menyeberangi jalan pahlawan dan masuk ke ujung jalan lolongok. Walaupun tidak ada trotoar, jalanan tergolong sepi dari kendaraan lewat.
"Bapak tinggal dimana" tanyaku pada si Kakek pengojek payung yang sedari tadi terus membuntuti kami dengan jarak cukup dekat.
"Dekat-dekat sini juga" jawabnya