Seketika itu aku meninggalkan kerumunan, meminta beberapa orang untuk berjaga di depan kantor menggantikanku. Aku meminta izin pada atasanku untuk pergi ke pusat kesehatan dan mengirim bantuan dengan segera. Namun jawabannya sangat membuat aku ingin muntah seketia.
"Buat surat dulu, harus di tanda tangani wali kota, saya harus koreksi suratnya terlebih dahulu!"
"Membuat surat dengan mesin tik butuh waktu lama, Pak, warga tidak bisa dikontrol saat ini!"
"Suruh saja penjaga untuk mengusir mereka"
Aku meninggalkan ruangannya dengan terburu-buru dan mengambil jaket, lalu dengan tidak sadar aku menggebrak meja Burhan.
"Mas, aku mau ke pusat kesehatan sekarang, tolong buatkan surat susulan!"
"Berani sekali kamu!"
Lalu aku dengan cepat mensetater Honda Benlyku dan langsung tancap gas dengan harga diri seorang pahlawan dan membanggakan diri sendiri selama perjalanan. Dalam hatiku mengumpat atasanku dengan kata-kata yang menjijikan. Lalu bayang-bayang Roro perlahan mulai membaur dengan umpatan yang ku ucapkan dalam hati. Aku harus lebih berhati-hati dalam hal ini, jangan sampai umpatan itu bercampur dengan keadaan hatiku yang sedang bergairah. Bisa-bisa justru aku malah beralih mengumpat Roro dan suaminya yang songong itu.
Apa yang sudah kulakukan terhadap mas Burhan tadi sepertinya cukup kelewatan. Dalam perjalanan cukup menyadari bahwa aku telah melampaui batas hari ini, mau tak mau harus siap dengan sanksi dan teguran yang menungguku pulang nanti. Ah, masa bodo, dihitung-hitung sampai dengan usia samgong ku ini belum pernah aku melakukan hal yang begini baik terhadap warga.
Sampai disana aku melihat dua ambulan dan satu mobil kijang lepas landas dari pangkalan kantor dengan terburu-buru kurasa. Lalu aku masuk ke kantor pusat kesehatan dan melaporkan keluhan warga yang harus ditangani dengan segera. Hal yang cukup membuatku malu dan usahaku ternyata cukup mubah terjadi.
"Wealah telat mas, santai, sudah ada laporan masuk dari Desa."