Izora seorang gadis yang punya masa lalu yang kelam. Luka apa yang belum dia rasakan? Semuanya pernah ia rasakan. Yang dia syukuri adalah dari sekian masalah yang dia hadapi, dia masih menjaga dirinya dengan baik, berkat setiap doa. Izora tidak seberuntung anak muda yang lain, dia hidup serba kekurangan. Namun dia tetap mensyukuri segala yang dia punya dan segala yang masih dia genggam dengan erat. Ketakutan terbesar dalam hidupnya adalah kehilangan. Karena baginya kehilangan itu menyakitkan, oleh karena itulah dia menghargai yang hadir dan mencintai orang-orang yang berharga dalam hidupnya. Dia menjaga apa yang dia punya dengan baik.Â
Selama ini, ia berjalan dan menemui dirinya terluka, menangis, menjerit, tak ada satupun yang merangkulnya selain dirinya sendiri. Tak ada yang memberinya semangat selain dirinya sendiri, maka dari itulah Izora selalu belajar berbicara dengan diri sendiri, mencintai diri sendiri dan merangkul dirinya sendiri. Tak ada yang bisa dipercaya dan tak ada yang bisa diandalkan saat Izora jatuh, saat Izora sakit dan saat Izora benar-benar membutuhkan sandaran dan bantuan dalam bentuk apapun. Bagi Izora, itulah keadaan yang harus mampu ia terima dan lalui.Â
Saat Izora sedang menenun kisah, dengan penuh keyakinan dan penuh kesedehanaan, Izora mencoba mewujudkan cita-citanya. Ingin menjadi pribadi yang berguna bagi diri sendiri, bagi orang tua, keluarga dan orang-orang yang akan ia temui dalam perjalanan hidup di atas bumi. Dia benar-benar yakin, dan harapannya sangat dalam sehingga dia jatuh dalam kenyamanan yang ia impikan. Dia bahagia saat menjalani apa yang memang dia harapkan, walaupun ada banyak rintangan, ada kerikil yang harus dia kunyah lalu telan, ada beling yang dia injak membuat telapaknya berdarah dan ada belati yang selalu menikam hati dan lambungnya namun dia tidak mati. Selama itu Izora bertahan dengan kesederhanaan dan syukur dalam doa-doanya.
Dan pada suatu ketika, bangunan Izora runtuh, harapannya pupus dan dia terluka parah. Bagi Izora, apa yang dia alami pada masa lalu, tidak ada bandingannya dengan apa yang dia rasakan saat ini. Ini adalah cita-cita Izora, namun semuanya pupus, berantakkan dan menyakitkan. Izora sakit, ada virus yang sangat ia benci telah tertempel dalam tubuhnya entah mulai dari kapan. Yang ia tahu selama ini ia baik-baik saja; dia bahagia, dia tertawa, dia semangat dan dia tidak pernah merasakan keganjilan dalam tubuhnya. Namun kenyataan memang selalu mengejutkan dan menyakitkan.
Di titik inilah Izora merasa kehilangan, dan baginya kehilangan yang menyakitkan adalah kehilangan diri sendiri. Dia hidup tapi rasanya telah mati, dia seperti mati walau tak pernah melihat raganya terbaring kaku. Ada kekosongan, ada sebagian yang hilang dari dirinya.
Kenyataan adalah sesuatu yang tak bisa ditunda atau tak bisa kembali untuk diperbaiki. Dia tidak pernah datang untuk menawar dan minta restu; tidak seperti pebisnis yang melakukan negosiasi sebelum terjadi, atau tidak seperti pemberian kado ulang tahun yang tahu tanggal dan kado berisi sesuatu yang indah. Kenyataan adalah misteri yang sulit dipecahkan oleh imajinasi, dia tak terpikirkan. Antara dua adalah hitam dan putih; hitam adalah derita, putih adalah kebahagiaan. Dia terjatuh dalam kekelaman dan berusaha mencari lentera, meminta kepada Tuhan yang dia percaya bahwa akan selalu ada dan menemaninya. Dalam keadaannya yang seperti itu, masalah datang silih berganti, masalah fisik, keluarga, ekonomi dan segala macam masalah yang menendang, memukul dan menjatuhkan Izora berkali-kali. Namun dari semuanya itu, ada suatau yang tak bisa ia terima dengan ikhlas dan dia tau luka ini akan sembuh seiring berjalannya waktu. Dalam keadaannya seperti ini, semua orang yang pernah hadir dalam kehidupan Izora hilang begitu saja tanpa jejak, pergi tanpa pamit dan tanpa alasan. Tak ada yang dijadikan sebagai tempat pulang dan sandaran bagi Izora. Semuanya hilang dan membingungkan.
Bulan berlalu, musim silih berganti, sudah satu tahun dia bertahan; merawat diri, membalut luka dan merangkul dirinya semakin erat. Dia merenung, menulis membaca dan berdoa. Banyak yang dia temukan dalam perjalanan ini; dia mengunyah kerikil lalu menelan, menginjak beling sehingga telapakknya berdarah dan merembes di sepanjang perjalanan seperti cat, orang-orang datang dan pergi dan Izora akan tetap menemui diri terluka dan tetap sendiri. Satu hal yang Izora syukuri adalah Tuhan menganugerahkan semangat dan ketabahan sehingga Izora mampu bertahan dalam segala macam situasi. Dia menjaga dirinya dan setia merawat dirinya.Â
Dan pada suatu ketika dia berlutut dalam kesunyian malam, merenungi nasib.
"Tuhan, apa yang akan terjadi setelah ini?" Dia bertanya sambil menikmati instrumen alam melalui binatang malam.Â
"Aku bersyukur kepadamu, karena telah membawa aku sejauh ini; melindungi aku, dan memberi anugerah berharga dalam hidupku. Aku sadar, bahwa di setiap persoalan pasti ada jalan keluar dan di balik derita pasti ada kebahagiaan. Terima kasih sudah membuat aku mengerti tentang hidup ini, terima kasih sudah membentuk aku menjadi pribadi seperti ini. Namun maafkan aku yang lemah ini, yang selalu berontak, selalu mengeluh dan kadang lupa waktu. Apakah aku masih pantas di hadapanmu?" Izora menangis tersedu-sedu.Â
"Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah ini, namun aku mohon berilah aku kekuatan agar aku mampu membebaskan diri dari penjara batin yang selalu menyiksaku karena rasa yang sama." Katanya sambil tersedu-sedu. Izora selalu demikian, dia menangis saat dia berdoa, air matanya selalu membasahi pipinya.
Itulah hari-hari Izora, dia menangis saat sendiri, tertawa saat bersama orang lain. Karena baginya, membawa kebahagiaan bagi orang lain adalah salah satu harapannya dalam hidup. Dia hanya ingin menjadi pribadi yang berguna, dan apabila dia mati, setidaknya sudah ada sesuatu yang dia lakukan bagi dunia atau bagi orang lain. Dan dengan berjalannya waktu, dia sudah terbiasa dengan semua keadaan. Dia menerima apapun yang terjadi dengan kalimat penyerahan diri kepada Tuhan; "Jadilah padaku menurut kehendakMu"Â
Tentang cita-citanya dia belajar untuk mengikhlaskan, baginya semua yang terjadi hanya sebatas pernah. Semuanya menjadi kenangan yang tersimpan di rak-rak ingatan. Dia tau suatu ketika akan kembali diingat yang membuat air matanya kembali berderai.Â
*************
Hari minggu dia dipertemukan dengan seorang pemuda. Setelah sekian lama dia berkutat dengan luka, dengan masa lalu akhirnya dia dipertemukan dengan seseorang. Dia tidak menyebut pertemuan itu hanya kebetulan namun suatu kepastian yang harus dia lalui. Satu hal yang harus diketahui tentang Izora adalah belum mengenal tentang cinta asmara atau berpacaran.Â
"Hai nona." Sapa pemuda itu sambil menatapnya
"Halo kak." Jawab Izora sambil tersenyum.Â
"Boleh berkenalan?" Tanya pemuda itu.
"Emmm boleh." Jawab Izora
"Fajar." Kata pemuda itu sambil mengulurkan tangan
"Izora." Jawab Izora sambil menyambut uluran tangan itu dan bersalaman.Â
Lalu mereka berjalan menuju pantai, mungkin ingin menikmati senja bersama. Izora tidak menyukai senja, tapi karena dia diajak oleh fajar maka dia tetap pergi.Â
"Namamu sangat bagus Izora. Apakah kau tau apa arti dari nama Izora?" Tanya Fajar sambil menatapnya
"Emmm tidak, Saya tidak tau kak." Jawab Izora sambil cengengesanÂ
"Lah kenapa tidak tau? Memangnya tidak pernah tanya kepada orang tua, mengapa kau dipanggil Izora?" Tanya fajar sambil tersenyum menatap IzoraÂ
"Hehehe belum pernah kak." Kata Izora sambil tersenyum menunjukkan giginya dan Fajar merasa gemes.Â
"Menurut yang saya baca, Izora itu adalah bahasa Arab yang artinya Fajar atau Subuh. Dan menurut saya itu memiliki makna kesejukan, hati yang sejuk, pikiran yang sejuk. Bisa juga diartikan dengan kehangatan, karena mentari bersinar. Kau harus bersyukur memiliki nama itu, kau gadis yang beruntung, rawatlah hati dan dirimu agar sesuai dengan arti dan makna dari namamu Izora."Â
Jelas Fajar panjang lebar, dan Izora mendengar dengan baik.
"Berarti arti dan makna nama saya dan kakak sama dong. Kan nama kakak Fajar. Wahhhh nama kita sama kak." Kata Izora sambil membelalakkan mata dan menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan dan fajar menatapnya sambil tersenyum dan mengangguk.Â
"Kak apakah pertemuan kita adalah sebuah kebetulan?"Â
"Menurut saya, ini bukan kebetulan tapi keharusan." Jawab FajarÂ
"Kenapa demikian?"Â
"Karena Tuhan yang menghendaki ini agar kita dipertemukan."Â
"Eh kita?"Â
"Ehm maksudnya kau dan saya."Â
Dan Izora memilih diam, dia berkutat dengan pikirannya sendiri. Tanpa ia sadari Fajar masih menatapnya sambil tersenyum. Senja melukis cakrawala, warnanya indah menghiasi pertemuan antara Izora dan fajar. Instrumen alam begitu syahdu bersama riuhnya ombak yang pecah di bibir pantai. Angin berhembus Sepoi dan suasana senja kali ini memang sangat indah bagi Izora dan fajar.
"Nona.." panggil Fajar menyadarkan Izora dari lamunannya
"Emm iya kak."Â
"Kau suka senja?"
"Tidak!"Â Â
"Kenapa tidak suka senja? Kau tau bahwa banyak wanita sepertimu yang menyukai senja."
"Karena saya bukan mereka kak."Â
"Apakah hanya itu alasanmu tidak menyukai Senja?"Â
"Emmm itu bukan alasan."Â
"Lalu apa alasanmu?"Â
"Saya belum menemukan apa alasan saya tidak menyukai senja."Â
"Apa yang kau suka?"Â
"Fajar." Jawab Izora menatap Fajar sambil tersenyum
"Hahahaha, kau menyukai saya?" Tanya Fajar sambil tertawa dan menaikkan alis matanya menatap IzoraÂ
"Idihhhhh dirimu kak, bukan kakak lah tapi Fajar, cahaya kemerahan di langit bagian timur menjelang matahari terbit." Jelas IzoraÂ
"Ohhhhhhh saya kira kau menyukai saya. Tapi kalo suka saya tidak apa-apa saya pun senang." Kata Fajar sambil menaik turunkan alisnya. Dan Izora hanya menatap Fajar.Â
"Lalu mengapa sekarang kau menikmati senja?"Â
"Karena kakak."Â
"Lah kenapa saya?" Tanya Fajar sambil menaikkan alis sebelah.Â
"Iya karena kakak yang ajak. Kakak orang pertama yang mengajak saya untuk menikmati senja."
"Mengapa kau menyukai Fajar?"Â
"Tidak ada jawaban untuk pertanyaan itu."
"Mengapa demikian?"Â
"Karena saya menyukai tanpa alasan, mencintai tanpa alasan."Â
"Seperti aku mencintaimu tanpa alasan, walaupun baru beberapa jam berada di sampingmu."Â
"Maksud kakak?" Tanya Izora sambil menatap FajarÂ
"Ehm tidak, mari kita pulang, hari sudah hampir malam."Â
"Baiklah." Jawab Izora sambil berdiri dan mengikuti langkah kaki Fajar.Â
"Saya akan mengantarmu."Â Â
"Tidak perlu."Â
"Kenapa?"Â
"Saya tidak mau merepotkan kakak. Eh kak fajar, bolehkah saya bertanya?" Tanya Izora membuat Fajar menolehÂ
"Ehm silahkan nona."Â
"Kakak orang baru di sini? Soalnya saya baru melihat kakak hari ini."
"Hhhhhh makanya jangan selalu di rumah nona, harus tau bergaul. Saya sudah satu tahun di sini. Dulu saya dibesarkan di kampung ibu, lalu kami pindah penduduk dan akhirnya menetap di sini untuk sementara."Â
"Eh untuk sementara? Berarti nanti pindah lagi?"Â
"Ehm sudahlah, ini sudah malam ayo pulang, kau kan tidak mau diantar."Â
"Emmm baiklah kak."Â
"Iya nona. Ohya besok saya ingin mengajakmu menikmati fajar."Â
"Emmm apakah kakak selalu bangun saat subuh?"
"Ehmm tidak."Â
"Lantas?"Â
"Jika untuk dan bersamamu akan ku'lakukan."Â
"Cissss."Â
"Serius."Â
"Pulanglah."
Dan mereka berpisah di persimpangan jalan. Hari mulai gelap, malam akan melenyapkan sinar dan menguasai bumi dengan gelapnya. Kicauan burung terdengar merdu, dan Izora mengayunkan langkah kakinya sambil mengingat kembali kejadian sepanjang hari ini. Dan ia fokus pada kalimat terakhir yang diucapkan Fajar sebelum mengajaknya pulang. Namun sesegera mungkin dia menepis pikiran itu.Â
*********************
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H