Ia nampak senang sekali kugandeng sambil menyantap kudapan yang kubelikan. Hadiah atas sikapnya yang manis dan jerih payahnya menjadi guru bahasa asingku.
"Mulai besok paman harus lebih rajin belajar," ujarnya sambil menyeka mulutnya yang dikotori saos tomat.
Bagiku Xia-Xia adalah lentera yang menerangi kehidupanku yang selama ini begitu pekat. Dewa langit telah menunjukkan kebaikannya dengan mengirimikuseorang putri guna menggantikan putri kandung yang tidak pernah sempat kubelai dan kutimang.
***
Suatu pagi nona Liu muncul di kedaiku membawa sepotong kain berbahan dasar sutra dengan sulaman bermotif burung Hong yang sangat detail dan rumit. Kain yang punya asal-usul tidak sederhana pastinya. Walaupun aku merasa tak layak menanyakan sumbernya. Warnanya merah maroon. Pemberian seorang pengusaha kaya dari Hongkong yang konon bermaksud meminang dan menjadikannya selir. Mereka berjanji bertemu dalam sebuah acara mekan malam pribadi di sebuah hotel berkelas tidak jauh dari pelabuhan, tempat kapal milik taipan itu singgah seminggu lagi.
Nona Liu yang semakin bertambah usianya nampak mulai termakan proses waktu, menunjukkan tanda-tanda keletihan dalam menjalankan profesinya. Membutuhkan seseorang untuk menariknya keluar dari dunia itu guna menjalankan hidup yang lebih tenang.
"Mudah-mudahan kencan kami menghasilkan kesepakatan yang saling menguntungkan," katanya sambil merentangkan tangan. Membiarkanku melingkarkan pita pengukur di dada dan pinggangnya.
"Aku bersedia pindah ke Hongkong mengikutinya. Syukur ia bisa menerima kehadiran putriku."
Aku melaksanakan tugasku dengan sendu. Menyadari tanda-tanda proses penuaan dalam dirinya. Ini terlihat dari lingkar dadanya yang sedikit menyusut, sementara garis pinggangnya kian melebar. Kala kuberitahu hasil pengukuranku ia langsung meradang.
"Tidak bisa!" Teriaknya sambil merenggut tali ukurku dan melemparkannya ke lantai.
"Buatlah sesuai ukuran yang dulu."