Rumah itu dalam keadaan perak-poranda. Diiringi tatapan rasa ingin tahu dan curiga para tetangga aku memasuki bilik yang kosong tersebut. Sebagian dindingnya nampak gosong. Di lantai berserakan abu serta serpihan barang dan pakaian yang belum habis terbakar.
Diantaranya ada rok Xia-Xia yang kubuatkan untuknya demi mendukung perannya sebagai malaikat dalam perayaan kelahiran seorang anak yang oleh orang-orang asing dianggap dewa mereka di sekolahnya. Aku sengaja merancang rok itu sambil menyematkan sepasang sayap terbuat dari sutra dengan kerangka kawat.Â
Anak itu begitu menyukai pakaian rancanganku yang mampu membuat iri teman-teman sekolahnya. Keesokan harinya anak-anak itu berbondong-bondong mendatangi kedaiku bersama ibu mereka minta dibuatkan rok bersayap seperti punya Xia-Xia.
Sungguh tak terbayangkan bagaimana perasaannya menyaksikan baju kesayangan itu hangus terbakar.
Beberapa hari lalu nyonya Wang mendatangi rumah tersebut disertai beberapa orang kaki tangannya. Ia menuduh nona Liu telah menularkan penyakit kelamin kepada suaminya. Celakanya oleh sang suami virus dahsyat yang konon bisa membuat seluruh tubuh penderitanya meleleh itu ditularkan terhadap sang istri.
Nyonya besar itu kemudian memprovokasi para tetangga nona Liu. Membuat mereka ketakutan penyakit yang belum ada obatnya itu akan menyerang seluruh pemukiman kumuh itu.
Beramai-ramai mereka menyeret nona itu keluar. Membakar semua milik pribadinya. Setelah memukuli dan menggunduli rambutnya ia bersama anaknya digiring pergi dari distrik tersebut. Tanpa membawa apa-apa selain pakaian yang melekat di tubuh mereka.
Lama aku berdiri terpekur di tengah puing-puing tanpa menyisakan jejak-jejak kehidupan sang penghuninya yang kini pergi entah kemana. Sosok manusia paling rentan dan terpinggirkan; yang melakukan segala upaya demi bertahan hidup dan mengais masa depan lebih cerah bagi sang putri.
Kenangan demi kenangan tentang keduanya muncul silih berganti. Senyum nona Liu yang menggoda sekaligus lelah. Sosok wanita yang mampu membangkitkan naluri kelelakianku guna melakukan apapun terbaik menurut versiku untuk mendukungnya. Tatapan bening Xia-Xia yang menyiratkan kepolosan serta ketulusan seorang bocah. Sangat betah berkeliaran di rumah - sekaligus tempat kerjaku - yang sebenarnya kurang layak menampung gadis cilik yang sangat aktif tersebut.Â
Gadis cilik yang kerap bergayut di kaki dan mengusikku agar mau menemaninya bermain. Membantunya membuat PR, seraya melontarkan pertanyaan tak terjawab: mengapa engkau bukan ayahku? Dan aku harus menelan kenyataan pedih: mengapa aku bukan ayahnya? Karena secara naluriah kami dihubungkan oleh naluri yang sama: melindungi dan dilindungi.
Terang tanah tiba. Kampung itu mulai membuka tabir kehidupannya. Aku bangkit dari anak tangga di depan puing yang rupanya sudah kududuki sejak semalaman. Menyisakan kelembaban tubuh yang tersapu oleh angin malam bercampur titik embun. Di sekitarku aktivitas kehidupan baru saja dimulai. Lelaki bertubuh kekar dan bertelanjang dada berteriak sambil mendorong gerobak yang dipenuhi drum berisi air bersih. Sesuatu yang sulit didapat rumah tangga di lingkungan tersebut.Â