"Mala! Kamu tuh, udah cacat! Bersyukur masih Ibu izinin sekolah, tapi malah nggak tau diri. Eh, sekarang mau bikin masalah sama temen kamu? Iya? Gitu? Emang dasar Mala! Mala buat hidup Ibu! Bencana! Anak pembawa sial!" jerit ibunya hingga menggema ke seisi rumah yang kebahagiaannya telah sirna.
Lagi dan lagi Mala hanya bisa terdiam. Tak ada satu pun kata bantahan yang terbersit dalam benaknya. Benar-benar anak yang tidak pernah membangkang. Ia terus terdiam ketakukan.
"Oh selain nggak punya tangan, ternyata kamu juga bisu, ya?" sindir ibunya kepada Mala yang tak kunjung membuka mulutnya.
"Ayo, jawab! Ibu tuh bener-bener malu punya anak kayak kamu, ya. Kalau bukan karena Tante Kirana yang masih mau biayain hidup kamu, udah Ibu buang kamu dari dulu," celotehnya tak usai-usai.
"M-maaf, Bu. Mala ... Mala nggak bermaksud bikin masalah kok sama Amel. Tadi tuh, cuman salah paham. Mala cuman ditanyain Bu Novi, guru BK aku. Beliau nanya ke aku sering digangguin nggak sama temen-temen di sekolah. Ya aku jawab jujur, kalau aku emang sering digangguin Amel sama temen-temennya juga. Terus ...." Mala menghentikan ucapannya.
"Terus apa?" tegas ibunya.
"Terus pas aku lagi bilang kayak gitu, temennya Amel nggak sengaja denger soalnya Bu Novi sama aku di kelas. Ternyata dia ngasih tau itu ke Amel. Akhirnya pas pulang sekolah tiba-tiba mereka dorong badanku sampai jatuh. Ternyata itu alasannya," terang Mala sejujur-jujurnya.
"Oh, jadi kamu nyalahin Amel?"
"Ya, tapi kan emang dia salah, Bu," bantah Mala.
"Jelas-jelas kamu yang salah! Mending mulai sekarang kamu sadar diri. Jangan pernah ngadu-ngadu lagi ke guru kamu atau Ibu sama sekali nggak akan pernah izinin kamu sekolah."
"Maafin Mala, Bu. Mala janji nggak akan ulangin lagi. Mala masih mau sekolah. Mala masih mau wujudin cita-cita almarhum ayah yang sekarang udah jadi cita-cita Mala juga," ujarnya sungguh-sungguh.