Mohon tunggu...
Erwin Alwazir
Erwin Alwazir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Karyawan Swasta

Rayakan Kata dengan Fiksi, Politik, Humaniora dan keluarga.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Latta dan Uzza

19 Juni 2020   15:10 Diperbarui: 19 Juni 2020   15:16 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belasan tahun lalu dia datang menemuiku untuk meminjam uang. Katanya, dia perlu tambahan modal agar bisnis roti warisan orang tuanya tidak gulung tikar. Dia mengaku enggan mencari pinjaman ke bank, selain urusannya rumit, dia khawatir tak mampu melunasinya kelak. Entah kenapa. Di dunia ini, dia merasa hanya akulah satu-satunya yang dapat dipercaya.

"Sulit mencari orang yang amanah, jujur dan dapat dipercaya. Saat otak menjadi buntu, bahkan Tuhan pun sulit dipercaya," ujarnya lalu mengekeh.

Tentu aku kurang sependapat dengannya. Dia lupa sedang bicara dengan seseorang yang sangat percaya Tuhan selalu memberikan apa yang diinginkan hamba-Nya. Tapi aku cepat memaklumi. Aku tahu persis kelakuannya sehari-hari. Agak susah diajak bercengkerama dengan sang Khalik. Tak begitu agamis. Suka menganggap remeh perkara akhirat, seolah-olah dia tak akan bertemu kata mati di keesokan hari.

Sebagai sahabat, aku pun bertanya tentang DIA sebelum tergerak membantunya.

"Kau percaya Tuhan itu ada?"

Dia menjawab santai. "Seharusnya aku percaya. Tapi aku tak tahu di mana rumah-Nya. Bisakah kau antarkan aku ke sana?" Kembali dia mengekeh.

"Maksudmu apa?"

"Maksudku, kalau kau tak bisa memberiku modal, tolong ajak aku menemui Tuhan, Aku ingin meminjam uang padanya. Setelah sukses, akan kukembalikan melebihi dari apa yang Ia pinjamkan." Tangannya menunjuk ke langit. Benar-benar menantang.

"Tapi kalau dia tak bisa memberi, aku akan meminjam pada tuhan yang lain." katanya, kini dengan mimik muka yang serius.

"Siapa?" selidikku.

Ya Latta, ya Uzza, ya Latta, ya Uzza....

Dia melagukan nama berhala itu berulang-ulang.

Aku agak kesal dan hanya istighfar mendengar senandungnya.

Sebagai teman sepermainan, akhirnya aku bicara seadanya, jika untuk saat ini aku tak memiliki simpanan. Semua harta bergerak sudah dialihkan untuk membangun pondok hafalan qur'an bagi warga yang kurang mampu. Dana yang sudah dialokasikan tak boleh berpindah walau selembar. Wasiat itu kuterima langsung dari Ayah beberapa bulan sebelum beliau berpulang.

Sebagai pelipur lara, aku membantu dia dalam bentuk lain.

"Ada motor usang peninggalan Ayah di gudang. Selama ini tak pernah kupakai. Kalau kau mau memperbaikinya, ambil saja. Manfaatkan saja untuk mendistribusikan rotimu. Itu lebih baik dari pada teronggok tak berguna di sini," saranku saat itu.

Dia menatapku dengan tajam Tapi setelah itu, dia melonjak girang dan menerimanya dengan wajah ceria. Aku bersyukur membuatnya sedikit bahagia. Juga gembira karena benda tak berguna itu segera menghilang dari pandangan mata.

Kami berpisah. Dia memeluk erat sebagai tanda perpisahan. Dia harus kembali ke kampung halaman, menunaikan janji pada kedua orang tua.

Aku sempat mempererat rangkulannya dengan sungkan. Aku merasa hidupku memang sial. Entah bagaimana ceritanya bisa berteman dengan seseorang yang sering meremehkan hakikat Tuhan. Lucunya, aku bukan balik membenci, malah membantunya tanpa berpikir panjang, belasan tahun silam.

###

Dunia berputar, kehidupan berbalik tanpa dikehendaki.

Sekarang dia sudah menjadi wiraswasta yang sukses. Usaha pembuatan rotinya menyebar di berbagai daerah. Karyawannya hampir ribuan. Dia juga memiliki ratusan hektar sawah di penjuru tanah air. Juga puluhan unit cabang usaha penghasil uang lainnya.

Aku sempat terheran-heran, kenapa usahanya bisa berkembang pesat. Rezeki dari langit seolah mengalir tanpa henti. Begitu baikkah Tuhan pada seseorang yang selalu kelu dalam menyebut nama-Nya? Kecurigaan lamaku tumbuh, jangan-jangan dia mendapat bantuan dari Latta dan Uzza dalam hidupnya, tuhan lain seperti yang pernah diucapkannya dahulu.

Bisa jadi. Setelah kutanya beberapa karyawannya, mereka memang tidak mengenalnya sebagai sosok yang religius.

"Apakah kalian pernah melihatnya sholat?"
Jawaban yang kudapat hanyalah gelengan kepala.

Dari karyawan lain aku mendapat informasi tambahan. Tiap bulan puasa tiba, ia selalu melanglang buana entah ke mana. Namanya juga tak ada dalam daftar pemberi zakat di tempat tinggalnya. Dia juga tak pernah terlihat memotong hewan qurban dan dibagikan pada karyawannya. Bahkan dengan setumpuk kekayaannya, dia tak pernah terdengar menunaikan ibadah haji.

Jelas bagiku, dia mendapat kekayaan dengan cara memberhalakan sesuatu. Entah seperti apa, aku tak tahu pasti. Yang jelas, kondisi ekonomi kami sekarang bertolak belakang. Dia naik pesat, sementara harta peninggalan orangtuaku terkuras habis saban tahun. Semua seolah berpindah padanya.

Yang tersisa hanyalah sehektar tanah cikal bakal berdirinya pondok Tahfizd di atasnya. Sayang, sampai sekarang belum juga terwujud.

Sejak mendengar kesuksesannya, aku merasa Tuhan tidak berpihak padaku. Tidak masuk diakal. Seseorang yang sering melecehkan nama-Nya seperti dia, diberi rezeki yang berlimpah ruah dari langit. Sementara aku yang selalu menyebut nama-Nya siang malam justru terlempar jauh ke bawah.

Aku merasa aneh dengan keberhasilannya. Aku tergerak ingin menemuinya. Aku ingin belajar tentang kesuksesan dan menguak rohaninya. Sekaligus meminta sumbangan untuk mewujudkan impian kedua orangtuaku mendirikan pondok Qur'an tersebut.

Dari salah seorang karyawannya aku mendapat nomor kontak. Setelah berkomunikasi dengan asisten pribadinya yang memegang nomor telepon, dia sendiri rupanya enggan berhubungan dengan siapapun lewat jalur ini, aku ingin menemuinya kamis malam. Tetapi asistennya merasa mustahil mengatur pertemuan di hari tersebut. Kutanyakan alasannya kenapa. Jawabaannya membuatku tercengang.

"Dia selalu melakukan ritual pribadi tiap malam jum'at. Insya Allah bisa bertemu nanti hari sabtu jam sepuluh di rumahnya."

Aku penasaran. Kulihat kalender sekilas, Kamis malam ini tepat malam jum'at kliwon. Ritual? Kecurigaanku makin menjadi. Dia memang memberhalakan sesuatu. Mungkin bersekutu dengan iblis!

"Bagaimana kalau habis Jum'atan?" Aku tak sabar untuk bertemu.

"Maaf, tidak bisa, Pak. Tiap jum'at dia selalu bepergian."
"Ke mana?"

Asistennya tersenyum.

"Bapak bisa tanya langsung padanya nanti. Maaf, saya tak bisa bicara lebih banyak."

Aku merasa kecewa. Namun akhirnya jadwal bertemu kuturuti juga.

###

Hari sabtu yang dijanjikan, aku sudah menunggu di teras istananya yang luas. Begitu megah. Empat patung harimau berdiri di setiap sudut gedung. Dinding rumah dipenuhi ukiran mistik berbentuk ular dan dihiasi oleh lukisan hewan lainnya. Sangat eksotis dan mistis. Aku makin curiga dia telah ber-tuhan pada Latta dan Uzza seperti katanya dulu.

Profesi dia selaku pedagang roti sukses sangat mirip dengan Latta, seorang penjual roti berhati dermawan di masa Rasul dan kemudian dijadikan berhala oleh orang-orang pada masa itu setelah meninggal. Uzza, setahuku dia seorang perempuan yang berwajah menyeramkan dan berkulit hitam.

Keyakinanku dia bersekutu dengan iblis makin bertambah setelah bertemu dengan istrinya. Wajah istrinya biasa-biasa saja. Tapi kulitnya hitam. Uzza?

Ya Tuhan, aku merinding melihat fenomena ini.

Setelah sekian lama menunggu dengan perasaan tak menentu, dia datang dengan sepeda motor yang kuberikan dulu. Aku tercenung. Terlintas kekaguman padanya. Sepeda motor berusia belasan tahun itu terlihat awet. Tampaknya dia sangat telaten menjaga sebuah pemberian. Pastilah Ayahku di alam kubur sana bahagia melihat warisannya bermanfaat bagi orang lain, bukan bagiku. Di titik ini aku ada sedikit penyesalan kenapa dulu tidak menjaga dengan baik peninggalannya

Di tengah kekagumanku, dia lantas memeluk erat. Air matanya menetes. Setelah basa basi sebentar, dia menuntunku ke ruang kerjanya yang luas dan dipenuhi dengan kaligrafi Al-Qur'an. Aku takjub dan merasa berada di tempat yang paling damai.

Dari luar penampilan istananya mungkin terkesan jahiliyah, tetapi di dalam sini penuh dengan keagungan. Semua seperti mencerminkan apa yang dalam hatinya.

Sambil menahan gelisah aku bertanya dengan canggung.

"Kau percaya Tuhan itu ada?"

Pertanyaan belasan tahun silam kembali kuulang. Dia tersenyum.

"Seharusnya aku percaya."

Dia mengambil sesuatu dari koper dan menaruh segepok uang di meja kerjanya, persis dihadapanku.

"Tapi Tuhan bukan di sini," katanya menunjuk uang dihadapanku.

"Tuhan itu di sana." Dia menunjuk ke atas.

"Bisa juga di sini," ujarnya menunjuk dada

"Dan juga di sini." Dia menunjuk kepalanya.

Aku terdiam.

"Boleh aku tahu, ritual apa yang kau lakukan tiap malam jum'at? Kenapa kau selalu menghilang di hari dan bulan yang baik?"

"Ketika manusia mendekatkan dirinya pada syetan di satu malam, aku memilih mendekatkan diriku pada sang Khalik di semua malam. Itulah kebiasaanku sejak muda."

Dia lalu berdiri, memandang ke atas, berputar seperti gasing sambil bicara.

"Di hari yang mulia, aku selalu mengetuk rumah-Nya, mendatangi IA dari satu menara ke menara yang lain, Begitu juga saat ramadhan tiba. Aku mengembara dari masjid ke masjid. Membantu sesuai kemampuanku. Aku juga mengunjungi pekerjaku, membayar zakat pada mereka yang tak mampu. Mengirm qurban di tanah penderitaan, memberikan sesuai kadar tertentu. Heh... bukankah aku pernah berkata, aku akan mengembalikan semua pinjaman dari Tuhan yang dititipkan padamu lewat motor pemberian itu?"

Dia terus berputar dan berkhotbah, berputar dan berkhotbah. Kata-katanya makin lama makin tajam.

"Jangan pernah menilai manusia menurut prasangkamu, kawan. Jangan pernah mengukur keburukan orang lain dengan kebaikan dirimu. Jangan pernah menilai siapa yang pasti mendapat siksa di alam kubur sebelum engkau ke sana. Jangan... Jangan..."

Jangaaaan....

Jiwaku yang lelah merasa tercabik mendengarnya. Air mataku bercucuran. Persendianku melemah. Semua ucapan yang keluar dari mulutnya membuat hatiku remuk.

Aku merasa malu karena hanya mengenal Tuhan sebatas lisan. Aku merasa bersalah karena hanya menilai keburukan seseorang yang tampak di permukaan tanpa menyelami dasarnya

Aku tak mensyukuri semuanya, tak menjaga titipan kedua orang tuaku. Bukan menambahi hingga lebih baik, malah mengurangi hingga menjadi buruk. Aku lalai dan tidak amanah.

Ya Allah... duniaku seolah gulita. Orang tuaku mungkin merasa sedih di alam sana. Wasiat mereka agar aku menjaga apa yang ditinggalkan telah terabaikan.

Dengan mata berkunang, kulihat dia masih berputar-putar. Khotbahnya kian menggelegar. Aku menjadi limbung, jatuh dan tak mengingat apa-apa lagi.

###

Beberapa hari kemudian, seseorang mengirim cek padaku. Nominalnya membuatku terkejut : satu milyar rupiah.

Sepucuk pesan tertuju padaku.

[Dariku untuk rumah Tahfizh-mu]

Aku bersujud di tanah yang basah air mata, berharap Tuhan membuang jauh Latta dan Uzza dalam aliran nafasku. Memusnahkan semua berhala lain yang mungkin bersemayam dalam imanku.

###

E@110620

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun