Belasan tahun lalu dia datang menemuiku untuk meminjam uang. Katanya, dia perlu tambahan modal agar bisnis roti warisan orang tuanya tidak gulung tikar. Dia mengaku enggan mencari pinjaman ke bank, selain urusannya rumit, dia khawatir tak mampu melunasinya kelak. Entah kenapa. Di dunia ini, dia merasa hanya akulah satu-satunya yang dapat dipercaya.
"Sulit mencari orang yang amanah, jujur dan dapat dipercaya. Saat otak menjadi buntu, bahkan Tuhan pun sulit dipercaya," ujarnya lalu mengekeh.
Tentu aku kurang sependapat dengannya. Dia lupa sedang bicara dengan seseorang yang sangat percaya Tuhan selalu memberikan apa yang diinginkan hamba-Nya. Tapi aku cepat memaklumi. Aku tahu persis kelakuannya sehari-hari. Agak susah diajak bercengkerama dengan sang Khalik. Tak begitu agamis. Suka menganggap remeh perkara akhirat, seolah-olah dia tak akan bertemu kata mati di keesokan hari.
Sebagai sahabat, aku pun bertanya tentang DIA sebelum tergerak membantunya.
"Kau percaya Tuhan itu ada?"
Dia menjawab santai. "Seharusnya aku percaya. Tapi aku tak tahu di mana rumah-Nya. Bisakah kau antarkan aku ke sana?" Kembali dia mengekeh.
"Maksudmu apa?"
"Maksudku, kalau kau tak bisa memberiku modal, tolong ajak aku menemui Tuhan, Aku ingin meminjam uang padanya. Setelah sukses, akan kukembalikan melebihi dari apa yang Ia pinjamkan." Tangannya menunjuk ke langit. Benar-benar menantang.
"Tapi kalau dia tak bisa memberi, aku akan meminjam pada tuhan yang lain." katanya, kini dengan mimik muka yang serius.
"Siapa?" selidikku.