Neneng kecil setuju, lalu dibelikan, dan kemudian diserahkan peci itu pada Mamat.
Kata Neneng, "jangan lupa selalu dipakai pecinya ya."
***
Sejak itu peci hitam seakan menjadi barang keramat bagi Mamat. Bahkan menginjak remaja pun peci itu masih dikenakannya, meski dengan sedikit modifikasi. Sebab ukuran kepala Mamat sudah tidak kecil lagi.Â
Namun sangat disayangkan, Neneng sudah tidak menjadi tetangganya lagi. Begitu pula Joni. Mereka pindah keluar kota mengikuti dinas orang tuanya.
Di saat remaja ini, setingkat sekolah menengah atas, Mamat aktif mengikuti kegiatan bela diri silat. Ia sangat menguasai akhirnya. Bagi orang tua, dan adiknya, Mamat sudah dianggap sebagai perisai hidup yang ringan tangan, dan siap membantu kapanpun dibutuhkan. Begitu juga dengan lingkungan tempatnya bermukim.
Namun naas bagi Mamat, 15 tahun kemudian, orang tua, dan adiknya yang perempuan itu meninggal dunia akibat terkena peluru nyasar peristiwa perampokan di toko emas di dekat pasar.Â
Mamat yang periang kemudian menjadi pendiam setelah peristiwa itu. Ia ikuti kabar dari media massa, juga perburuan pihak kepolisian terhadap pelaku, namun takkunjung ada penyelesaian. Para perampok yang diberitakan menggasak tiga kilogram emas dari toko perhiasan seperti lenyap ditelan bumi.
Mamat sendiri sekarang. Ia dihantui rasa bersalah karena dianggap tidak bisa melindungi keluarganya. Ia tinggalkan rumah orang tuanya untuk kemudian berkelana, tanpa tujuan.
Ia tinggal di emperan pasar, di terminal, kadang-kadang di surau yang ditemui. Pecinya sudah mengalami perubahan warna. Tidak lagi hitam mengkilat, tapi lecek, dan kusam. Tapi ia tetap kenakan, sebab ingatannya tentang Neneng masih ia simpan.
Mamat, entah apa yang ada dipikirannya. Ia tetap menjadi pribadi yang tenang, namun sangar kemudian. Bila diusik sedikit tangannya melayang. Entah di pasar, di terminal, di taman, atau di mana pun ada yang usil, dan nekad berbuat jahat padanya ia habisi seketika hingga babak bonyok.