Setelah sekian lama menunggu dengan perasaan tak menentu, dia datang dengan sepeda motor yang kuberikan dulu. Aku tercenung. Terlintas kekaguman padanya. Sepeda motor berusia belasan tahun itu terlihat awet. Tampaknya dia sangat telaten menjaga sebuah pemberian. Pastilah Ayahku di alam kubur sana bahagia melihat warisannya bermanfaat bagi orang lain, bukan bagiku. Di titik ini aku ada sedikit penyesalan kenapa dulu tidak menjaga dengan baik peninggalannya
Di tengah kekagumanku, dia lantas memeluk erat. Air matanya menetes. Setelah basa basi sebentar, dia menuntunku ke ruang kerjanya yang luas dan dipenuhi dengan kaligrafi Al-Qur'an. Aku takjub dan merasa berada di tempat yang paling damai.
Dari luar penampilan istananya mungkin terkesan jahiliyah, tetapi di dalam sini penuh dengan keagungan. Semua seperti mencerminkan apa yang dalam hatinya.
Sambil menahan gelisah aku bertanya dengan canggung.
"Kau percaya Tuhan itu ada?"
Pertanyaan belasan tahun silam kembali kuulang. Dia tersenyum.
"Seharusnya aku percaya."
Dia mengambil sesuatu dari koper dan menaruh segepok uang di meja kerjanya, persis dihadapanku.
"Tapi Tuhan bukan di sini," katanya menunjuk uang dihadapanku.
"Tuhan itu di sana." Dia menunjuk ke atas.
"Bisa juga di sini," ujarnya menunjuk dada