Mohon tunggu...
Muhammad Fakhrul Islam
Muhammad Fakhrul Islam Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

penulis pemula yang mencoba berkarya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Reinterpretasi Hadist Shahih Bukhori No. 5093 "Wanita Pembawa Sial"

21 Juni 2023   08:58 Diperbarui: 21 Juni 2023   09:45 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

 

D. Pengertian Al- Syu’mu Secara Umum

Kata al-syu’mu (الشُّؤْمُ) mempunyai makna kesialan berasal dari fi’il madzi (kata kerja lampau) sya’ama (شَأَمَ) yang memiliki arti kiri, antonim dari kata ‘al-Yumni’ (اَلْيُمْنِ) yang memiliki arti nasib baik. Dikatakan “tasya’amtu bikadza” (aku sial dengan hal ini), dan “tayammantu bikadza” (aku bernasib baik dengan hal ini). Contoh ungkapan yang menggunakan kata tersebut adalah:

تَشَأَمَ الرَّجُلُ إِذَا أَخَذَ نَحْوَشِمَالِهِ

“Laki-laki tersebut mengambil jalan kea rah kiri”

Kiri memiliki identik dengan suatu yang negative, jelek, rendah, atau buruk. Dan begitu pula sebaliknya kanan diidentikkan dengan sesuatu yang baik, sempurna dan positif. Oleh karena itu, pekerjaan yang baik dimulai dari yang kanan seperti makan dengan tangan kanan, memakai pakaian, masuk masjid memakai kaki kanan. Sedangkan pekerjaan yang tergolong jelek memakai kiri seperti masuk kamar mandi, dan lain sebagainya. Mengutip dari KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), kesialan berakar dari kata sial yang memiliki arti tidak mujur, semua usaha tidak berjalan mulus, buruk, malang, celaka, menghilangkan segala apa yang menyebabkan sial. Makna sesungguhnya dari kesialan adalah kemalangan, kecelakaan, ketidak mujuran serta keadaan sial.

Pemakaian kata syu’mu (الشُّؤْمُ) yang awal mulanya diidentikkan dengan kiri memberikan pemahaman terhadap sesuatu yang bersifat tidak menguntungkan (sial). Penjelasan ini memiliki sinonim kata dengan penjelasan yang sama, yakni kata al-Thiyarah (الطِّيَرَةَ). Pada dasarnya kata Al-Thiyarah dapat diartikan sebagai keyakinan sial kepada sesuatu. Oleh sebab itu, Menurut Imam Ibnu Hajar al-Atsqalani menjelaskan kata “al-Tiyarah” dan “al- Syu’mu” memiliki arti yang sama yakni kesialan yang dikaitkan dengan sesuatu. Pada dasarnya makna dari kata al-Tiyarah dan al-Syu‟mu me perbedaan dalam hal penggunaannya meskipun memiliki kesepadanan dari segi definisi. Al-Tiyarah memiliki pengertian proses pengundian sebagai penentu nasib seseorang dengan menggunakan media binatang atau benda-benda lainnya yang dapat digunakan untuk memprediksikan atau meramalkan nasib seseorang di masa yang akan datang. Andai benda tersebut memberikan petunjuk ke haluan kanan maka hal tersebut memberikan indikasi bahwa pekerjaan atau usaha kita akan memperoleh keberkahan atau keberuntungan. Sebaliknya jikalau benda tersebut memberikan petunjuk ke haluan kiri maka seseorang atau pekerjaannya akan mendapatkan kesialan atau kerugiaan. Adapun kata al-Syu’mu (kesialan) merupakan produk dari proses al-Tiyarah yang berhaluan ke kiri, atau sesuatu yang diindikasikan sebagai pembawa kerugian (sial).[19]

E. Pemahaman Hadist wanita pembawa sial 

Jika meninjau hadis-hadis yang membahas tentang wanita pembawa sial terdapat penyajian kata yang beragam, akan tetapi tetap memiliki makna yang sepadan. Dalam pemaparan hadis tersebut oleh Imam al-Bukhori dengan kata kunci lafadz al-Syu’mu disajikan dengan 6 buah hadis yang berbeda. Hadis-hadis tersebut diawali dengan kata innama, inkana, inyakun dan la ‘adwa wala tiyarah.

 Pada sebagian riwayat hadis penggunaan kata innama menunjukkan pada penetapan atau kepastian, maka hal ini adalah sebuah bentuk ringkasan dan perubahan dari sebagian riwayat. Sedangkan riwayat yang memakai kata inyakuun dan inkana memiliki kesamaan arti yakni “jikalau terjadi pada sesuatu” yang memiliki pemahaman bahwa sebuah pegandaian yang belum tentu terjadi pada sesuatu, dalam hadis ini redaksi tersebut menunujukkan bahwa tidak adanya penetapan atau epastian dalam hal kesialan ada pada tiga hal. Selain meggunakan redaksi tiga kata diatas riwayat lainnya juga memakai kata la ‘adwa (tidak ada penyakit) yag berindikasi bahwa suatu penyakit itu berpindah sendiri tanpa kekuasaan Allah. Dan Lafadz wala tiyarah (dan tidak pula tiyarah) yaitu sikap tidak percaya diri pada seorang individu yang menghambatnya untuk mengemplementasikan suatu perilaku. 

Adapun keputusan ibnu Umar di dalam riwayat yang tercantum pada kitab Shahih Muslim yakni mengumpulkan antara kedua hadis لا عَدوَي وَلاَطِيَرَةَ، والشُّؤْمُ فِي ثَلَاثَةٍ mengindikasi bahwa dia menguatkan salah satu kemungkinan daripada makna Syu’mu (kesialan). Hadis ini menggunakan lkalimat jazm (statemen pasti) dan kalimat syarat (kalimat yang mengandung syarat). Yang dapat dipahami dengan tidak ada penyakit dan tidak ada sikap pesimis yang terjadi kepada seseorang, bias jadi kesialan itu terjadi kepada tiga hal: hewan, perempuan dan tempat tinggal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun