Jarak sekolah itu dari rumah kami tidak terlalu jauh. Sekitar 3 mil. Setiap pagi Xia-Xia berangkat ke sekolah tersebut mengenakan seragam pelaut berbahan dasar putih dengan kerah dan dasi berpelesir biru.Â
Ia nampak sangat bersemangat bisa terjun ke lingkungan baru, belajar menyesuaikan diri dengan teman-teman sebaya yang mempunyai latar belakang keluarga dan status sosial beragam. Umumnya dari keluarga pejabat berkewarganegaraan asing. Pulang sekolah ia sering meminta bibi Chang mengantarkannya kerumahku. Karena tahu saat itu ibunya pasti masih tertidur. Biasanya sekitar jam satu siang.
Setelah menghabiskan bekal makan siang ia akan menggarap pekerjaan rumah di meja kerjaku yang lebar dan biasanya kupakai untuk membuat pola dan membentangkan kain yang akan kupotong. Kami melaksanakan tugas masing-masing sambil bercerita.Â
Aku lebih sering memposisikan diri sebagai pendengar. Belajar menyelami alam pikiran anak-anaknya yang sederhana. Menikmati wajahnya yang ekspresif tatkala bertutur kata sambil menggerakkan bola matanya yang bening seraya memonyongkan mulutnya dengan lucu.
"Shu-shu, aku ingin mengajarimu bahasa Inggris!" Katanya suatu siang dengan nada sangat serius. Ia selalu memanggilku "paman" seperti yang diajarkan ibunya.
Aku membelalakkan mata, tersenyum geli.
Kata-kata asing itupun meluncur, menyuruhku mengikutinya sambil mengkritik lafalku yang kelu.
"Fater," katanya. Dilanjutkan "Angkel..... diner.... Gut morning."
Setiap kali aku berhasil menirukannya ia lantas mengacungkan ibu jarinya
"Gut job, bagus!" Serunya bersemangat.
Setelah selesai ia kuajak menyusuri gang sempit di rumahku menuju ujung jalan. Membelikannya ayam goreng bertepung di sebuah toko yang menjual beragam penganan asing yang disukai anak-anak.