Mohon tunggu...
Fakhriyah Khoirun Nisa
Fakhriyah Khoirun Nisa Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pengarang

Saat ini tengah menempuh pendidikan di SMAN 1 Bekasi. Hobi menulis karya fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen Islami Inspiratif Mala Nirsukma

5 Januari 2024   22:48 Diperbarui: 5 Januari 2024   22:58 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

MALA NIRSUKMA

Karya: Fakhriyah Khoirun Nisa

Terlihat sepasang kaki bersepatu hitam melangkah gontai melintasi gerbang SMK Sinar Senjakala. Deru klakson bersahutan mengisyaratkan lautan manusia tak sabaran tengah bermacet-macetan. Namun, sosok pemilik sepasang kaki itu tak mengindahkan. Bagaimana caranya ia bisa lekas sampai tujuan adalah satu-satunya hal yang berenang dalam benaknya sekarang. Pemilik sepasang kaki itu tak lain ialah Mala Nirsukma.

Panas terik mentari yang membuat kulit kuning langsatnya sedikit melegam juga peluh yang bercucuran di keningnya tak ia hiraukan. Asap dan debu jalanan yang menerpa wajah letihnya agaknya sudah tak lagi dirasakan. Hanya sebuah jaket kuning favoritnya yang senantiasa menemani ke mana saja ia pergi ia dekap erat-erat. Kerudung putih yang dikenakan pun ia biarkan berkelahi dengan angin.

Aku akan pulang dengan baik-baik saja, batin gadis 16 tahun itu lantas ia terus melangkahkan kakinya menuju halte bus agar bisa lekas tiba di rumah.

oOo

"Asalamualaikum, Bu." Mala bergegas masuk rumah menghampiri ibunya di dapur seraya mencium tangannya. Tentu saja tidak menggunakan tangan kanan. Mala cacat bawaan lahir, ia hanya memiliki satu tangan, tangan kiri yang selalu ia gunakan untuk segala hal yang ia bisa. Seperti biasa, tidak ada respons dari sang ibu. Ia langsung masuk kamar lalu berganti pakaian dengan sedikit tergesa-gesa.

"Mala! Cepat keluar! Ibu mau bicara sama kamu," raung ibu Mala sambil menggedor-gedor pintu kamar Mala yang sudah tampak ringkih. Dalam sekejap pintu itu sudah terbuka.

Tampak sosok Mala dengan pakaian kusutnya. Wajahnya pun demikian ditambah raut sedikit ketakutan.

"Kamu bikin masalah apa sama Amel? Barusan ibunya telepon terus marah-marah ke Ibu. Katanya kamu nakal sama Amel di sekolah," geramnya sambil melotot dan menunjuk-nunjuk Mala dengan penuh emosi hingga urat-urat di tangan dan keningnya tampak menonjol, bola matanya pun seperti ingin keluar dari persemayamannya.

Mala merasakan sesak di dadanya. Ia terpaku, lidahnya kelu, tak ada sesuatu yang bisa keluar dari mulutnya.

"Mala! Kamu tuh, udah cacat! Bersyukur masih Ibu izinin sekolah, tapi malah nggak tau diri. Eh, sekarang mau bikin masalah sama temen kamu? Iya? Gitu? Emang dasar Mala! Mala buat hidup Ibu! Bencana! Anak pembawa sial!" jerit ibunya hingga menggema ke seisi rumah yang kebahagiaannya telah sirna.

Lagi dan lagi Mala hanya bisa terdiam. Tak ada satu pun kata bantahan yang terbersit dalam benaknya. Benar-benar anak yang tidak pernah membangkang. Ia terus terdiam ketakukan.

"Oh selain nggak punya tangan, ternyata kamu juga bisu, ya?" sindir ibunya kepada Mala yang tak kunjung membuka mulutnya.

"Ayo, jawab! Ibu tuh bener-bener malu punya anak kayak kamu, ya. Kalau bukan karena Tante Kirana yang masih mau biayain hidup kamu, udah Ibu buang kamu dari dulu," celotehnya tak usai-usai.

"M-maaf, Bu. Mala ... Mala nggak bermaksud bikin masalah kok sama Amel. Tadi tuh, cuman salah paham. Mala cuman ditanyain Bu Novi, guru BK aku. Beliau nanya ke aku sering digangguin nggak sama temen-temen di sekolah. Ya aku jawab jujur, kalau aku emang sering digangguin Amel sama temen-temennya juga. Terus ...." Mala menghentikan ucapannya.

"Terus apa?" tegas ibunya.

"Terus pas aku lagi bilang kayak gitu, temennya Amel nggak sengaja denger soalnya Bu Novi sama aku di kelas. Ternyata dia ngasih tau itu ke Amel. Akhirnya pas pulang sekolah tiba-tiba mereka dorong badanku sampai jatuh. Ternyata itu alasannya," terang Mala sejujur-jujurnya.

"Oh, jadi kamu nyalahin Amel?"

"Ya, tapi kan emang dia salah, Bu," bantah Mala.

"Jelas-jelas kamu yang salah! Mending mulai sekarang kamu sadar diri. Jangan pernah ngadu-ngadu lagi ke guru kamu atau Ibu sama sekali nggak akan pernah izinin kamu sekolah."

"Maafin Mala, Bu. Mala janji nggak akan ulangin lagi. Mala masih mau sekolah. Mala masih mau wujudin cita-cita almarhum ayah yang sekarang udah jadi cita-cita Mala juga," ujarnya sungguh-sungguh.

Tak ada lagi balasan dari sang ibu yang langsung melenggang begitu saja meninggalkan Mala. Untungnya ini adalah sebuah hal lumrah baginya.

oOo

Asholatu khairum minannaum .... Asholatu khairum minannaum ....

Lantunan azan begitu merdu tembus hingga ke kamar Mala. Cahaya remang-remang yang menyinari kamar Mala lenyap seketika digantikan lampu bohlam yang terangnya berkali-kali lipat dari lampu tidurnya. Dengan pandangan matanya yang masih sedikit kabur, ia berdiri perlahan. Kemudian berjalan menuju kamar mandi.

Setelah menyelesaikan mandinya, ia langsung mengambil air wudu dan melaksanakan salat Subuh. Selepasnya, Mala memanjatkan segala doa terbaiknya. Tak lama setelah Mala menyelesaikan salatnya, ponsel Mala berdering. Di layarnya tampak jelas bahwa peneleponnya adalah Tante Kirana.

"Asalamualaikum, Tante," salam Mala membuka percakapan itu.

"Waalaikumsalam, Sayang," jawab Kirana dari seberang sana.

"Tante ada apa ya, telepon Mala pagi-pagi begini?" tanyanya tanpa ba-bi-bu.

"Tante sama Om Hasan mau jemput kamu sekarang. Kamu bisa, kan?" tanya Kirana, tetapi sedikit memaksa.

Mala tak menjawab. Ia berpikir dan langsung menerka-nerka hal apa

Mala menghela napasnya. "Tapi ini masih pagi banget, Tan. Tante seriusan mau ke sini sekarang?"

"Serius, dong. Kapan Tante bohongin kamu? Ya udah, sekarang kamu siap-siap aja soalnya nanti kita bakal langsung ke rumah Tante."

"Mala tanya dulu ke Ibu ya, Tan," jawabnya.

"Terserah kalau soal itu. Udah ya, Tante sama Om mau siap-siap dulu. Asalamualaikum." Dalam sekejap sambungan telepon itu sudah terputus.

Waalaikumsalam, batin Mala.

Kini Mala dilanda kebingungan. Pertama, ia tidak tahu hal sepenting apa yang akan dibicarakan oleh Tante Kirana kepadanya nanti. Kedua, apakah ibunya akan mengizinkannya pergi sepagi ini. Ketiga, ia masih memusingkan soal Amel yang kemarin. Hidup ini memang benar-benar membingungkan. Terlampau banyak teka-teki yang harus dihadapi.

Bukannya bergegas menemui sang ibu untuk meminta izin, Mala justru duduk tercenung di tepian ranjang tidurnya memikirkan banyak hal. Segala harapan sekaligus ketakutan. Mendadak ia teringat dengan bayangan wajah almarhum ayahnya. Wajah yang terakhir kali ia lihat delapan tahun silam, tepatnya pada 3 Agustus 2010.

Setitik butiran bening yang meluncur begitu saja dari netra cantiknya. Begitu banyak hal yang menghantui pikirannya. Cita-cita ayahnya yang belum mampu ia wujudkan, hubungannya dengan sang ibu yang tak kunjung membaik, juga teman-temannya yang tak henti merundung dirinya sampai kini.

Tok! Tok! Tok!

Terdengar bunyi ketukan pintu cukup nyaring menyadarkan Mala dari lamunannya. Ia cepat-cepat menghapus jejak air netra yang masih tertinggal di pipinya. Kemudian ia beranjak keluar kamar untuk menemui ibunya. Namun, ternyata sang ibu sudah berada di ruang tamu bersama Kirana juga Hasan.

"Ngapain kamu ke sini?" ketus ibu Mala yang sontak membuat Mala terkejut bukan main.

"Oh jelas, saya ke sini mau jemput Mala. Saya mau bawa dia ke rumah saya. Nanti sore saya antar lagi," jelas Kirana tanpa basa-basi.

"Oh, masih ada yang peduli juga rupanya sama anak sialan satu itu. Ya udah sana bawa aja, kalau perlu ga usah balik lagi. Saya nggak butuh anak kayak dia," sahut ibu Mala dengan senyum miring.

Kirana tak memedulikan jawaban ibu Mala. "Mala sayang, ayo ikut Tante sama Om."

Mala belum merespons ucapan Kirana. Ia melirik ke arah ibunya yang balik memelototinya. Bulu kuduknya meremang mengingat betapa menyeramkannya ketika sang ibu sudah naik pitam. Dengan segera ia mengalihkan pandangan kepada Kirana yang sudah siap menggandengnya sejak tadi.

Seperti biasa, sebelum meninggalkan rumah Mala pasti berpamitan dan mencium tangan sang ibu meskipun tidak pernah disambut baik. "Mala pergi ke rumah Tante Kirana dulu ya, Bu. Maaf, Mala jadi nggak bisa bantuin Ibu beres-beres rumah. Nanti sore Mala balik kok, Bu. Asalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawabnya ketus.

Kirana, Hasan, dan Mala pergi meninggalkan rumah itu lalu lekas menumpangi mobil yang sejak tadi terparkir di depan rumah. Ada sedikit perasaan yang mengganjal di hati Mala karena telah meninggalkan ibunya terlebih sepagi ini. Biasanya waktu pagi di akhir pekan Mala gunakan untuk membantu ibunya mengerjakan pekerjaan rumah. Lagi-lagi ia termenung. Pandangannya kosong, tetapi pikirannya penuh.

"Mala, gimana sekolahmu?" Sebuah hal yang selalu menjadi topik perbincangan saat mereka tengah berkumpul.

"Alhamdulillah sekolahnya lancar, Om. Amel sama temen-temennya ... masih sama aja, tapi Pia selalu temenin aku, kok," jelasnya.

Pianis Bestari atau yang akrab disapa Pia merupakan teman baik Mala sejak duduk di bangku SMK. Bukan seperti kebanyakan teman Mala yang kerap kali menjauhinya karena malu memiliki teman yang cacat fisik, Pia justru kagum kepada Mala. Menurut Pia, Mala adalah sosok yang hebat sehingga ia tak pernah henti memberikan semangat dan dukungan kepadanya.

"Pia emang anak yang baik, ya. Kapan-kapan ajakin dia lagi dong buat main ke rumah Om atau kalau mau ketemuan di luar juga boleh. Om baru pernah ketemu dua kali doang, kan?"

"Iya ... hehe. Pia sibuk soalnya, Om. Pas itu main ke rumah Om juga buru-buru soalnya dia mau les piano. Dia keren loh, makin jago sekarang main pianonya kalau lagi ekskul di sekolah. Bener-bener pianis yang hebat, sesuai banget sama namanya," ujar Mala dengan senyum gembira yang mengembang di wajahnya. Membayangkan betapa hebatnya seorang Pia dan ia bangga memiliki sahabat sepertinya.

"Masyaallah, jadi makin nggak sabar ketemu Pia lagi. Nanti kalau main ke rumah, Om minta dia main piano, deh. Itu piano di rumah Om nganggur berbulan-bulan, nggak ada yang sempat mainin juga."

Kirana dan Hasan sudah menjalani kehidupan sebagai sepasang suami istri selama lima tahun, tetapi mereka belum kunjung dikaruniai anak oleh-Nya. Kesibukan mereka sehari-harinya hanyalah bekerja sejak mentari belum terbit hingga mentari tak tampak lagi. Kesibukan sampingannya atau yang juga bisa dibilang sebagai hiburannya yaitu seperti sekarang, berbincang dengan keponakan. Mereka selalu menikmatinya dan berharap suatu saat nanti bisa melakukan hal yang serupa dengan anak-anak kandungnya.

"Alhamdulillah udah sampai," ucap Kirana.

Mereka bertiga pun masuk ke dalam rumah yang di ruang tamunya sudah terdapat berbagai jenis keju lezat kesukaan Mala. Mala yang terbiasa akan hal itu hanya mesem-mesem.

Mala langsung duduk di sofa ruang tamu dengan penuh antusias lalu ia membuka stoples kaca yang berisi potongan keju dan memakannya dengan lahap. Beberapa saat kemudian, Kirana  dan Hasan ikut duduk bersama Mala.

"Hmm ... sekarang udah bulan Juni. Sebentar lagi kamu naik kelas 12, ya. Nanti kalau udah dikasih tau jadwal ambil rapornya kabarin Tante sama Om biar kami bisa izin sama bos jauh-jauh hari," ucap Kirana yang memang senantiasa menjadi wali Mala saat mengambil rapor karena ibu kandungnya tak pernah mau menemani.

"Pelajaran Informatika kamu di sekolah udah sampai mana?" tanya Hasan.

Mala menimpalinya dengan antusias, "Udah pemrograman aplikasi sama pembuatan aplikasi gratis sederhana pakai coding, Om. Aplikasi yang aku bikin aku coba pakai yang berbayar pakai uang tabunganku. Hasilnya emang beda jauh sama punya temen-temenku. Ini bener-bener menurutku bisa dipakai semua orang tapi masih ada yang kembangin juga."

Mendadak mata Hasan berbinar sekaligus berkaca-kaca. "Masyaallah, hebat banget. Om yakin suatu saat nanti kamu pasti jadi orang sukses dan membanggakan kedua orang tuamu."

Kedua orang tua. Hal tersebut tentu saja membuat Mala lagi-lagi teringat akan almarhum ayahnya yang sudah meninggal delapan tahun silam. Mala sangat merindukannya dan ia berpikir akan mengajak Pia untuk ziarah ke makam ayahnya sepulang sekolah pada hari Senin.

"Om, Mala jadi kangen Ayah, deh. Mala pengin jadi teknisi komputer juga kayak Ayah."

Hasan hanya mampu menghela napas panjang. Ia tidak bisa lagi berkata-kata jika Mala sudah membicarakan almarhum ayahnya. Kata-kata semangat rasanya sudah habis ia ucapkan.

"Pas Mala SD Ayah pernah cerita katanya tahun 2007 Ayah ditempatkan kerja di Kalimantan. Di sana beliau diminta untuk memperbaiki sistem komputer gitu di rumah sakit di sana. Ternyata pekerjaannya selesai lebih cepat dari yang seharusnya, jadi ayah sempet jalan-jalan sebentar di Kalimantan. Nah, pas lagi di perjalanan beliau nggak sengaja lewatin panti asuhan malam-malam. Katanya di halaman itu banyak anak-anak lagi main, tapi nggak ada cahaya sama sekali selain dari bintang dan bulan di langit."

Hasan begitu penasaran dengan cerita ini karena belum pernah mendengar sebelumnya. "Terus?"

Mala melanjutkan ceritanya. "Terus Ayah bilang kalau persebaran listrik di sana, tuh belum merata dan pada saat itu beliau bilang ingin membuat sebuah platform online yang aman, bebas dari penipuan, dan bisa digunakan untuk berdonasi oleh siapa pun, kapan pun, di mana pun. Jadi, kita bisa dengan mudah membantu orang lain yang membutuhkan. Tidak ada lagi yang menjadi penghalang. Sayangnya, belum sempat cita-citanya terwujud, Allah sudah sangat merindukan Ayah. Beberapa bulan setelahnya, Ayah meninggal."

Kirana mengelus lembut puncak kepala Mala seraya berkata, "Mala anak baik. Jujur, Tante baru tau cerita ini dari kamu, loh. Tante yang adiknya ayah kamu aja nggak pernah diceritain soal cita-citanya yang luar biasa ini."

"Meskipun Ayah nggak bisa wujudin cita-citanya, Mala yakin Mala bisa. Ini juga sekarang udah jadi cita-cita Mala dan Mala akan memperjuangkannya," ucapnya sungguh-sungguh.

"Sejujurnya Tante sama Om ngajak kamu ke sini sepagi ini, tuh cuman karena ... karena Pia ngabarin kalau kamu habis dirundung sama temanmu cukup parah. Kami takut kamu kenapa-kenapa." Kirana menatapnya sendu.

Hasan dan Kirana merasa sangat bahagia melihat keponakan satu-satunya sangat semangat untuk meraih cita-cita. Mereka melanjutkan perbincangan sambil makan berbagai camilan yang ada. Begitulah rutinitas akhir pekan mereka bertiga. Menikmati akhir pekan di rumah yang penuh kedamaian juga kehangatan sampai-sampai agaknya kebencian dan segala perasaan negatif lainnya pun takut memasuki rumah ini.

oOo

"Makasih ya, Pia udah mau nemenin aku ke makam Ayah," ujarnya sambil tersenyum tulus.

"Sama-sama, Mala. Pokoknya kamu kalau ada apa-apa harus cerita sama aku. Jangan dipendam sendiri. Oke?"

"Hehehe, iya iya."

Pia yang sudah mengenal watak Mala hanya mampu geleng-geleng kepala.

Mala mengalihkan pembicaraan. "Oh, iya. Kemarin Tanteku nanya kita kapan pembagian rapor, ya? Soalnya, kan kita udah kelar ujian akhir semester juga."

"Kemarin pas hari Jumat udah diumumin sama Bu Intan---wali kelas mereka---pas istirahat. Kamunya lagi ketemu guru BK, deh kayaknya. Pengambilan rapor Jumat depan."

"Duh, ternyata aku yang ketinggalan info. Oke, makasih ya. Nanti aku sampaikan ke Tante sama Omku."

oOo

"Selamat, Mala kamu masih bisa mempertahankan peringkat dua. Selamat juga atas suksesnya aplikasi karyamu. Ibu bener-bener nggak nyangka, loh ternyata aplikasi yang kamu buat bisa digunakan oleh khalayak umum. Tingkatkan terus semangat belajarmu," ujar Bu Intan dengan pandangan berbinar-binar.

"Alhamdulillah, terima kasih banyak, Bu Intan," balas Mala.

"Oh, iya. Ibu hampir lupa. Ada pesan dari Bapak Kepala Sekolah. Kemarin katanya kabar tentang aplikasi itu udah sampai ke media. Jadi, besok bakal banyak wartawan yang ke sini buat meliput kamu. Mereka bakal wawancara kamu seputar aplikasi Sinar Senjakala Berbagi. Kamu besok bisa hadir di sekolah, kan?"

"Insyaallah bisa, Bu." Mala mengangguk.

oOo

Keesokan harinya, tepatnya hari Sabtu Mala hadir di sekolah dengan pakaian terbaiknya. Untuk kali ini selain mengambil rapor, Mala pergi ke sekolah tidak menumpangi bus, melainkan diantar oleh tante dan omnya. Ia sudah mengatakan perihal ini kepada sang ibu, tetapi tanggapannya acuh tak acuh.

Ratusan wartawan sudah berkerumun di depan SMK Sinar Senjakala dan foto-foto Mala sudah terpampang jelas di beberapa spanduk. Senyum bahagia merekah di wajah Mala. Ayah, aku berhasil menepati janjiku. Aku harap Ayah berbahagia juga atas ini, batinnya.

"Bisa diceritakan bagaimana awal mula bisa membuat aplikasi Sinar Senjakala Berbagi ini? Apa sebelumnya sudah memilik pengalaman yang serupa?"

"Apakah aplikasi ini bisa digunakan oleh khalayak umum? Bagaimana cara kerja aplikasi Sinar Senjakala Berbagi? Bagaimana tanggapan Anda jika ada yang mengatakan bahwa ini aplikasi penipuan karena memiliki anggapan bahwa yang membuatnya adalah seorang siswi SMK?"

Masih banyak pertanyaan lainnya. Mala menjawabnya satu per satu dengan senyum yang sama sekali tak memudar. Semua pertanyaan bisa dijawab dengan lancar olehnya karena ia sepenuhnya paham dengan cara kerja aplikasi tersebut.

Sepulang sekolah, Mala menemui ibunya seperti biasa. Namun, ada yang berbeda kali ini. "Tadi Ibu lihat kamu di TV. Kamu pinter juga ternyata."

Mala sedikit terkejut atas pujian ibunya. "M-makasih, Bu. Itu semua juga nggak terjadi tanpa doa Ibu."

"Siapa juga yang pernah doain kamu?" ketusnya.

oOo

Saat Mala sudah sukses membuat aplikasi Sinar Senjakala Berbagi dan diliput di banyak media massa, sikap sang ibu perlahan berubah. Mulai terjalin hubungan yang baik antara Mala dengan sang ibu.

"Mala, Ibu mau ngomong sama kamu," kata ibunya yang mendadak serius.

"Ada apa, Bu?" tanya Mala yang sama seriusnya karena ia merasa ibunya akan mengatakan suatu hal yang amat penting.

"Nggak seharusnya Ibu bilang kamu pembawa malapetaka dalam hidup Ibu. Ibu yang memberimu nama Mala Nirsukma. Saat kamu lahir Ibu seperti orang gila karena melahirkan anak yang cacat fisik. Maka dari itu, Ibu beri kamu nama Nirsukma."

"Maaf."

"Nggak, nggak seharusnya kamu minta maaf. Kamu sama sekali nggak bersalah. Ibu yang seharusnya meminta maaf karena saat kamu lahir dengan kondisi hanya memiliki satu tangan, Ibu merasa bahwa kamu adalah pembawa mala, pembawa bencana dalam hidup Ibu. Sampai-sampai pada saat itu ayahmu tidak bisa membantah untuk mengganti namamu karena sudah terlanjur tercatat di akta kelahiran."

"Ibu pasti sangat terluka karena aku," ujar Mala.

"Sekarang sudah tidak. Ibu akan mengganti namamu menjadi Chayra Ahza yang dalam bahasa arab memiliki arti kebaikan dan keberuntungan. Kamu adalah pembawa kebaikan dan keberuntungan dalam hidup Ibu. Sayangnya kamu tidak beruntung memiliki orang tua seperti Ibu. Ibu akan berusaha menjadi Ibu yang baik untukmu, Sayang." Buliran bening jatuh dari kedua pelupuk matanya yang sudah keriput.

Sama halnya dengan Mala yang merasa mendapat sebuah keajaiban. Keyakinannya selama ini bahwa suatu saat sang ibu akan berubah sudah tercapai. Satu wejangan dari sang ayah yang selalu ia ingat adalah bahwa sejahat atau seburuk apa pun orang tua, kita sebagai anak haruslah tetap berbakti kepadanya. Sekalipun orang tua telah tiada, kita masih bisa berbakti dengan cara memanjatkan doa kepada-Nya.

Dalam relung hatinya Mala pun berterima kasih kepada Tante Kirana, Om Hasan, Pia, semua orang yang pernah ia kenal, bahkan Amel sekali pun. Terkhusus kepada ayahnya yang telah tenang dipanggil Sang Pencipta, ia berterima kasih atas cita-citanya yang sukses ia realisasikan. Baginya Sinar Senjakala Berbagi juga menjadi salah satu alasan yang mengubah hidupnya.

Kemajuan teknologi dan modernisasi bisa dimanfaatkan dengan bijak jika kita berpegang teguh pada nilai-nilai Islam. Islam itu indah dan selamanya indah. Tidak pernah menyulitkan umatnya. Berbagi dan saling membantu antarumat manusia bisa dilakukan dengan cara apa saja. Itulah yang mendasari Mala sehingga ia sukses membuat sebuah platform online yang aman, bebas dari penipuan, dan bisa digunakan untuk berdonasi oleh siapa pun, kapan pun, di mana pun. Jadi, kita bisa dengan mudah membantu orang lain yang membutuhkan. Tidak ada yang menjadi penghalang untuk berbagi kebaikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun