"Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah ini, namun aku mohon berilah aku kekuatan agar aku mampu membebaskan diri dari penjara batin yang selalu menyiksaku karena rasa yang sama." Katanya sambil tersedu-sedu. Izora selalu demikian, dia menangis saat dia berdoa, air matanya selalu membasahi pipinya.
Itulah hari-hari Izora, dia menangis saat sendiri, tertawa saat bersama orang lain. Karena baginya, membawa kebahagiaan bagi orang lain adalah salah satu harapannya dalam hidup. Dia hanya ingin menjadi pribadi yang berguna, dan apabila dia mati, setidaknya sudah ada sesuatu yang dia lakukan bagi dunia atau bagi orang lain. Dan dengan berjalannya waktu, dia sudah terbiasa dengan semua keadaan. Dia menerima apapun yang terjadi dengan kalimat penyerahan diri kepada Tuhan; "Jadilah padaku menurut kehendakMu"Â
Tentang cita-citanya dia belajar untuk mengikhlaskan, baginya semua yang terjadi hanya sebatas pernah. Semuanya menjadi kenangan yang tersimpan di rak-rak ingatan. Dia tau suatu ketika akan kembali diingat yang membuat air matanya kembali berderai.Â
*************
Hari minggu dia dipertemukan dengan seorang pemuda. Setelah sekian lama dia berkutat dengan luka, dengan masa lalu akhirnya dia dipertemukan dengan seseorang. Dia tidak menyebut pertemuan itu hanya kebetulan namun suatu kepastian yang harus dia lalui. Satu hal yang harus diketahui tentang Izora adalah belum mengenal tentang cinta asmara atau berpacaran.Â
"Hai nona." Sapa pemuda itu sambil menatapnya
"Halo kak." Jawab Izora sambil tersenyum.Â
"Boleh berkenalan?" Tanya pemuda itu.
"Emmm boleh." Jawab Izora
"Fajar." Kata pemuda itu sambil mengulurkan tangan
"Izora." Jawab Izora sambil menyambut uluran tangan itu dan bersalaman.Â