"Aku ingin jadi orang baik, Bu."
"Cuma baik saja?"
"Baik dan bisa membantu bapak, dan ibu, juga adik, dan masyarakat, dan bangsa, dan agama."
Kata Mamat yang kemudian berlari keluar rumah mengakhiri perbincangan ringan dengan ibunya di dapur. Ia masih TK, dan senantiasa berpeci hitam di kepalanya. Peci atau kopiah ini akan dilepas bila ia mandi, dan tidur saja. Selebihnya dikenakan kapanpun dan di manapun.
Peci ini hadiah dari tetangganya, Neneng.
Neneng bukan anak gadis, tapi ia sebaya dengan Mamat, Tidak satu sekolah TK, tapi karib sekali. Hadiah peci diberikan pada Mamat saat ia tidak sengaja dibantu olehnya. Ketika itu dompet pinsil berwarna yang dipunyai Neneng jatuh di jalan , tapi kemudian direbut begitu saja oleh Joni. Joni tetangga pula, namun nakal untuk anak seusianya.
Mamat kemudian mengejar Joni, dan direbutnya dompet itu, meski didahului adu mulut hingga tarik menarik, plus sedikit baku pukul. Joni lari, sebab pukulan Mamat bertenaga mengenai dagunya tanpa sengaja.
Karena itu, ia ingin menghadiahi Mamat, dan ia pun membuka kaleng yang biasa dipakai untuk memasukkan sisa uang jajannya. Ia meminta tolong pada kedua orang tuanya untuk membelikan hadiah tersebut.
"Mau dihadiahi apa?" tanya ibunya.
"Apa ya?"
"Bagaimana kalau peci saja. Sebab Mamat kan rajin mengaji."
Neneng kecil setuju, lalu dibelikan, dan kemudian diserahkan peci itu pada Mamat.
Kata Neneng, "jangan lupa selalu dipakai pecinya ya."
***
Sejak itu peci hitam seakan menjadi barang keramat bagi Mamat. Bahkan menginjak remaja pun peci itu masih dikenakannya, meski dengan sedikit modifikasi. Sebab ukuran kepala Mamat sudah tidak kecil lagi.Â
Namun sangat disayangkan, Neneng sudah tidak menjadi tetangganya lagi. Begitu pula Joni. Mereka pindah keluar kota mengikuti dinas orang tuanya.
Di saat remaja ini, setingkat sekolah menengah atas, Mamat aktif mengikuti kegiatan bela diri silat. Ia sangat menguasai akhirnya. Bagi orang tua, dan adiknya, Mamat sudah dianggap sebagai perisai hidup yang ringan tangan, dan siap membantu kapanpun dibutuhkan. Begitu juga dengan lingkungan tempatnya bermukim.
Namun naas bagi Mamat, 15 tahun kemudian, orang tua, dan adiknya yang perempuan itu meninggal dunia akibat terkena peluru nyasar peristiwa perampokan di toko emas di dekat pasar.Â
Mamat yang periang kemudian menjadi pendiam setelah peristiwa itu. Ia ikuti kabar dari media massa, juga perburuan pihak kepolisian terhadap pelaku, namun takkunjung ada penyelesaian. Para perampok yang diberitakan menggasak tiga kilogram emas dari toko perhiasan seperti lenyap ditelan bumi.
Mamat sendiri sekarang. Ia dihantui rasa bersalah karena dianggap tidak bisa melindungi keluarganya. Ia tinggalkan rumah orang tuanya untuk kemudian berkelana, tanpa tujuan.
Ia tinggal di emperan pasar, di terminal, kadang-kadang di surau yang ditemui. Pecinya sudah mengalami perubahan warna. Tidak lagi hitam mengkilat, tapi lecek, dan kusam. Tapi ia tetap kenakan, sebab ingatannya tentang Neneng masih ia simpan.
Mamat, entah apa yang ada dipikirannya. Ia tetap menjadi pribadi yang tenang, namun sangar kemudian. Bila diusik sedikit tangannya melayang. Entah di pasar, di terminal, di taman, atau di mana pun ada yang usil, dan nekad berbuat jahat padanya ia habisi seketika hingga babak bonyok.
Namanya mulai dikenal setelah seorang nenek di pasar telah dijambret kalungnya. Cepat sekali selintas bergerak seperti bayangan, oleh seorang anak muda. Anak muda gondrong ini kemudian menyerahkan kalung itu pada seorang tinggi besar, bertato, dan gundul di sudut lapak kosong di lantai dua pasar. Ia buntuti mereka.
Di lantai dua itu ia langsung saja meminta agar kalung itu dikembalikan pada nenek tersebut. Bukannya menuruti, si gundul malah mencoba menghantam Mamat dengan sebatang besi yang dipegangnya.
Mamat berkelit, dan membalas dengan dua kali pukul hingga si Gundul terjerembab. Namun ia bangun lagi. Si Gundul mengeluarkan pisau belati dari balik bajunya. Ia menghunus, tapi Mamat tetap tenang. Mamat menunggu serangan.
Si Gundul menyerang dengan tikaman membabi buta. Mamat cepat lompat sana lompat sini menghindar, seraya menunggu kesempatan Gundul lengah.
Di satu kesempatan Mamat menyergapnya, ia lalu piting si Gundul, dan membantingnya. Pisau itu lepas. Mamat dengan kedua kepalan tangannya kemudian mondar mandir di wajah si Gundul sampai semaput, dan pingsan. Sementara si anak muda tadi cuma melongo saja melihat si Gundul takberdaya.
"Kamu kembalikan kalung ini pada nenek itu sekarang. Setelah itu kembali lagi ke sini. Coba-coba lari, saya bunuh kamu nanti,"tegas Mamat pada si anak muda itu tanpa syarat.
Ia pun gegas. Untungnya nenek itu masih dikerumuni orang-orang di pasar. Ia serahkan kemudian kalung itu dengan segala macam alasan. Kerumunan itu pun bubar tanpa syak wasangka. Nenek juga sudah tenang kembali.
Setengah jam kemudian si Gundul siuman. Siuman oleh bau pesing dari air seni Mamat yang dipindahkan ke dalam botol minuman arak yang dipunyai si Gundul. Anak muda itu yang diminta Mamat untuk mengguyurnya.
Baru siuman ia murka oleh bau itu sembari hendak bangkit, dan berdiri.
"Bangsat! Siapa yang berani mengguyur air kencing ini ke muka saya, "katanya seolah baru bangun dari mimpi.
Mamat langsung menendang keras wajah si Gundul yang akhirnya sadar seratus persen.
"Ampun, Bang. Ampun!"
Mulai dari situ keduanya patuh, dan siaga pada mamat. Keduanya kian akrab, dan memanggil Mamat, dengan julukan "Mat Peci".
Mereka mulai pilih-pilih sasaran, dan target kejahatannya. Tidak sembarang, dan acak, meski masih tinggal di selasar pasar tersebut. Namun operasinya menjadi teratur dan terarah.Â
Tidak hanya di pasar, dan terminal saja. Mamat, dan keduanya menganeksasi wilayah hingga ke tempat-tempat yang selama ini menjadi wilayah operasi  yang diduduki penjahat lainnya. Para penjahat dan preman lainnya itu sebagian menyerah, sebagian lain bersinergi.
Yang sinergi ini, rata-rata menyerahkan separuh jatah hasil parkir liar padanya, entah dari parkir di swalayan, di jalan depan pengadilan, atau depan kantor swasta maupun pemerintah, juga di trotoar yang sudah lebar, dan lahan lain yang sekiranya bisa jadi parkir kendaraan, baik motor maupun mobil. Â Plus lahan kosong yang statusnya sedang sengketa.
***
Karena namanya sudah tenar, maka ia sekali waktu diundang untuk hadir pada suatu pesta dadakan seorang tokoh organisasi. Di situ ia bisa berinteraksi langsung dengan orang-orang dari beragam latar belakang.
"Bangsat ini jadi kaya gara-gara merampok emas tiga kilo dulu. Baru tahun kemarin hasil kejahatannya itu dijual. Pantesan mewah pesta ini," kata seorang yang tidak dikenal di sampingnya membuka perbincangan pada Mamat.
"Maksudnya?" tanya Mamat menimpali seakan tidak percaya.
"Emas itu ditimbun entah di mana. Diburu kepolisian juga lolos. Anak buahnya tiga orang sudah mati lima hari setelah peristiwa perampokan di pasar itu. Dulu sekali. Hingga dilupakan orang"
Mamat bergidik mendengarnya. Detail peristiwa itu masih ia ingat. Peristiwa dulu masih mengendap dalam pikirannya. Orang yang ia tidak kenal terus saja mengisahkan hingga rinci, dan membuat Mamat menjadi yakin.
"Siapa namanya?" tanya Mamat.
"Joni Picek!"
***
Tiga hari usai pesta itu, Mamat sendiri membuntuti Joni Picek ke manapun ia pergi. Ia selalu dikawal oleh tiga anak buahnya.
Di suatu malam, dan di tempat dugem yang temaram, hanya cahaya laser yang menyorot ke semua sudut ruang, Â Mamat datangi Joni yang tengah gedek-gedek kepalanya di dekat dua wanita malam di kanan kirinya. Di sekitarnya tiga anak buah Joni yang siaga, seperti di film-film buatan Bollywood.
Mamat membisikkan sesuatu pada salah satu anak buahnya Joni agar ia bisa mendekat, yang seketika itu juga disetujui. Bukan apa-apa seketika disetujui, sebab anak buah Joni ini juga adalah anak buah Mamat didikan si Gundul dulu.
Mamat kemudian santun mengucapkan salam padanya. Joni diam tidak membalas. Ia perhatikan lekat wajah Mamat yang ia merasa mengenalinya.
"Aku seperti mengenal Anda. Kalau betul itu, Â Anda pasti Mamat yang suka pakai songkok hitam saat kecil dulu."
"Dan, kau Joni yang pernah aku pukul hingga kabur terbirit-birit."
Joni terbahak mendengarnya. Mereka tampak akrab kemudian. Joni mengira Mamat ingin bergabung dengan organisasinya. Sebab nama Mamat sempat didengarnya sebagai bajingan juga.Â
Namun meleset, di tengah perbincangan Mamat justru menyinggung soal peristiwa perampokan bersenjata api dulu. Joni tersentak. Kasus itu sudah ia lupakan. Tapi akhirnya ia mau tidak mau mengisahkan peristiwa tersebut supaya Mamat bisa segan padanya. Atau bahkan takut.
"Ya, satu orang pemilik toko mati, tiga lainnya terkena peluru nyasar. Entah mereka hidup atau mati,"tuturnya bangga seraya meneguk minuman keras.
"Berapa kilo emas yang dirampok?"
"Cuma tiga kilo saja."
Merasa terkonfirmasi dari pengakuan itu, Â Mamat berseru keras" tiga orang itu mati, dan mereka bapak, ibu, dan adik saya!" dan, ia hujamkan pisau belati ke jantung Joni tanpa basa basi seketika itu juga.
Joni mati  kemudian dengan mata mendelik di dekatnya, dan kedua anak buahnya mati pula ditembak anak didik si Gundul secara bersamaan. Eksekusi malam itu sudah dipandang tepat olehnya, dan usai. Dendamnya pun tunai.
Mamat menjadi buronan sekarang. Buronan organisasi, juga polisi.
Namun sebagai buronan, bukannya sadar, Â ia malah semakin brutal. Hingga saatnya pihak kepolisian menangkap Mamat usai satu minggu merampok toko emas di suatu kota yang jauh dari tempat ia biasa melakukan kejahatannya.
***
Pada sidang pengadilan di kota ini, ia divonis mati oleh majelis hakim di mana ketua majelis hakimnya seorang wanita yang sebaya dengannya. Ia Neneng SH MH.
Mamat mengenali, namun Neneng tidak. Di saat Mamat diminta oleh hakim untuk bicara usai vonis itu, Mamat pun bicara singkat, dan tidak perlu lagi didampingi oleh pengacara yang disiapkan negara.
Ia bicara, dan mengakui semua dakwaan Jaksa atas perbuatannya. Ia pun meminta kepada majelis hakim untuk diperkenankan menghadap guna menyerahkan sesuatu yang barangkali bisa dipandang sebagai bukti baru.
Ia pun diizinkan dengan dikawal dua orang petugas kepolisian, dan pengacaranya.
Mamat kemudian melepas peci hitam yang dikenakannya, dan menyerahkan pada Neneng yang tertegun, dan tidak lagi bisa berkata apa-apa. Jauh di lubuk hatinya, ia masih ingat peci hitam tersebut.
"Ini hanya bukti kenangan yang masih saya simpan, dan saya kembalikan peci ini pada ibu Ketua Majelis Hakim," kata Mamat singkat yang diikuti wajah keheranan dari semua yang hadir di sidang pengadilan tersebut. Kecuali Neneng.
Demikianlah cerita ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H