"Ampun, Bang. Ampun!"
Mulai dari situ keduanya patuh, dan siaga pada mamat. Keduanya kian akrab, dan memanggil Mamat, dengan julukan "Mat Peci".
Mereka mulai pilih-pilih sasaran, dan target kejahatannya. Tidak sembarang, dan acak, meski masih tinggal di selasar pasar tersebut. Namun operasinya menjadi teratur dan terarah.Â
Tidak hanya di pasar, dan terminal saja. Mamat, dan keduanya menganeksasi wilayah hingga ke tempat-tempat yang selama ini menjadi wilayah operasi  yang diduduki penjahat lainnya. Para penjahat dan preman lainnya itu sebagian menyerah, sebagian lain bersinergi.
Yang sinergi ini, rata-rata menyerahkan separuh jatah hasil parkir liar padanya, entah dari parkir di swalayan, di jalan depan pengadilan, atau depan kantor swasta maupun pemerintah, juga di trotoar yang sudah lebar, dan lahan lain yang sekiranya bisa jadi parkir kendaraan, baik motor maupun mobil. Â Plus lahan kosong yang statusnya sedang sengketa.
***
Karena namanya sudah tenar, maka ia sekali waktu diundang untuk hadir pada suatu pesta dadakan seorang tokoh organisasi. Di situ ia bisa berinteraksi langsung dengan orang-orang dari beragam latar belakang.
"Bangsat ini jadi kaya gara-gara merampok emas tiga kilo dulu. Baru tahun kemarin hasil kejahatannya itu dijual. Pantesan mewah pesta ini," kata seorang yang tidak dikenal di sampingnya membuka perbincangan pada Mamat.
"Maksudnya?" tanya Mamat menimpali seakan tidak percaya.
"Emas itu ditimbun entah di mana. Diburu kepolisian juga lolos. Anak buahnya tiga orang sudah mati lima hari setelah peristiwa perampokan di pasar itu. Dulu sekali. Hingga dilupakan orang"
Mamat bergidik mendengarnya. Detail peristiwa itu masih ia ingat. Peristiwa dulu masih mengendap dalam pikirannya. Orang yang ia tidak kenal terus saja mengisahkan hingga rinci, dan membuat Mamat menjadi yakin.