Mohon tunggu...
Fanni Carmila
Fanni Carmila Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumahtanga. Mantan wartawan. Wiraswasta. Hobi mengarang

Asyik kalau bisa berkomunikasi dengan orang yang punya hobi sama.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Gaun Malam buat Nona Liu

2 Februari 2024   13:53 Diperbarui: 10 Februari 2024   21:23 1052
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gaun mewah(Shutterstock via kompas.com)

Aku mengenal nona Liu sekitar sepuluh tahun yang lalu. Kami sama- sama tinggal di Tian Zi Fang, sebuah perkampungan kumuh di kota Shanghai. Di distrik yang berbeda. Ia datang ke kiosku minta dibuatkan gaun pertama yang akan ia kenakan tatkala menjajakan diri di sebuah kawasan Lampu Merah dekat balai kota.

Saat itu usianya sekitar 20 tahun. Penampilannya sebagai seorang penjaja sex cukup menunjang. Tidak pemalu. Sorot matanya binal mengundang. Kecuali itu ia memiliki bentuk tubuh ideal untuk dijadikan manekin bagi seorang penjahit sepertiku. 

Dengan lingkar dada sekitar 90 cm; pinggang hanya 68 cm ; lingkar panggul cukup lebar, 100 cm. Nona Liu sungguh cocok untuk kujadikan media menampilkan gaun kreasiku yang bakal menonjolkan lekukan tubuhnya yang indah sebagai wanita. Apalagi ia juga memiliki leher jenjang. Memudahkan bagiku untuk memilihkan model gaun berkerah tinggi namun punya belahan dada V guna menonjolkan belahan payudaranya yang padat dan bulat sempurna.

Pada masa itu nona Liu masih menjajakan diri di jalan, sebagai PSK dengan bayaran tak lebih dari 100 yuan sekali kencan. Berkat gaun kreasiku secara perlahan ia mampu meningkatkan diri, tampil menjadi wanita panggilan berkelas. Berkencan di hotel dengan tarif permalam di atas 5000 Yuan untuk mendapatkan pelayanannya semalam penuh.

Tahun demi tahun berlalu. Nona Liu makin ahli dalam menjalankan profesinya sebagai wanita panggilan yang sejatinya memang membutuhkan bakat dan potensi khusus. Ia memiliki naluri tajam bagaimana memposisikan diri serta memainkan perannya sebagai lawan di atas ranjang. Tergantung lelaki yang dihadapi. Sesekali tampil bagai seekor kucing Persia yang jinak, penurut, disertai sorot mata penakut. Kali lain ia bisa muncul sebagai gadis pelajar yang sedang bolos sekolah guna berkencan dengan hidung belang yang butuh supremasi. Begitu polos tak mengenal dunia ranjang. Membiarkan lelaki tua Bangka yang nyaris kehilangan kelelakiannya mengajari cara memuaskan dirinya dengan mengulum dan menjilat, mirip gadis kecil menikmati permen lolipop. Namun bila dibutuhkan ia bisa juga mengubah diri menjadi singa betina yang meraung serta menerkam lawan jenis lantas menungganginya hingga terkapar tak berdaya.

Nona Liu berasal dari sebuah desa miskin propinsi Guangdong, kabupaten Chongging. Orangtuanya hidup sebagai petani. Itulah yang kuketahui tentang latar belakang keluarganya. Semula aku mengira dia masih gadis hingga suatu ketika ia menghilang sekitar sebulan dari kehidupan malam kota Shanghai. Lantas muncul di rumahku sambil menggandeng seorang gadis cilik berumur empat tahunan yang diakui sebagai anaknya. Hasil dari pernikahan melalui perjodohan.

Suaminya meninggalkan keduanya tatkala Xia Xia - sang anak - masih berumur setahun dengan alasan mencari kerja di kota. Namun ditunggu beberapa tahun tidak ada kabar beritanya.

Terdorong oleh rasa putusasa ia pun mempertaruhkan masa depannya hijrah ke Shanghai, menitipkan putrinya kepada kedua orangtuanya. Dari situlah awal ia terjun ke profesinya sebagai wanita penghibur.

Meskipun akhirnya tahu dia sudah berkeluarga dan memiliki anak, aku tetap memanggilnya "nona" Liu; sesuai permintaannya. Ia terpaksa membawa bocah yang belum masuk bangku sekolah tersebut ke kota setelah ibu yang dia andalkan untuk merawatnya meninggal. Mereka tinggal di sebuah rumah sewaan sederhana berkamar tunggal, hanya selisih dua gang dari rumahku yang sekaligus berfungsi sebagai tempat usaha.

Sebelum berlanjut aku punya cerita khusus tentang cara nona Liu menghadapi sesama kaum yang selama ini paling membencinya, karena dicap sebagai perempuan jalang perusak rumah tangga.

Pagi itu ia datang ke tempatku membawa sepotong bahan kasmir. Setahuku kain itu berasal dari Mongolia. Tenunannya sangat halus dan lembut. Hanya bisa dibeli kalangan pejabat tinggi yang sering bepergian ke berbagafi daerah untuk kunjungan kerja.

Nona Liu mengaku kain itu diberikan oleh seorang adipati yang baru saja melakukan kunjungan ke pedalaman Cina mengawal junjungannya. Lelaki itu sudah lama tergila-gila kepadanya.

Menuruti saranku nona Liu akan menjadikannya sebagai penutup gaun yang mudah ia padankan dengan beragam gaun pesta berleher rendah yang dia miliki. Warnanya Rose Wood, hasil proses pencelupan menggunakan getah kayu dan bunga tanaman berkualitas tinggi.

Ia hampir beranjak tatkala nyonya besar keluarga Wang menyusup masuk ke kedai jahitku diiringi dayangnya sambil membopong setumpuk kain. Terselip diantaranya sebuah bahan kasmir yang sama seperti milik nona Liu, dengan corak warna berbeda.

Sekilas ia melirik kain yang kusampirkan di sebuah manekin. Spontan emosinya meledak.

Dengan keji ia menuding nona Liu sambil melontarkan makian yang kasar.

"Dasar perempuan jalang. Dari mana kau mendapatkan kain itu?"

Nona Liu bukanlah wanita sembarangan yang mudah ditindas. Ia sudah malang melintang didalam kehidupan malam kota Shanghai yang ganas dengan beragam karakter manusianya. Dari preman kroco hingga pejabat tinggi.

Dengan tenang ia tersenyum sambil menjentikkan jarinya. Menghadapi wanita tengah baya bertubuh mirip bantalan bakcang tersebut.

"Tentu saja dari langganan setiaku, nyonya besar Wang."

Nada bicaranya santai, penuh rasa percaya diri. Membuat lawannya lepas kendali.

Dengan arogan wanita keturunan bangsawan berkaki bunga lotus itu berteriak kepadaku.

"Kalau kamu mau berhenti melayani wanita mesum itu aku bersedia membayar dua kali lipat ongkos jahit yang kau terima darinya!"

Aku terperangah. Tidak siap dijadikan sasaran tembak berikutnya karena kedua perempuan itu sama-sama penting bagiku. Mereka adalah para pelanggan setia yang tak pernah pupus memberi pekerjaan dan upah yang besar untukku.

Nona Liu paham atas kesulitanku. Ia berbalik. Dengan anggun menimpali lawannya.

"Aku malah bersedia mengganti sepuluh kali lipat kerugianmu bila engkau bersedia menolak pekerjaan dari nyonya besar, tuan penjahit. Jadi menurutmu mana yang lebih menguntungkan?" Tanyanya sambil menjentikkan jarinya, menyentuh pipiku.

Sikapnya yang jalang dan profesional itu spontan membuat wanita malang yang salah memilih lawan tersebut sesak napas.

"Pelacur busuk. Lantas dari mana asal-usul uangmu yang bisa kau hamburkan seenaknya!"

Sambil beranjak menuju pintu keluar nona Liu memberikan pukulan telak terakhir. Suaranya halus, terkontrol namun setajam pisau.

"Dari mana lagi? Tentu saja dari ranjang suamimu, perempuan bodoh!"

Akibat ulah nona Liu yang kelewatan itu, aku kehilangan salah satu pelangganku yang langsung pergi diiringi sang pelayan sambil membawa pulang setumpuk kain yang tak jadi ia jahit.

Aneh bukannya marah, aku malah menikmati drama kehidupan yang disuguhkan oleh wanita malang itu. Seekor semut yang berhasil memberikan gigitan menyakitkan kepada gajah yang mencoba menginjaknya.

Kelak sikapnya akan menjadi sumber malapetaka untuknya.

Empat hari kemudian nona Liu datang untuk mengepas penutup gaun tersebut. Ia memberiku segepok uang yang terbungkus dalam kantong kain sutra berbordir huruf kanji melambangkan kemakmuran yang langsung kutolak.

"Anda tidak usah melakukan itu. Cukup Anda bayar ongkos jahit sesuai biasanya," tolakku sambil mengambil jahitanku, bersiap membantunya melakukan pengepasan.

"Ah aku jadi tak enak. Engkau rugi besar gara-gara ulahku."

Aku mengibaskan tangan. "Tak usah nona pikirkan. Segala yang harus terjadi musti terjadi."

Ia merespon sikapku menghampiriku. Secara spontan memelukku dari belakang.

"Aku punya cara lain untuk membayarmu tuan penjahit," desahnya tepat di telingaku seraya mempererat pelukannya. Tangan kanannya mulai menggerayangi pangkal pahaku. Gerakannya sangat terukur dan profesional.

"Bagaimana kalau kutemani kau tidur semalam secara cuma-cuma?" Ajaknya. "Kurasa sudah terlalu lama adik kecilmu tidak kau gunakan sebagaimana mestinya."

Kurasakan diriku bagai dialiri arus listrik bertegangan tinggi. Sekujur tubuhku serasa membara. Spontan kusingkirkan tangannya. Lalu menghelanya keluar dari kedai. Menentang tatapannya yang sayu menggoda dengan dingin.

Ia terkejut. Harga dirinya terpukul. Sambil memakiku beranjak pergi.

"Dasar lelaki tak berguna! Cuma kau yang berani menolakku."

Beberapa saat kupandangi dia berjalan menjauh hingga bayangannya lenyap di ujung gang. Aku didera perasaan nelangsa, demi menyadari betapa parahnya diriku menyekap luka masa laluku.

Keluargaku berasal dari desa Taxia yang menjadi bagian dari propinsi Nanjing. Setelah menikah aku memutuskan pergi meninggalkan desa di lembah sungai Yangtze dan mayoritas penduduknya hidup dari bercocok tanam tersebut.

Tubuhku yang ringkih tidak memungkinkanku menghidupi keluarga dari bertani. Jadi kutinggalkan istriku merantau ke Shanghai. Tanpa sadar saat itu ia sedang mengandung.

Pertengahan tahun 1931 hampir tiga bulan hujan melanda desa kami. Mencapai puncaknya tatkala tanggul di sekitar danau Gaoyou jebol. Banjir bandang pun tiba menyapu bersih ratusan desa di sepanjang sungai, menewaskan 37 juta penduduk. Istriku yang baru saja melahirkan turut menjadi korban beserta ibu mertuaku yang tidak sempat menyelamatkan diri.

Jenazahnya ditemukan tertahan di sebuah batu karang dalam posisi masih memeluk bayi perempuan kami yang baru berumur satu bulan. Bayi yang bahkan belum sempat kuberi nama.

Peristiwa itu rasanya sulit dicerna akal sehatku. Aku tidak bisa lagi menguraikan rasa kesedihanku sebagaimana mestinya. Istri dan putri yang belum sempat kutemui hingga meninggal membuatku mati rasa. Aku memutuskan meninggalkan desa kami bersama segala kenangan buruknya, hidup merantau hingga kini.

Semenjak saat itu aku hanya mampu menyalurkan hasratku terhadap perempuan melalui dunia modiste. Meraba dan mempelajari secara anatomis setiap lekuk tubuh dan bentuk tulang wanita yang kuperlakukan sebagai boneka hidup. 

Dari hasil perabaan dan pengukuran itulah imagonasiku tentang kecantikan perempuan kutumpahkan melalui berbagai gaun ciptaanku. Membuat lawan jenisku tampil anggun, selaras dengan bentuk tubuh masing-masing.

Nona Liu kembali muncul di kedaiku dua hari kemudian bersama Xia-Xia. Menenteng rantang berisi makan siang dengan lauk-pauknya. Sebulan sekali ia harus cuti lantaran tuntutan biologisnya sebagai wanita. 

Biasanya sekitar lima hari. Itu dimanfaatkannya guna mendekatkan diri dengan putrinya yang hampir setiap malam tidur dengan bibi Chang, sang pengasuh. Wanita berusia setengah abad tersebut masih kerabatnya di desa. Sengaja ia datangkan ke Shanghai demi menjaga putrinya bila ia sedang bekerja malam.

Siang itu nona Liu tampil normal. Segala sifat binalnya pupus. Ia lebih terlihat sebagai seorang ibu muda biasa tanpa riasan wajah dan hanya mengenakan kemeja katun dipadukan celana panjang berbahan drill yang sederhana.

Kami menyantap hidangan yang terdiri dari pangsit goreng, ikan kukus dan sawi berkuah dengan lahap, walaupun Xia-Xia sebagai bocah kurang bisa menikmatinya.

Semenjak hari itu hubunganku dengan ibu dan putrinya itu terjalin bagai sebuah ikatan keluarga.

Naluri kebapaanku tersentuh oleh penampilan bocah cilik yang manis, manja dan perajuk tersebut. Kurasa itu merupakan ekspresi wajar seorang anak yang haus kasih sayang. Karena hampir setiap malam tidur di ranjang dingin tanpa dekapan sang bunda.

Secara perlahan perasaanku yang membeku kembali mencair. Mirip lurusnya salju di musim semi. Sesekali Xia-Xia diperbolehkan menginap di rumahku. Meskipun untuk itu aku terpaksa mengorbankan diri harus tidur di lantai ruang kerjaku hanya beralaskan kasur tipis. 

Aku hanya memiliki sebuah ruang tidur yang akan kuberikan kepada sang putri bila ia ingin menginap. Nona Liu nampaknya tidak keberatan. Karena putrinya beralasan bosan tidur dengan bibi Chang yang badannya bau.

Xia-Xia pandai sekali berceloteh. Terkadang bisa menyebabkan konsentrasiku terganggu selama bekerja. Namun aku sama sekali tidak keberatan menjadi pendengar yang baik untuknya.

Bocah itu terlalu muda untuk menyadari apa profesi nona Liu. Ia hanya tahu sang ibu bekerja lembur di suatu pabrik makanan. Berangkat saat senja. Tiba ke rumah menjelang pagi dalam kondisi sangat kelelahan. 

Sesekali bahkan dalam keadaan setengah mabuk. Namun waktu berangkat maupun pulang ia selalu tampil sederhana. Tanpa riasan atau pakaian seronok. Ini ia lakukan demi menghindari sorotan negatif para tetangganya di lingkungan kumuh dan padat penduduk tersebut.

Masa untuk mengirim Xia-Xia ke bangku sekolah pun tiba. Usianya sudah enam tahun. Sebagai ibu nona Liu sangat ingin putrinya mendapatkan pendidikan terbaik. Ia menginginkan sebuah sekolah dasar milik kaum misionaris Khatolik. Untuk itu anaknya harus punya asal-usul yang jelas. 

Jadi ia meminta bantuanku guna mendampinginya mendaftar ke sekolah berbasis dua bahasa -Inggris dan Mandarin- tersebut. Mengaku sebagai ayah putrinya. 

Ini membuat hatiku berbunga. Bisa turut berperan mempersiapkan gadis itu menyongsong masa depan yang lebih baik. Terutama membantunya mengenalkan peradaban yang lebih maju. Tidak terlalu terpaku terhadap tradisi China yang kolot serta merendahkan martabat wanita.

Jarak sekolah itu dari rumah kami tidak terlalu jauh. Sekitar 3 mil. Setiap pagi Xia-Xia berangkat ke sekolah tersebut mengenakan seragam pelaut berbahan dasar putih dengan kerah dan dasi berpelesir biru. 

Ia nampak sangat bersemangat bisa terjun ke lingkungan baru, belajar menyesuaikan diri dengan teman-teman sebaya yang mempunyai latar belakang keluarga dan status sosial beragam. Umumnya dari keluarga pejabat berkewarganegaraan asing. Pulang sekolah ia sering meminta bibi Chang mengantarkannya kerumahku. Karena tahu saat itu ibunya pasti masih tertidur. Biasanya sekitar jam satu siang.

Setelah menghabiskan bekal makan siang ia akan menggarap pekerjaan rumah di meja kerjaku yang lebar dan biasanya kupakai untuk membuat pola dan membentangkan kain yang akan kupotong. Kami melaksanakan tugas masing-masing sambil bercerita. 

Aku lebih sering memposisikan diri sebagai pendengar. Belajar menyelami alam pikiran anak-anaknya yang sederhana. Menikmati wajahnya yang ekspresif tatkala bertutur kata sambil menggerakkan bola matanya yang bening seraya memonyongkan mulutnya dengan lucu.

"Shu-shu, aku ingin mengajarimu bahasa Inggris!" Katanya suatu siang dengan nada sangat serius. Ia selalu memanggilku "paman" seperti yang diajarkan ibunya.

Aku membelalakkan mata, tersenyum geli.

Kata-kata asing itupun meluncur, menyuruhku mengikutinya sambil mengkritik lafalku yang kelu.

"Fater," katanya. Dilanjutkan "Angkel..... diner.... Gut morning."

Setiap kali aku berhasil menirukannya ia lantas mengacungkan ibu jarinya

"Gut job, bagus!" Serunya bersemangat.

Setelah selesai ia kuajak menyusuri gang sempit di rumahku menuju ujung jalan. Membelikannya ayam goreng bertepung di sebuah toko yang menjual beragam penganan asing yang disukai anak-anak.

Ia nampak senang sekali kugandeng sambil menyantap kudapan yang kubelikan. Hadiah atas sikapnya yang manis dan jerih payahnya menjadi guru bahasa asingku.

"Mulai besok paman harus lebih rajin belajar," ujarnya sambil menyeka mulutnya yang dikotori saos tomat.

Bagiku Xia-Xia adalah lentera yang menerangi kehidupanku yang selama ini begitu pekat. Dewa langit telah menunjukkan kebaikannya dengan mengirimikuseorang putri guna menggantikan putri kandung yang tidak pernah sempat kubelai dan kutimang.

***

Suatu pagi nona Liu muncul di kedaiku membawa sepotong kain berbahan dasar sutra dengan sulaman bermotif burung Hong yang sangat detail dan rumit. Kain yang punya asal-usul tidak sederhana pastinya. Walaupun aku merasa tak layak menanyakan sumbernya. Warnanya merah maroon. Pemberian seorang pengusaha kaya dari Hongkong yang konon bermaksud meminang dan menjadikannya selir. Mereka berjanji bertemu dalam sebuah acara mekan malam pribadi di sebuah hotel berkelas tidak jauh dari pelabuhan, tempat kapal milik taipan itu singgah seminggu lagi.

Nona Liu yang semakin bertambah usianya nampak mulai termakan proses waktu, menunjukkan tanda-tanda keletihan dalam menjalankan profesinya. Membutuhkan seseorang untuk menariknya keluar dari dunia itu guna menjalankan hidup yang lebih tenang.

"Mudah-mudahan kencan kami menghasilkan kesepakatan yang saling menguntungkan," katanya sambil merentangkan tangan. Membiarkanku melingkarkan pita pengukur di dada dan pinggangnya.

"Aku bersedia pindah ke Hongkong mengikutinya. Syukur ia bisa menerima kehadiran putriku."

Aku melaksanakan tugasku dengan sendu. Menyadari tanda-tanda proses penuaan dalam dirinya. Ini terlihat dari lingkar dadanya yang sedikit menyusut, sementara garis pinggangnya kian melebar. Kala kuberitahu hasil pengukuranku ia langsung meradang.

"Tidak bisa!" Teriaknya sambil merenggut tali ukurku dan melemparkannya ke lantai.

"Buatlah sesuai ukuran yang dulu."

Ia memandangku dengan nanar, mirip seorang pedagang yang harta kekayaannya habis terbakar. Kemudian meraih bahuku dan mengguncangkannya dengan kasar.

"Engkau tahu betapa pentingnya kencanku kali ini. Engkau harus melakukan sesuatu untukku agar lelaki tua itu merasa aku cukup layak untuknya!"

Melihat keadaannya yang memelas kurengkuh tubuhnya. Memeluk sambil mengusap punggungnya.

"Tidak apa-apa," bujukku untuk meredakannya. "Aku akan menyiasatinya dengan memasang penahan dada dari kawat dan menyamarkan bagian pinggang agar nampak ramping. Engkau masih sangat cantik nona Liu."

Rupanya ia mulai termakan bujukanku. Terhenyak di sofa reyot yang sering kugunakan merebahkan diri bila selesai bekerja.

"Engkau satu-satunya lelaki paling baik kepadaku tanpa mengincar tubuhku," sanjungnya dengan napas tersengal.

Aku tidak menanggapinya. Kualihkan perhatianku kepada kain yang dia bawa. Aku bermaksud merancang baju tradisional ciongsam yang akan membuatnya tampak anggun dan berkelas. Dengan kerah tinggi guna menopang lehernya yang jenjang.

"Aku akan pergi tiga malam," ujarnya lebih lanjut. Kali ini nadanya lebih datar, pertanda membaiknya suasana hati. "Bagaimana bila Xia-Xia kutitipkan kepadamu? Aku akan membayarnya untuk itu."

"Aku akan senang melakukannya," jawabku berbalik menghadapnya. "Engkau tidak usah bertindak berlebihan."

Sebelum beranjak nona Liu meraih kedua tanganku dan menggenggamnya erat.

"Seandainya lelaki itu tak bersedia menerima anakku, maukah engkau memeliharanya untukku? Aku tidak akan pernah lupa mengirimkan uang bulanan untukmu."

Aku terhenyak mendengar kata-katanya. Kutatap dia luruh guna mencari tahu makna dibalik sikapnya hari ini. Tidak seperti biasanya kali ini ia nyaris kehilangan rasa kepercayaan diri yang selama ini melekat dan menimbulkan aura mempesona pada pribadinya.

Aku menarik napas dalam sambil mengamati sosoknya menghilang di ujung gang. Kuputuskan melakukan apa yang sudah semestinya kulakukan: mempersiapkan gaun malam yang akan membuat nona Liu tampil bagai seekor burung Hong. Burung legenda yang akan membuat siapapun yang menatapnya tersedot sukmanya, lantas mabok kepayang.

Rasanya aku juga perlu memberesi rumahku yang kacau berantakan. Agar layak digunakan menampung gadis cilik yang senantiasa membuat hatiku terasa hangat. Mungkin aku juga harus belajar memasak sesuatu agar Xia-Xia tak perlu merajuk dan bersungut-sungut bila kuajak makan bersama. Lantaran menunya ketinggalan jaman dan tidak cocok buat bocah seusianya.

Jadi itulah yang kulakukan. Kuhabiskan seluruh hari demi mempersiapkan sebuah gaun yang bakal menjadi penentu seluruh masa depan nona Liu dan putrinya. Semuanya kulakukan dengan cermat. Mengerahkan segenap kemampuanku didalam seni memotong dan menjahit; pekerjaan yang sudah kutekuni puluhan tahun.

Sesuai rencana gaun itupun siap dua hari sebelum waktu kencan nona Liu dengan lelaki tua tajir itu tiba. Hari ini nona Liu seharusnya datang untuk mencobanya sebelum aku merampungkan seluruh pekerjaanku. Namun ditunggu sampai sore ia tidak muncul. Rupanya ia terlalu mabok untuk bangun siang hari dan mengunjungi kedaiku.

Esoknya ia tidak juga datang. Karena waktunya sudah mendesak kuputuskan untuk menyelesaikan pekerjaanku tanpa menunggu kehadirannya. Yang mengherankan Xia-Xia yang biasanya mampir bila pulang dari sekolah pun tidak kelihatan batang hidungnya.

Dua hari setelah waktu kencan lewat dia belum juga datang mengambil gaun pesanannya. Mungkinkah lelaki itu sudah membatalkan pertemuan mereka? Ada apa?

Ketimbang dihantui rasa penasaran kuputuskan mengunjungi rumah nona Liu yang sedari dulu sudah kuketahui lokasinya namun tak pernah kudatangi. Karena aku merasa itu tidak pantas. Bisa mengundang bahan pergunjingan para tetangganya, mengingat statusku sebagai pria lajang sedangkan ia seorang janda beranak satu. Aku tidak ingin merusak reputasi kami berdua.

Sore hari setelah menyelesaikan pekerjaan dan mengemas gaun itu aku pun pergi mengunjungi rumah sewaannya yang terletak di kawasan Tian Zi Fang. Ia menyewa lantai dasar sebuah rumah petak dua lantai yang luasnya tidak lebih dari 21 meter persegi.

Namun yang kuhadapi adalah sebuah kenyataan menyengat yang untuk kedua kalinya menghampiri hidupku. Kenyataan yang dalam mimpiku yang terburuk sekalipun tak pernah kubayangkan.

***

Rumah itu dalam keadaan perak-poranda. Diiringi tatapan rasa ingin tahu dan curiga para tetangga aku memasuki bilik yang kosong tersebut. Sebagian dindingnya nampak gosong. Di lantai berserakan abu serta serpihan barang dan pakaian yang belum habis terbakar.

Diantaranya ada rok Xia-Xia yang kubuatkan untuknya demi mendukung perannya sebagai malaikat dalam perayaan kelahiran seorang anak yang oleh orang-orang asing dianggap dewa mereka di sekolahnya. Aku sengaja merancang rok itu sambil menyematkan sepasang sayap terbuat dari sutra dengan kerangka kawat. 

Anak itu begitu menyukai pakaian rancanganku yang mampu membuat iri teman-teman sekolahnya. Keesokan harinya anak-anak itu berbondong-bondong mendatangi kedaiku bersama ibu mereka minta dibuatkan rok bersayap seperti punya Xia-Xia.

Sungguh tak terbayangkan bagaimana perasaannya menyaksikan baju kesayangan itu hangus terbakar.

Beberapa hari lalu nyonya Wang mendatangi rumah tersebut disertai beberapa orang kaki tangannya. Ia menuduh nona Liu telah menularkan penyakit kelamin kepada suaminya. Celakanya oleh sang suami virus dahsyat yang konon bisa membuat seluruh tubuh penderitanya meleleh itu ditularkan terhadap sang istri.

Nyonya besar itu kemudian memprovokasi para tetangga nona Liu. Membuat mereka ketakutan penyakit yang belum ada obatnya itu akan menyerang seluruh pemukiman kumuh itu.

Beramai-ramai mereka menyeret nona itu keluar. Membakar semua milik pribadinya. Setelah memukuli dan menggunduli rambutnya ia bersama anaknya digiring pergi dari distrik tersebut. Tanpa membawa apa-apa selain pakaian yang melekat di tubuh mereka.

Lama aku berdiri terpekur di tengah puing-puing tanpa menyisakan jejak-jejak kehidupan sang penghuninya yang kini pergi entah kemana. Sosok manusia paling rentan dan terpinggirkan; yang melakukan segala upaya demi bertahan hidup dan mengais masa depan lebih cerah bagi sang putri.

Kenangan demi kenangan tentang keduanya muncul silih berganti. Senyum nona Liu yang menggoda sekaligus lelah. Sosok wanita yang mampu membangkitkan naluri kelelakianku guna melakukan apapun terbaik menurut versiku untuk mendukungnya. Tatapan bening Xia-Xia yang menyiratkan kepolosan serta ketulusan seorang bocah. Sangat betah berkeliaran di rumah - sekaligus tempat kerjaku - yang sebenarnya kurang layak menampung gadis cilik yang sangat aktif tersebut. 

Gadis cilik yang kerap bergayut di kaki dan mengusikku agar mau menemaninya bermain. Membantunya membuat PR, seraya melontarkan pertanyaan tak terjawab: mengapa engkau bukan ayahku? Dan aku harus menelan kenyataan pedih: mengapa aku bukan ayahnya? Karena secara naluriah kami dihubungkan oleh naluri yang sama: melindungi dan dilindungi.

Terang tanah tiba. Kampung itu mulai membuka tabir kehidupannya. Aku bangkit dari anak tangga di depan puing yang rupanya sudah kududuki sejak semalaman. Menyisakan kelembaban tubuh yang tersapu oleh angin malam bercampur titik embun. Di sekitarku aktivitas kehidupan baru saja dimulai. Lelaki bertubuh kekar dan bertelanjang dada berteriak sambil mendorong gerobak yang dipenuhi drum berisi air bersih. Sesuatu yang sulit didapat rumah tangga di lingkungan tersebut. 

Penjual bapao lewat sambil sesekali membuka kukusan bambu yang menebarkan bau yang mengusik perut lapar di pagi hari. Penjual minyak melantangkan suaranya melawan kebisingan pagi memanggil kaum ibu guna membeli dagangannya.

Pagi berlangsung penuh dinamika. Namun aku beranjak dari situ dilecut rasa sesal berkepanjangan. Mengapa keduanya tidak menghubungiku tatkala peristiwa itu menimpa? Padahal aku siap memberikan perlindungan dan melakukan apa saja demi mereka yang selama ini sudah merasuki bagian paling dalam dari perasaanku. Kini dimana aku harus mencari ibu dan putrinya di tengah kota sebesar Shanghai?

Aku melanjutkan perjalanan pulang tersaruk-saruk seraya menyesap dukaku yang tak tercerna. Dunia nampak bagaikan bentangan kertas kosong abu-abu. Tidak ada warna serta tak bercorak. Untuk kedua kalinya aku telah kehilangan semangat dalam menjalani kehidupan yang masih panjang( fan.c)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun