Memaknai lafadz الشٌّؤْمُ dari hadis tersebut Imam Nawawi memaknainya sebagai ketidakcocokan terhadap apa yang dikehendaki oleh seseorang. Sedangkan dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi bahwa kata al-Syu’mu bermakna did al-Yumni yakni antonym dari kata al-Yumni (keberuntungan), antonimnya keberuntungan yakni kesialan. Pendapat ini tidak jauh berbeda dengan apa yang dijelaskan oleh Imam Nawawi.[20]
Dalam memahami kata al-Syu’mu ini Ibnu ‘Abd al-Barr memaminya juga dengan makna yang terkandung didalamnya dengan menampilkan pendapat;
الشُّؤْمُ فِي كَلاَمِ الْعَرَبِ النَّحْسُ وَكَذَلِكَ قَالَ أَهْلُ الْعِلْمِ بِتَأْوِيْلِ الْقُرْاَنِ فِي قَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فِي أَيَّامٍ نَحِسَاتٍ قَالُوا مَشَائِيمُ قَلَ أَبُوْ عُبَيْدَةَ نَحِسَاتٌ ذَوَاتُ نُحُوسٍ مَشَائِيمُ وَقَدْ فَسَّرَ مَعْمَرٌ فِي رِوَايَتِهِ لِهَذَا الْحَدِيْثِ الشُّؤْمَ تَفْسِيْرًا حَسَنًا
“al-shu’ma” dalam kebiasaan Arab memiliki makna kesialan dan hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh kelompok takwil Al-Qur’an yang menyebutkan “ fi ‘ayami nasihat” dengan makna “masha’imu” yaitu kesialan. Abu ‘Ubaidah berkata bahwa “nasihatun” bermakna yang memiliki kesialan. Adapun Ma’mar menafsirkan kata “al-Shu’mu” dalam riwayat hadis ini degan makna ang baik.”
Kemudian dalam mendalami makna dari hadis tersebut Ibnu ‘Abd al-Barr mengacu pada suatu pendapat yakni;
قَالَ مَعْمَرٌ سَمِعْتُ مَنْ يُفَسِّرُ هَذَا الْحَذِيْثَ يَقُوْلُ شُؤْمُ الْمَرْأَةِ إِذَا كَانَتْ غَيْرَوَلُوْدٍ وَشُؤْمُ الْفَرَسِ إِذَالَمْ يُغْزَ عَلَيْهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَشُؤْمُ الدَّارِ جَارُ السُّوءِ
“Ma’mar berkata bahwa aku medengar seseorang menafsirkan hadis ini dengan mengatakan bahwa kesialan perempuan adalah ketika tidak melahirkan, kesialan kuda adalah ketika tidak digunakan untuk berperang di jalan Allah, dan kesialan tempat tinggal adalah saat digunakan untuk keburukan.”
Kemudian dalam memahami kata fi Tsalatsatin (pada tiga), Ibnu al-‘Arabi berpendapat yang tercantum dalam kitabnya Fath al-bari, pembatasan disini dinisbatkan kepada kebiasaan bukan kepada fitrah atau naluri. Menurut pendapat Ibnu Qayyim, Redaksi tersebut maknanya sebagaimana yang tercantum di kitab Fathul Majid yakni “Penginformasian Nabi Muhammad Saw mengenai kesialan ada pada 3 hal tersebut, bukanlah penetapan akan ( kebolehan) ramalan mengenai sesuatu yang buruk (tatayyur) yang ditiadakan oleh Allah swt, melainkan pemahamnnya yakni mungkin Allah menciptakan darinya beberapa hal yang membawa berkah, di mana orang yang mendekatinya tidak akan mendapati keburukan atau kesialan.[22]