Mohon tunggu...
Muhammad Fakhrul Islam
Muhammad Fakhrul Islam Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

penulis pemula yang mencoba berkarya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Reinterpretasi Hadist Shahih Bukhori No. 5093 "Wanita Pembawa Sial"

21 Juni 2023   08:58 Diperbarui: 21 Juni 2023   09:45 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

A. Pendahuluan

Islam merupakan agama yang diciptakan oleh Allah sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya. Islam bersifat abadi kelak hingga akhir zaman. Didalamnya terdapat sumber pedoman utama yakni Al-Qur’an dan hadist. Hadis merupakan sumber rujukan kedua setelah Al-Qur'an.

Al-Qur’an adalah kalam ilahi dalam bentuk tertulis ditujukan sebagai pedoman sekaligus tuntunan bagi umat Islam yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW lewat wahyu, didalamnya berisi tentang cerita orang-orang terdahulu, hokum tasyri’, syariat agama, yang dapat menuntun umat Islam ke jalur yang haq serta diridhoi oleh Allah SWT.

Adapun hadist secara bahasa bermakna al-jadid (sesuatu yang baru) selain itu, hadist juga bermakna al-khabar (berita) yang artinya suatu yang diperbincangkan dan dipindahkan dari satu orang kepada yang lainnya.

Sampai saat ini kajian hadist masih banyak menarik perhatian baik kalangan muslim ataupun orientalis. Perhatian tersebut memunculkan beragam kajian, mulai dari kritik otentisitasnya sampai pada bagaimana cara memahaminya. Menurut Yusuf Al-Qardawi, ada beberapa prinsip dasar saat meneliti suatu hadist. Pertama, meneiliti keshahihan hadist yang mecangkup matan dan sanad hadis yang sesuai dengan kaidah keshahihan hadist menurut ulama hadist. Kedua, harus benar-benar faham bahwa nash-nash tersebut berasal melalui asbabul wurud hadist. Ketiga, memastikan agar tidak berlawanan dengan nash-nash al-qur’an maupun hadist-hadist lain yang memiliki kedudukan lebih kuat.[2]

Dalam memahami suatu hadist tidak bisa hanya dengan pendekatan tekstual saja, melainkan ditinjau dari berbagai dimensi, serta memperhatikan situasi dan kondisi Nabi saat mengemukakan hadist tersebut. Menurut Muhammad Al-Ghazali memahami hadist dengan pandangan yang sempit maka akan menimbulkan problem social. Seperti adanya hadist yang menyatakan bahwa ramalan buruk akan adanya kesialan pada wanita, rumah, dan kuda, yang lebih signifikan lagi jumlahnya sebanyak 48 riwayat hadist. Adapun salah satu bunyi matan hadist tersebut dalam shahih Bukhari sebagai berikut:

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ، قَالَ: حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ حَمْزَةَ، وَسَالِمٍ، ابْنَيْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:(الشُّؤْمُ فِي المَرْأَةِ، وَالدَّارِ، وَالفَرَسِ)[3]

 

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Isma’il ia berkata: telah menceritakan kepadaku Malik dari ibn Syihab dari Hamzah dan Salim keduanya adalah anak Abdillah bin ‘Umar, dari ‘Abdillah bin ‘Umar r.a bahwasanya Rasulullah SAW, bersabda: “adakalanya kesialan itu ada pada perempuan, rumah, dan juga kuda.”

 

Bagaimana upaya memahami hadist tersebut dengan menggunakan medote pemaknaan hadist mengenai hal tersebut yaitu kesialan pada tiga hal, wanita dewasa (istri), kuda hewan tunggang), dan tempat tinggal rumah).

Identifikasi awal mengenai hal diatas adalah apa makna kesialan dari hadist tersebut, sial adalah kemalangan yaitu sesuatu yang diinginkan tidak terjadi, atau sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.[4] Pada zaman dahulu kaum Jahiliyah meyakini keberadaan akan hal-hal atau kejadian yang dapat menimbulkan kesialan, yang dikenal dengan istilah tatayyur.

Wanita dewasa yang dikatakan sebagai pembawa sial, sifat mereka yang lemah dan beban keluarga. Menurut Khomaeni, perempuan diciptakan untuk menguji hamba-hambanya yang sabar. Allah menguji ummatnya melalui bahagia dan sengsara. Anak perempuan merupakan titipan dari Allah yang semestinya harus dijaga dan dididik dengan baik, lantas pendapat Khomaeni tersebut tidak dibenarkan sebab, pernyataan tersebut dianggap menyimpang.

Kesialan terhadap tempat, masyarakat Jawa memiliki kepercayaan bahwa apabila seseorang salah atau keliru dalam memilih tempat, bahan yang digunakan serta waktu membuatnya (tempat tinggal). Mereka meyakini bahwa hal tersebut akan mendatangkan kesialan, entah kesialan tersebut melalui musibah yang selalu menimpa keluarganya. Kuda atau hewan tunggang dikatakan sebagai pembawa sial, padahal hewan tunggang sejak  masa dahulu memiliki peranan yang sangat penting terhadap kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu penulis akan melakukan pnelitian dan mengkaji pemaknaan hadist serta pemahaman yang tepat dalam memahami matan hadist tersebut dalam Jurnal artikel dengan judul “Reinterpretasi Hadis Shahih Bukhori No. 5093 “Wanita Pembawa Sial”

B. Kritik Sanad 

Kata sanad secara etimologi terambil dari bahasa arab al-mu’tamad yang memiliki arti sandaran, tempat bersandar atau tempat berpegang, dan biasa disebut dengan sanad hadist yang dapat disimpulkan sebagai sandaran hadist. Apabila sanad tersebut kuat maka kuatlah hadist tersebut, dan sebaliknya. Sedangkan dari segi termenologi dalam ilmu hadist, sanad adalah jalur matan maksudnya adalah sisilah para perawi yang menghubungkan kepada matan hadis.Dan termasuk didalamnya adalah proses penerimaan dan penyampaian hadis untuk menentukan kebenaran dan kualitas hadis.

Sedangkan kritik sanad adalah penilaian terhadap kebenaran mata rantai atau sisilah para perawi mulai dari mukharij sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Dimulai dengan meneliti kredibilitas para perawi sebagai periwayat hadist apakah memenuhi syarat sebagai perawi yang adil dan dabith, ketersambungan sanad antar perawi (muttasil sanad), dan tidak adanya syadz dan illah pada diri perawi.

Dengan menggunakan kriteria dalam menentukan keshahihan sanada di atas. Berikut ini rincian dari setiap perawi;

Abdullah bin Umar memiliki nama legkap Abdullah bin Umar bin al-Khattab al-Qurasyyi al-Adawi yang merupakasan seorang sahabat yang wafat pada tahun 74 H. Beliau memiliki banyak guru dalam hal hadis salah satunya adalah Nabi Muhammad SAW, Murid beliau diantaranya adalah Salim bin Abdillah. Beliau dinilai oleh Sahabiah Hafshoh sebgai seorang laki-laki yang Shalih, bahkan Abdullah bin Mas’ud mengenal beiau sebagai seorang pemimpin para pemuda Quraiy di Dunia.

Salim bin Abdullah memiliki nama lengkap Salim bin Abdullah bin Umar bin Al-Khattab al-Qurasyi al-Adawi. Beliau merupakan golongan tabiin pertengahan yang wafat tahun 108 H. Beliau memiliki banyak guru salah satuya adalah Abdullah bin Umar, dan memiliki banyak murid dalam bidang hadis salah satu diantaranya adalah Muhammad bin Muslim. Salim bin Abdullah dinilah oleh ulama’ hadis seperti Muhammad bin Saad dan Shalih bin Ahmad menilai beiau sebagai perawi yang Tsiqah, Wara’ serta termasuk perawi yang berada pada tingkatan ‘Ali.

Hamzah bin Abdillah memiliki nama lengkap Hamzah bin Abdillah bin Umar bin al-Khattab yang merupakan seorang tabiin pertengahan, beliau memiliki banyak guru salah satunya adalah Abdullah bin Umar serta memiliki murid dalam bidang hadis salah satunya adalah Muhammad bin Muslim. Oleh para ulama’ hadis seperti Ahmad bin Abdillah menilainya sebagai perawi yang tsiqah dan Ibnu Hibban memasukkannya ke dalam kitab al-Tsiqat.

Ibnu Shihab memiliki nama lengkap Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdillah bin Syihab. Beliau merupakan tabiin yang periwayatan hadisnya banyak diambil dari Tabiin Senior. Beliau lahir pada tahun 50 H dan wafat pada tahun 125 H. Ibnu Shihab memiliki banyak guru salah satu diantaranya adalah Hamzah bin Abdillah dan Salim bin Abdillah, dan murid salah satunya adalah Malik bi Anas. Beliau dinilai oleh beberapa ulama hadis seperti; Usman bin Said al-Darimi dan An-Nasa’I dengan tsiqah bahkan Ibnu Hibban memasukkannya ke dalam kitab al-Tsiqat.

Malik memiliki nama lengkap Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amir bin ‘Amr bin al-harits bin Ghiman, Beliau merupakan golongan tabiit tabiin senior yang wafat pada tahun 179 H. Malik memiliki banyak guru salah satu diantaranya adalah Muhammad bin Muslam, dan memiliki murid salah satunya adalah Ismail bin Abi ‘Uwais. Beliau dinilai oleh beberapa ulama’ hadis seperti Muhammad bin Saad dan Ishaq bin Mansur dengan tsiqah.

Ismail memiliki nama lengkap Ismail bin Abdillah bin Abdillah bin Uwais bin Malik bin Abi ‘Amir al-Ashbahi. Beliau merupakan golongan perawi yang banyak mengambil hadist dari Tabiit tabiin namun tidak pernah bertemu dengan tabiin. Beliau wafat pada tahun 227 H. Ismail memiliki banyak guru dianataranya adalah Malik bin Anas serta memiliki murid salah satunya adalah Imam al-Bukhari. Beliau dinilai oleh ulama’ hadis seperti Abu Thalib dengan La baksa bih dan Abu Bakr bin Khitsamah dengan Shaduq.

Al-Bukhori memiliki nama lengkap Abu abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughiroh bin Bardizbah. Beliau termasuk golongan yang banyak mengambil hadis dari tabiit tabiin, yang lahir pada tahun 164 H dan wafat pada tahun 256 H. Al-Bukhori memiliki banyak guru salah satu diantaranya adalah Ismail bin Uwais dan memiliki murid salah satunya At-Tirmidzi. Beliau dinilai oleh Ahmad bin Hanbal dengan seorang yang baik, Ma’rifat, Tsiqah dan pengarang kitab Shahih al-Bukhori

Dari penilitian sanad diatas hadis ini diriwayatkan oleh perawi yang Muttasil (sanadnya bersambung) dibuktikan dengan tahun lahir dan tahun wafat serta thabaqah yang tidak terlalu jauh, tidak ada syadz dan Illat serta diriwayatkan oleh perawi-perawi yang Tsiqah (Adil dan Dhabit) kecuali Ismail bin Abdillah yang dinilai oleh Abu Hatim dan Abu Bakr bin Abi Khitsamah dari Yahya bin Ma’in sebgai perawi yang Shoduq. Yang menunjukkan Sanad hadis ini berada pada tingkatan Hasan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al- Bukhor ini dinilai sebagai Hasan. Namun terdapat riwayat lain dengan redaksi yang berbeda namun memiliki makna yang sama dari Shahih Bukhori dan Shahih Muslim yang memiliki derajat Shahih, sehingga hadis tersebut dapat menguatkan hadis ini dan dapat menaikkan derajatnya menjadi Shahih. Kesimpulannya hadist riwayat al-Bukhori ini Shahih dari segi sanad (Shahih fi al-Isnad).

 C. Kritik Matan 

Dalam istilahnya Matan secara bahasa berarti sesuatu yang keras atau permukaan tanah yang meninggi. Sedangkan secara istilah matan berarti hadis yang padanya terdapat makna-makna hadis itu. Dalam bahasa Arab, kritik dikenal dengan istilah naqd al-hadist, yang berarti penelitian, analisis, pengecekan dan pembedaan. Kritik matan hadist berarti penelitian kualitas hadist, yakni analisis matannya.

Mengenai pembahasan wanita pembawa sial, tedapat banyak variasi matan dengan makna dan maksud yang sama. Berikut ini adalah salah satu hadis yang mashur;

 

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ، قَالَ: حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ حَمْزَةَ، وَسَالِمٍ، ابْنَيْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:(الشُّؤْمُ فِي المَرْأَةِ، وَالدَّارِ، وَالفَرَسِ)[14]

 

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Isma’il ia berkata: telah menceritakan kepadaku Malik dari ibn Syihab dari Hamzah dan Salim keduanya adalah anak Abdillah bin ‘Umar, dari ‘Abdillah bin ‘Umar r.a bahwasanya Rasulullah SAW, bersabda: “adakalanya kesialan itu ada pada perempuan, rumah, dan juga kuda.”

 

Matan hadis diatas jika dianalisis dari segi keshahihan matannya, maka dengan rincian sebagai berikut:

  • Tidak bertentangan dengan Al-Qur’an

Isi kandungan matan hadist ini secara dhahir bertentangan dengan Al-Qur’an Surah An-Nisa’ ayat 79. Dalam tafsir Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini bahwa Allah telah menulis semua taqdir manusia di al-lauhul al-mahfudz. Semua yang ditaqdirkan Allah bagi manusia maka baik bagi mereka. Sedangkan keburukan itu bersumber dari manusia itu sendiri. Redangsi ayatanya adalah sebagai berikut:

 

مَّآ أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ ٱللَّهِ ۖ وَمَآ أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ ۚ وَأَرْسَلْنَٰكَ لِلنَّاسِ رَسُولًا ۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ شَهِيدًا

 

Artinya: apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasulullah saw., kepada segenap manusia. dan cukuplah Allah menjadi saksi.

 Hadis ini juga bertentangan dengan QS. An-Nisa’ ayat 32 yang menerangkan tentang Allah menciptakan laki-laki dan wanita memiliki kelebihan masing-masing, dengan kelebihan tersebut maka laki-laki tidak boleh iri dengan wanita, dan wanita pun tidak boleh iri dengan laki-laki. Karena Allah maha tahu mana yang terbaik bagi hambanya dalam menjalankan kehidupan dunia ini. Sebagimana firman Allah yang berbunyi:

 

وَلَا تَتَمَنَّوْا۟ مَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بِهِۦ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا ٱكْتَسَبُوا۟ ۖ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٌ مِّمَّا ٱكْتَسَبْنَ ۚ وَاسْـَٔلُوا۟ ٱللَّهَ مِن فَضْلِهِۦٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمًا

 

Artinya:dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.[15]

 

  • Tidak bertentangan dengan hadist lain

 

Hadis tersebut tidak bertentangan dengan hadis lainnya, bahkan hadist tersebut banyak dijelaskan dengan maksud dan makna yang sama namun dengan redaksi atau riwayat yang berbeda dari kitab-kitab hadis kutub as-Sittah lainnya. Hal ini justru menjadi penguat dari hadis tersebut dan semakin menunjukkan bahwa hadisnya adalah shahih dan dapat dijadikan hujjah. Berikut ini beberapa Redaksi hadis dengan tema semakna:

 

وَحَدَّثَنَا أَبُو الطَّاهِرِ، وَحَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى، قَالَا: أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي يُونُسُ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ حَمْزَةَ، وَسَالِمٍ، ابْنَيْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَإِنَّمَا الشُّؤْمُ فِي ثَلَاثَةٍ: الْمَرْأَةِ، وَالْفَرَسِ، وَالدَّارِ (رواه مسلم)[16]

 

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu al-Thahir dan Harmalah bin Yahya, keduanya berkata: telah mengabarkan kepada kami Yunus dari Ibnu Syihab dari Hamzah dan Salim mereka berdua adalah anak Abdullah bin Umar dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada penyakit yang menular secara sendirian, tidak ada pengaruh jahat (kecelakaan atau kesialan) itu terdapat pada tiga perkara: Dalam diri wanita, pada kuda, dan dalam rumah tangga”

 

حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ قَالَ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ قَالَ: حَدَّثَنِي سُلَيْمَانُ بْنُ سُلَيْمٍ الْكَلْبِيُّ، عَنْ يَحْيَى بْنِ جَابِرٍ، عَنْ حَكِيمِ بْنِ مُعَاوِيَةَ، عَنْ عَمِّهِ مِخْمَرِ بْنِ مُعَاوِيَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: " لَا شُؤْمَ، وَقَدْ يَكُونُ الْيُمْنُ فِي ثَلَاثَةٍ: فِي الْمَرْأَةِ، وَالْفَرَسِ، وَالدَّارِ " (رواه ابن ماجة)[17]

 

Artinya: Telah menceritkan kepada kami Hisyam bin Ammar ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abbas ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Sulaiman bin Sulaim al-Kalbiyu  dari Yahya bin Jabir dari Hakim bin Muawiyah dari pamannya Mikhmar bin Muawiyah ia berkata: Aku mendengara Rasulullah SAW bersabda: “ Tidak ada istilah sial, dan terkadang keberkahan itu ada pada tiga hal; Istri, kuda, dan Rumah.”

 

حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ سَالِمٍ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " الشُّؤْمُ فِي ثَلَاثٍ الْفَرَسِ، وَالْمَرْأَةِ، وَالدَّارِ " قَالَ سُفْيَانُ إِنَّمَا نَحْفَظُهُ، عَنْ سَالِمٍ - يَعْنِي الشُّؤْمَ (رواه احمد)[18]

 

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari al-Zuhri dari Salim dari Ayahnya, bahwa Nabi SAW bersabda: kesialan itu ada pada tiga hal, kuda, wanita dan rumah. Sufyan berkata kami menghafalnya dari Salim yakni kesialan.

 

  • Tidak mengandung Syadz dan ‘illat

 

Hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis bahwa matan atau isi hadist ini tidak mengandung syadz atau ‘illat akan tetapi Hadist Shahih Bukhari no indeks 5093 ini bertentangan dengan ayat al-qur’an.

 

  • Analisis kehujjahan Hadist.

 

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti hadist ini shahih secara sanad akan tetapi secara matan hadist ini bertentangan bertentangan dengan Al-Qur’an Surah An-Nisa’ ayat 79. Yang mengatakan bahwa tidak ada suatu bencanapun yang menimpa seseorang dimuka bumi melainkan sudah ditetapkan oleh Allah dalam lauhul mahfudz. Hadist yang dijadikan sebagai objek penelitian jika ditinjau dari asal sumbernya, maka status hadist tersebut adalah marfu’, sebab hadist tersebut langsung disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.

 

D. Pengertian Al- Syu’mu Secara Umum

Kata al-syu’mu (الشُّؤْمُ) mempunyai makna kesialan berasal dari fi’il madzi (kata kerja lampau) sya’ama (شَأَمَ) yang memiliki arti kiri, antonim dari kata ‘al-Yumni’ (اَلْيُمْنِ) yang memiliki arti nasib baik. Dikatakan “tasya’amtu bikadza” (aku sial dengan hal ini), dan “tayammantu bikadza” (aku bernasib baik dengan hal ini). Contoh ungkapan yang menggunakan kata tersebut adalah:

تَشَأَمَ الرَّجُلُ إِذَا أَخَذَ نَحْوَشِمَالِهِ

“Laki-laki tersebut mengambil jalan kea rah kiri”

Kiri memiliki identik dengan suatu yang negative, jelek, rendah, atau buruk. Dan begitu pula sebaliknya kanan diidentikkan dengan sesuatu yang baik, sempurna dan positif. Oleh karena itu, pekerjaan yang baik dimulai dari yang kanan seperti makan dengan tangan kanan, memakai pakaian, masuk masjid memakai kaki kanan. Sedangkan pekerjaan yang tergolong jelek memakai kiri seperti masuk kamar mandi, dan lain sebagainya. Mengutip dari KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), kesialan berakar dari kata sial yang memiliki arti tidak mujur, semua usaha tidak berjalan mulus, buruk, malang, celaka, menghilangkan segala apa yang menyebabkan sial. Makna sesungguhnya dari kesialan adalah kemalangan, kecelakaan, ketidak mujuran serta keadaan sial.

Pemakaian kata syu’mu (الشُّؤْمُ) yang awal mulanya diidentikkan dengan kiri memberikan pemahaman terhadap sesuatu yang bersifat tidak menguntungkan (sial). Penjelasan ini memiliki sinonim kata dengan penjelasan yang sama, yakni kata al-Thiyarah (الطِّيَرَةَ). Pada dasarnya kata Al-Thiyarah dapat diartikan sebagai keyakinan sial kepada sesuatu. Oleh sebab itu, Menurut Imam Ibnu Hajar al-Atsqalani menjelaskan kata “al-Tiyarah” dan “al- Syu’mu” memiliki arti yang sama yakni kesialan yang dikaitkan dengan sesuatu. Pada dasarnya makna dari kata al-Tiyarah dan al-Syu‟mu me perbedaan dalam hal penggunaannya meskipun memiliki kesepadanan dari segi definisi. Al-Tiyarah memiliki pengertian proses pengundian sebagai penentu nasib seseorang dengan menggunakan media binatang atau benda-benda lainnya yang dapat digunakan untuk memprediksikan atau meramalkan nasib seseorang di masa yang akan datang. Andai benda tersebut memberikan petunjuk ke haluan kanan maka hal tersebut memberikan indikasi bahwa pekerjaan atau usaha kita akan memperoleh keberkahan atau keberuntungan. Sebaliknya jikalau benda tersebut memberikan petunjuk ke haluan kiri maka seseorang atau pekerjaannya akan mendapatkan kesialan atau kerugiaan. Adapun kata al-Syu’mu (kesialan) merupakan produk dari proses al-Tiyarah yang berhaluan ke kiri, atau sesuatu yang diindikasikan sebagai pembawa kerugian (sial).[19]

E. Pemahaman Hadist wanita pembawa sial 

Jika meninjau hadis-hadis yang membahas tentang wanita pembawa sial terdapat penyajian kata yang beragam, akan tetapi tetap memiliki makna yang sepadan. Dalam pemaparan hadis tersebut oleh Imam al-Bukhori dengan kata kunci lafadz al-Syu’mu disajikan dengan 6 buah hadis yang berbeda. Hadis-hadis tersebut diawali dengan kata innama, inkana, inyakun dan la ‘adwa wala tiyarah.

 Pada sebagian riwayat hadis penggunaan kata innama menunjukkan pada penetapan atau kepastian, maka hal ini adalah sebuah bentuk ringkasan dan perubahan dari sebagian riwayat. Sedangkan riwayat yang memakai kata inyakuun dan inkana memiliki kesamaan arti yakni “jikalau terjadi pada sesuatu” yang memiliki pemahaman bahwa sebuah pegandaian yang belum tentu terjadi pada sesuatu, dalam hadis ini redaksi tersebut menunujukkan bahwa tidak adanya penetapan atau epastian dalam hal kesialan ada pada tiga hal. Selain meggunakan redaksi tiga kata diatas riwayat lainnya juga memakai kata la ‘adwa (tidak ada penyakit) yag berindikasi bahwa suatu penyakit itu berpindah sendiri tanpa kekuasaan Allah. Dan Lafadz wala tiyarah (dan tidak pula tiyarah) yaitu sikap tidak percaya diri pada seorang individu yang menghambatnya untuk mengemplementasikan suatu perilaku. 

Adapun keputusan ibnu Umar di dalam riwayat yang tercantum pada kitab Shahih Muslim yakni mengumpulkan antara kedua hadis لا عَدوَي وَلاَطِيَرَةَ، والشُّؤْمُ فِي ثَلَاثَةٍ mengindikasi bahwa dia menguatkan salah satu kemungkinan daripada makna Syu’mu (kesialan). Hadis ini menggunakan lkalimat jazm (statemen pasti) dan kalimat syarat (kalimat yang mengandung syarat). Yang dapat dipahami dengan tidak ada penyakit dan tidak ada sikap pesimis yang terjadi kepada seseorang, bias jadi kesialan itu terjadi kepada tiga hal: hewan, perempuan dan tempat tinggal.

Memaknai lafadz الشٌّؤْمُ  dari hadis tersebut Imam Nawawi memaknainya sebagai ketidakcocokan terhadap apa yang dikehendaki oleh seseorang. Sedangkan dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi bahwa kata al-Syu’mu bermakna did al-Yumni yakni antonym dari kata al-Yumni (keberuntungan), antonimnya keberuntungan yakni kesialan. Pendapat ini tidak jauh  berbeda dengan apa yang dijelaskan oleh Imam Nawawi.[20]

Dalam memahami kata al-Syu’mu ini Ibnu ‘Abd al-Barr memaminya juga dengan makna yang terkandung didalamnya dengan menampilkan pendapat;

 

الشُّؤْمُ فِي كَلاَمِ الْعَرَبِ النَّحْسُ وَكَذَلِكَ قَالَ أَهْلُ الْعِلْمِ بِتَأْوِيْلِ الْقُرْاَنِ فِي قَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فِي أَيَّامٍ نَحِسَاتٍ قَالُوا مَشَائِيمُ قَلَ أَبُوْ عُبَيْدَةَ نَحِسَاتٌ ذَوَاتُ نُحُوسٍ مَشَائِيمُ وَقَدْ فَسَّرَ مَعْمَرٌ فِي رِوَايَتِهِ لِهَذَا الْحَدِيْثِ الشُّؤْمَ تَفْسِيْرًا حَسَنًا

“al-shu’ma” dalam kebiasaan Arab memiliki makna kesialan dan hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh kelompok takwil Al-Qur’an yang menyebutkan “ fi ‘ayami nasihat” dengan makna “masha’imu” yaitu kesialan. Abu ‘Ubaidah berkata bahwa “nasihatun” bermakna yang memiliki kesialan. Adapun Ma’mar menafsirkan kata “al-Shu’mu” dalam riwayat hadis ini degan makna ang baik.”

Kemudian dalam mendalami makna dari hadis tersebut Ibnu ‘Abd al-Barr mengacu pada suatu pendapat yakni;

 

قَالَ مَعْمَرٌ سَمِعْتُ مَنْ يُفَسِّرُ هَذَا الْحَذِيْثَ يَقُوْلُ شُؤْمُ الْمَرْأَةِ إِذَا كَانَتْ غَيْرَوَلُوْدٍ وَشُؤْمُ الْفَرَسِ إِذَالَمْ يُغْزَ عَلَيْهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَشُؤْمُ الدَّارِ جَارُ السُّوءِ

 

“Ma’mar berkata bahwa aku medengar seseorang menafsirkan hadis ini dengan mengatakan bahwa kesialan perempuan adalah ketika tidak melahirkan, kesialan kuda adalah ketika tidak digunakan untuk berperang di jalan Allah, dan kesialan tempat tinggal adalah saat digunakan untuk keburukan.” 

Kemudian dalam memahami kata fi Tsalatsatin (pada tiga), Ibnu al-‘Arabi berpendapat yang tercantum dalam kitabnya Fath al-bari, pembatasan disini dinisbatkan kepada kebiasaan bukan kepada fitrah atau naluri. Menurut pendapat Ibnu Qayyim, Redaksi tersebut maknanya sebagaimana yang tercantum di kitab Fathul Majid yakni “Penginformasian Nabi Muhammad Saw mengenai kesialan ada pada 3 hal tersebut,  bukanlah penetapan akan ( kebolehan) ramalan mengenai sesuatu yang buruk (tatayyur) yang ditiadakan oleh Allah swt, melainkan pemahamnnya yakni mungkin Allah menciptakan darinya beberapa hal yang membawa berkah, di mana orang yang mendekatinya tidak akan mendapati keburukan atau kesialan.[22] 

F. Penyelesaian Polemik Hadis 

Mayoritas ulama’ telah berijtihad dengan tujuan mengkomparasikan antara beberapa hadis setema diatas dan mereka menjelaskan bahwa di hadis tersebut terdapat sebuah perbedaan antara kesialan dengan 3 aspek tadi yakni (wanita, rumah, dan kendaraan) di atas dengan siyarah yang syirik. Berikut ini cara yang para ulama’ pakai dalam mengkomparasikannya cukup beragam diantaranya;

  • 1. Minoritas pendapat mengungkapkan bahwa pada dasarnya merasa sial itu tidak boleh, akan tetapi terkhusus tiga hal tersebut (rumah, istri, dan kendaraan) maka hukumnya adalah boleh.
  • 2. Sebagian ulama berpendapat bahwa hadis yang memperbolehkan merasa sial dengan tiga hal tersebut termansukh (terhapus) dengan keberadaan hadis-hadis larangan.
  • 3. Melemahkan sekaligus mengingkari beberapa hadis yang menerangkan tentang kesialan terkhusus pada 3 aspek diatas atau mengingkari ketegasan lafaz tersebut, pendapat yang benar menurut golongan ke tiga ini  adalah dengan pemahaman lafazh: “Kalau memang ada kesialan pada sesuatu, maka tiga perkara. 

Terdapat pendapat yang unggul dengan membagi kesialan itu pada 2 jenis, antara lain; pertama, Kesialan yang haram, seperti keyakinan orang-orang Jahiliah pada hal tertentu yang dianggap sebagai pembawa sial yang berpengaruh terhadap kondisi seseorang saat melakukannya dan sebagai penentu aspek kebaikan dan keburukan, sehingga mengurungkan tekad dan minat mereka. Hal ini senada dengan pendapat Imam Nawawi ketika memaparkan aspek kesyirikan pada tiyarah: “Sebab mereka berkeyakinan benda tersebut berpengaruh untuk maju mundurnya sesuatu.

Kedua, Kesialan yang ditetapkan dalam hadis, yakni apa yang terdapat pada hati seorang dalam hal ini adalah kebencian terhadap suatu hal tertentu tatkala terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan padanya. Berikut ini beberapa cirinya:

  • Kesialan itu tidak akan ada kecuali setelah terjadinya dampak negatif yang terus menerus. Maka tatkala seseorang merasa terkena dampak negatif dari sesuatu, maka boleh baginya untuk meninggalkannya.
  • Kesialan itu ada disebabkan adanya sifat yang tercela, berbeda halnya dengan kesialan terlarang yang biasanya muncul karena sebab yang tidak jelas, seperti membatalkan rencana bepergian gara-gara melihat seekor burung.
  • Akibat dari kesialan ini yakni meninggalkan, dengan tetap memiliki keyakinan yakni hanya Allah saja yang menciptakan sekaligus mengatur kebaikan dan keburukan. Kesialannya bukan disebabkan zat benda tersebut memiliki pengaruh, akan tetapi karena apa yang Allah takdirkan pada benda tersebut berbentuk kebaikan dan kejelekan.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun