Mohon tunggu...
Fathi Bawazier
Fathi Bawazier Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pengojek Payung yang Wow...

26 Mei 2018   12:56 Diperbarui: 12 Juni 2018   14:38 958
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hujan terus mengguyur kota Bogor dengan derasnya seakan tidak ingin kehilangan julukan yang disandangnya sebagai Kota Hujan. Beberapa pengojek payung dengan gesit segera kembali ke pelataran Lobi Barat Mal BTM setelah menyeberangkan para pengguna jasanya ke seberang mal untuk naik Angkot. Hari baru menjelang magrib namun langit sudah nampak gelap terbungkus oleh awan pekat yang sedang membasahi bumi saat ini. Sudah setengah jam aku dan anakku Fadhil berdiri di depan lobi bersama belasan orang menunggu hujan reda. 

Sedikitpun tidak ada rasa menyesal saat ini atas keputusanku berjalan kaki dari rumah ibuku ke mal ini yang hanya berjarak 800 meter. Memang sih jika saja tadi aku mengendarai Mercedes kebanggaanku, sekarang ini aku tidak akan terperangkap oleh lebatnya guyuran hujan yang sama sekali tidak kuperhitungkan. Jam setengah lima tadi, langit tidak mengisyaratkan akan turunnya hujan saat ini. Keputusan manusia seringkali meleset karena memang manusia mempunyai keterbatasan dalam hal ini, Manusia hanya sampai batas merencanakan sedangkan Allah cukup berkehendak tanpa perlu merencanakan apapun, dan kun fa yakun, maka apapun yang dihendakiNya, terjadi.

Aku dan Fadhil sama-sama gelisah, aku harus segera tiba di rumah ibuku karena sebentar lagi akan ada acara makan malam keluarga besar ibuku. Setiap malam minggu kami 7 bersaudara bersama istri, suami dan anak masing-masing mengunjungi ibu untuk silaturahim sambil mencicipi masakannya yang selalu mengundang air liur. Namun menyantap makanan lezat sambil duduk di sebelah ibu adalah kenikmatan sempurna yang selalu diperebutkan oleh kami anak-anaknya. 

Makan malam selalu terhidang diatas plastik yang dihamparkan di atas karpet di depan TV dan hanya cukup untuk menampung 15 orang, sehingga anak, cucu dan menantu harus berebut untuk bisa mendapat tempat sedangkan sisanya harus puas dengan duduk di meja makan.  Spot disebelah kiri maupun kanan Ibuku seperti layaknya posisi jabatan penting di sebuah pemerintahan, hanya saja kami tidak melakukan manuver politik untuk mendapat posisi tersebut karena peraturannya dari ibuku walaupun tak pernah terucap namun cukup jelas dan sederhana, siapa cepat, dia dapat. 

Fadhil, si bungsu tingginya sudah 15 cm melampaui aku yang hanya 170cm, terlihat sibuk chatting dengan sepupunya yang sudah menunggunya sejak sore tadi di rumah ibuku.

"Gimana nih Bi, " tanyanya sambil mengarahkan pandangannya kepada derasnya hujan yang tak ada tanda-tanda akan segera berhenti. Memang sih banyak angkot yang sedang menunggu penumpang diseberang sana. Namun rumah ibuku tidak dilalui jalur angkot, jadi opsi naik angkot memang tidak ada.

"Naik grab aja Bi," Fadhil mencoba memberi solusi. Sebenarnya solusi ini juga terlintas juga dalam pikiranku namun ada faktor lain yang tidak dipikirkan oleh Fadhil, yaitu biayanya. Walaupun aku sangat mampu membayarnya namun jarak yang bisa ditempuh 10 menit dengan berjalan kaki, rasanya terlalu berlebihan kalau harus memakai jasa taxi online.

"Dari pada ketinggalan makan malam!," Fadhil menambahkan agar usulannya lebih mengena. Iya juga sih, momen makan malam bersama keluarga jika harus dibayar dengan ongkos taxi online terasa sangat murah sekali.

"Cerdik kamu Dhil" sahutku sambil menepuk bahunya, Fadhil menolehku sambil berusaha menyembunyikan senyum kemenangan karena usahanya untuk segera berkumpul dengan para sepupunya berhasil. Segera aku pesan taxi online via handphone, tampak di peta aplikasi tidak terlalu banyak taxi yang beroperasi. Setelah berhasil memesan taxi, aku mengajak Fadhil untuk menunggu di seberang jalan karena taxi akan menjemput kami dari arah sana.

"Kita tunggu di gerobak tukang Cakwe sambil makan cakwe".

"Good idea" jawab Fadhil mantap. Langsung kuraih payung dari salah satu pengojek payung yang sedari tadi terus mengacung-acungkan payungnya setiap kali melihat orang membuka pintu keluar mal. Rata-rata payung yang mereka sewakan itu berukuran besar, jadi cukup buat kami berdua sementara sang pemilik payung berbasah-basahan berjalan mengikuti kami dari belakang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun