Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Aku Tidak Tahu, Mengapa Tulisanku Sulit Dipahami?

30 Juli 2024   12:33 Diperbarui: 30 Juli 2024   13:10 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ermansyah R. Hindi - Dokpri

Sebelum saya mulai utak-atik catatan ini, mungkin ada baiknya saya mengutip satu atau dua pertanyaan saja dari teman. ”Kak, kapan tulisannya dicetak jadi buku?” ”Tulisan kakak punya tingkat kesulitan yang tinggi?” ”Sulit sekali dipahami, begitu gumanku.” Kita membayangkan seseorang yang sedang mengalami kerasukan roh halus, maka yang pertama kali terlintas dalam pikiran, yaitu ada kekuatan jahat merasukinya. 

Kita mulai dari titik ini. Saya mengingat kembali tulisan Nietzche tentang melampaui 'baik' dan 'jahat'.

Di luar tulisan, pengalaman dan cita rasa bukanlah asal-usul sebuah panandaan, melainkan tanda ratapan ringan di balik kesenangan. Lebih dari itu, dunia tanda tidak lain adalah perbedaan.  

Hasrat untuk mengetahui dan hasrat untuk bermain, berbicara, mencatat, dan meratakan jejak-jejak, lalu membuat jejak-jejak yang lain. Hal-hal yang dianggap masuk akal dari obyek-obyek atau citra-citra sebagai cara untuk melihat rangkaian perbedaan tanda. 

Kemudian, tanda berupa tanda hasrat dan tanda ekspresi melalui tubuh diboboti dengan permulaan untuk menahan godaan, yang diarahkan pada saat lengang.

Kegemaran pada tanda sedang mengintai di setiap saat. Pada satu titik celah, seseorang yang berada di ruang gelap tidak menanti seberkas cahaya. Yang ’tergoda’ tertawa karena cahaya ada karena disandingkan dengan kegelapan.

Dalam ruang tertentu, seseorang akan dikelilingi dengan garis, warna, dan bentuk tertentu di atas permukaan benda-benda dimana kita akan hasrat untuk pengetahuan dilahirkan. Muncul dari kegemaran atas teks melalui tubuh saat kita belum berada di tengah hasrat untuk pengetahuan. Sementara, suatu tubuh yang beragam menopang kesenangan yang juga beragam. 

Jadi, hasrat untuk pengetahuan dan kegemaran sebagai relasi tanda.

Bukan materialisasi hasrat melalui citra-tubuh modal karena menerobos permukaan tubuh. Mengambil sebuah contoh, ada seorang perokok terjerumus kedalam permainan estetika menuju puncak kenikmatan. Bukan hanya memendam prinsip pengetahuan, tetapi dia juga menyatakan prinsip kesenangan. Digelutinya sepanjang pengaruhanya menjadi obyek selera, melainkan juga memenuhi prinsip toleransi sepanjang hal tersebut berkaitan dengan tindakan seseorang pada pihak yang tidak merokok.

Kita melihat dengan bentuk penangkapan indera kita, tetapi pikiran kita yang memediasi keterbukaan akan dampak samping dari puncak kenikmatan itu sendiri. Pada dasarnya, dunia luar yang digumuli menimbulkan tanda awal, seperti tidak mungkin ada sesuatu menghasilkan tanpa sesuatu hirarki yang dihasilkan (kenikmatan, pabrik, dan petani tembakau) dalam tatanan hasrat. 

Ada kenikmatan metropolis menghidupkan semacam ”mesin tanda.” Pabrik melambangkan atau menandakan reproduksi khayalan; petani tembakau sebagai lubang keintiman dari para penguap bentuk-bentuk nyata.

Tubuhi berlangsung hingga dia (si perokok) menyerap dan melepaskan. Apakah terlepas dari cara teknologi atau aliran produksi selera (secara ontologis)? Agen perantara kenikmatan (petani) juga menjadi pendaur ulang kedua setelah tubuh dan kenikmatan (gairah puba) sebagai pendaur ulang pertama. Mereka tidak lagi menggunakan lagi gaya metaforis dalam kerja dadakan. Itulah penjelmaan ilusi kenikmatan selama ini. Ilusi merupakan teknik perangsangan bagi kausalitas kenikmatan melalui rokok, kepatuhan atas peraturan dan pelarangan. Kenikmatan tidak mampu menampung sesuatu hal yang berlawanan dengan peraturan atau pelarangan rokok.

Misalnya, para pecandu rokok, bukan karena tidak memiliki daya beli. 

Tetapi, mereka telah terjebak dengan nilai tanda kenikmatan, yang mereka sendiri tidak mengetahuinya asal muasal dan tujuannya.

Mereka kemudian mengetahui, bahwa kehendak murni praktis dari si perokok, yang dapat meneror kesehatan. Seorang pecandu rokok bisa saja menghancurkan dirinya sendiri, sekalipun tanpa ada peraturan atau pelarangan. Ia membutuhkan kelahiran kembali daripada mengeluarkan biaya, dan mengorbankan kealamiaannya untuk tidak berada dalam ruang kosong sampai kedalaman kejahatan kita sendiri mengambil permukaan paling berbeda?

Dari tubuh, ia menunjukkan suatu lompatan panjang yang berhenti di depan jurang yang dalam antara nafsu dan pembacaan. Melalui sisi terang dari nafsu dan sebuah permainan untuk menyingkap wajah yang bloon dan payah.

Sekali kedalaman nafsu dan citra terbungkus dalam fragmen dibuat lebih menarik dibanding pikiran yang mengaburkan jejak-jejaknya melalui tubuh. Dari suatu cara keluar dari perangkap fantasi dan kenikmatan yang melelahkan.

Lain lagi, penciuman terhadap obyek bau yang tajam, godaan dan suara melebihi kekerasan nalar. Apa yang kita lihat tentang keluguan orang-orang tetapi bergairah tinggi (seperti petani atau kaum nestapa) berbeda dengan penciuman dari orang-orang yang haus kemuliaan. Keluguan adalah nyanyian sunyi tumbuh diantara gairah diri, meledak diluar nilai kemuliaan.

Berbeda dengan upaya yang tidak diukur dengan benda-benda, maka mengubur kelesuhan jiwa, menguapnya hasrat, dan melaratnya mimpi, berakhir ketika ruang benda-benda dan citra cermin mengambil tempat yang tidak dapat melepaskan dirinya dari pengurungan ringan dari fragmen besar manusia begitu rawan tetap banyak belajar tentang dirinya. 

Bahwa ia dianugerahi jiwa yang tersembunyi selain ketajaman penciuman. Jiwanya telah ditiupkan suatu semangat untuk mengenal lebih dekat dirinya melalui ketidakadiran makna dari ’petanda transendental’. Semakin banyak jenis binatang dinamai, maka tidak akan sama dengan  rahasia ruang kehidupan.  Betapa sangat ”nyata,” tubuh menjadi titik tolak bagi citra, halusinasi, dan dengan benda-benda yang mengeliling kita.

***

Melalui sebuah perpaduan alamiah, nama binatang memiliki pergerakannya sendiri, tetapi manusialah yang mengejar bayangan binatang.

Bukankah makan, bercumbu hingga berkelahi atau membunuh merupakan tabiat manusia yang sama dengan binatang?

Dalam pemikiran  modern, ada sekawanan binatang memasuki relung-relung jiwa ketika kita lengah sedikitpun. Binatang buas dilepaskan dalam diri kita setelah kita terbangun dari mimpi buruk, yang tidak ada lagi tatapan ke binatang-binatang yang mengagumkan penampilannya bagi khayalan. 

Hal-hal yang esensial bercampur-aduk dan saling memisahkan dirinya ketika kita kembali kepada rahasia takdir. 

Nah, memang penulisan subversif atas tubuhnya sendiri. Satu-satunya inti pengingkaran tubuh adalah hasrat ekonomi dalam taraf pembacaan.

Di sinilah, satu hal yang perlu diperhitungkan menyangkut keindahan dan pengetahuan tidak lain adalah ketidakpuasannya pada kondisi apapun, oleh karena seni erotis membekalinya untuk senantiasa berpikir kejam, sekalipun dia tidak menghembus-hembuskan keindahan dibentuk oleh musik, seni rupa dan citra tubuh  secara luas dari sesuatu dianggap abstrak kembali terasa pahit dan cekung.  

Dari pelajaran tentang khayalan, maka ketidakpuasan pikiran manusia itulah menandakan kekuatan-kekuatan ”demonik” menghilang dan muncul kembali dari Descartes sampai Popper. Ingar-bingar pikiran tidak berhenti sampai di teks atau manuskrip setelah ”bulan madu” memulai titik permulaan ’Zaman Hasrat’. 

Dari sini, dimulailah tulisan di layar, di era medsos atau era Artificial Intelligence. Semuanya mengalir dari hubungan timbal balik; ia saling mengisi dan saling menopang. Alirang tulisan dan aliran hasrat, aliran modal dan aliran darah saling terjalin kelindang. Dalam hasrat, ia selalu berhadapan dengan sintesa, bukan analisis, karena analisis lebih meyakinkan pembujukan pikiran dan sintesis lebih bercorak fenomena nafsu dan tubuh.

Kini, melihat suatu gairah tubuh yang fantastis dan rapuh.  Berdasarkan hirarki ujaran dan sedikit dusta di hadapan tanda sebagai prasyarat dari suatu ’tubuh yang direnungkan’. Berlainan dengan proses perkembangan nafsu di bawah permukaan citra tubuh, ketika tubuh libidinal terlucuti sebagian tubuh, tidak terlacak penyebabnya (meskipun penyakit mental disentuh dengan terapi medis). 

Pada umumnya, berdasarkan perkembangan fenomena nafsu, ruang-ruang benda dan mimpi mendapat ditangkap oleh indera sensorik dan didukung oleh taraf pembacaan. 

Sementara itu, sensasi paling dalam sedapat mungkin mengimbangi benda-benda. Kesatuan paradoks, maka stimulasi pikiran kritis atas sisi birahi gelap secara spontan meledak ”ke dalam,” ia menggelar ”tanda kontemplasi dini” atas bisikan yang mengitarinya dari seluruh penjuru. Terkuaknya ruang pengetahuan adalah sebagian dari bentuk-bentuk permukaan dari luapan tubuh.

Tetapi, kemaujudannya tidak memahami  apa yang terjadi pada sesuatu melalui pikiran dan sensibilitas perasaan berarti pembutaan sistemik. Pada dasarnya obyek menurut indera kita tidak mungkin dijadikan dasar penetapan tindakan sewenang-wenang kepada aliran hasrat antara celah dan tingkat kevalidan sehingga citra  dengan salinan yang teracak.  Sementara, obyek yang luas menandakan daya yang sangat memadai untuk ditafsirkan sebagai makhluk rasional atas alam empiris, tanpa tiruan dan tanpa permainan. 

Sekalipun benda-benda dapat digambarkan dan diperlakukan dengan pikiran, tetapi secara citra juga akan berada dalam kondisi tertentu. Godaan yang mengenyampingkan pikiran. 

Karena kenikmatan yang dialami membebankan jejak-jejak melalui tubuh. Namun demikian, ada sesuatu yang tidak dapat disepelehkan, yakni produksi birahi lahir menjadi daya pesona, atau akhir pertukaran dan ’penerobosan’ sebagai obyek nyata dari daya kritis yang tidak hanya memiliki pengetahuan dibentuk oleh penggali ’situs-situs filsafat’. Agen tubuh sama sekali tidak memiliki subtansi dalam model hiperealitas cita rasa.  

Ironi, khutbah, teater kekerasan, dan  ilusi tidak dapat lagi dipalsukan. Kecuali penderitaan dan kesenangan sebagai titik tolak kedalaman selera yang kosong, sekalipun itu dianggap kondisi yang luar biasa.

Pada dasarnya, birahi tanpa kode moral tidak bisat diuraikan dalam pluralitas kesenangan. Fiksi memalsukan kode moral, dimana sensasi rokok dinikmati oleh si perokok akan dibungkam dalam kelelapan pikiran; obyek kesenangan sebagai obyek pengetahuan sangat memungkinkan bebas mengalir sebagai gagasan setelah selera humor yang tinggi tertelan oleh produksi hasrat. 

Kita menciptakan diri kita sendiri hanya untuk tidak melepaskan citra artifisial, karena ia selalu muncul dalan kesenangan yang tertanam dalam ingatan, di setiap titik celah menjadi pemujaan atas tubuh yang indah.

Dalam kenikmatan, cita rasa dipoles daya tariknya melalui tubuh. Ia membenturkan tubuh, menuju diskursus dan penampilan biasa kita. Godaan akhirnya menghilang dalam tekanan luar, tatkala tubuh modern tidak tersembunyi lagi setelah dikhutbahkan oleh Descartes, Spinoza dan Husserl. Oleh karena itu, fiksi dan citra sensual mengalir melalui Cogito Cartesian setelah tergoda untuk keluar dari tubuh, mimpi, dan suara akibat ingar-ingar malam, tatkala bayangan tubuh diserap dan dipancarkan keluar dengan jarak lintas yang tertandai. Seperti tubuh, tanda melintasi virtualitas, fenomena atau benda-benda baru.

Kita perlu memasuki sekaligus bisa diserempet bahaya dari permainan tanda. Setiap tanda memungkinkan berada dalam ’pembacaan’ dan ’penulisan’ sebagai pintu masuk kegairahan.

Singkatnya, sistem pengetahuan menjadi sistem penubuhan cair terdiri dari citra pikiran, emosi dan asal-usul kenikmatan (melalui teknologi, sosial, politik, ekonomi) terhalangi oleh strategi dan program penubuhan yang buta dan menipu dirinya sendiri. Sedangkan penubuhan kuno menyangkut serangkaian citra pikiran dan tindakan manusia, meliputi hirarki kuasa, formalisme, dogma, takhyul, dan jaringan organisme akan ditumpahkan keluar. Permukaan gambar, warna dan gestur; penempelan atau tiruan diintrumentalisasi sampai putaran waktu menggilas kita. Tetapi, untuk keperluan, setiap dandanan erotis didukung dengan bau, warna atau rasa apapun seperti hasil sensasi.

Dalam hiruk-pikuk wujud alamiah merupakan ujian terberat dalam teka-teki wujud aktual yang digiring dalam ”wujud virtual” menuju satu permainan tanda kenikmatan puncak. Wujud alamiah dan wujud virtual bakal menjadi sesuatu yang baru di balik benda-benda di sekitar kita.  Atas nama ketelitian yang tenang, suatu permainan tanda yang baru memantulkan obyek-obyek atau citra-citra.

Kita perlu mengungkapkan sebagian dari nilai surplus kekerasan pikiran dan kekerasan bahasa. Tidak ada ruang kosong bagi khayalan tanpa batas dalam kehampaan materi. Obyek yang bisa dipikirkan untuk menyelami gejala-gejala awal kehampaan materi. Pada taraf penanda belaka, kebebasan berpikir hanyalah sebagai teror-teror mimpi.

Selanjutnya, pada taraf kegilaan, maka seluruh ketidaktahuan apa berakhir dalam hasrat untuk pengetahuan. Ia menjadi bola api yang siap membakar hal-hal yang dianggap sudah final dan mutlak. Kita melihat pertumbuhan tubuh semakin dekat dengan eporia penggandaan yang berlindung di balik perubahan palsu. Apa-apa yang menjadi penantang tubuh melebihi orgasme penikmat hanya seonggokan tubuh tanpa nafsu.

Melihat ke bawah permukaan tubuh, entitas metafisis bertambah keunggulannya melampaui kemuliaan instingtual. Tidak bermanfaat bagi pembentukan sistem makna dalam mengusung obyek tanda kritis, jika yang lahir hanyalah pendaur-ulangan kepengecutan. Subyek memiliki pabrik (fungsi ekonomis) berbenturan dengan materialitas gagasan (pabrik). Tujuan besar ditopang oleh kenikmatan, bahwa teror ketakutan yang dipulihkan melalui rekayasa (ingin cantik lewat bedah plastik ditambah mekanisme tubuh ). 

Pada akhirnya, kesenangan besar kita berarti menandakan suatu kepemilikan suprabahasa atas kuasa diri. Dari pembelukan tubuh mekanis, maka lintas krisis, adaptasi, kontradiksi dan pembujukan pikiran yang mendatangkan nilai kepuasan interior yang disebut ”pengabstraksian cita rasa optimal.” Selanjutnya, gestur tubuh mengikuti selera. Dari pemahaman tentang tubuh itu sendiri dimatangkan dalam kekerasan simbolik.

Karena itu, berdasarkan tanda, maka setiap permainan hanyalah permainan. Sepanjang hal itu terkait dengan cita rasa paling tinggi, maka tubuh tetap menemukan dirinya berdasarkan sudut pandang yang dimainkan di ruang kosong.

Tidak jauh berbeda dengan hasrat manusia purba, pra-teknologi yang telah lebih rendah daripada manusia primitif sebagai nenek moyang lompatan raksasa, dimana aliran hasrat tidak lebih dari mekanisme keintiman, ketika kita memandang tanpa jarak lagi pluralitas cita rasa manusia, menjauhi arus-arus libido propetik berdasarkan tanda kegairahan yang tersembunyi. Benda-benda yang dicitrakan bisa membayangi taraf pembacaan atas teks.

Tubuh dikuatkan dengan teks tertulis. Suatu ingatan melalui tubuh menandai pergumulan tanda yang tidak tertukarkan. Tubuh terkurung dalam tubuh itu sendiri.

Hasrat yang menubuh yang menggoda (seksualitas). Tahapan tanda, yaitu memilih sesuatu tanpa tekanan apapun dan mempertanggungjawabkan dari apa pilihan hidupnya. Pasalnya, pilihan akhir di ujung ’kekerasan tulisan’ adalah ketidakhadiran pembacaan padanya. Padahal hasrat otomat sudah terlibat setengah mati dalam ruang tulisan.  

Alur-alur pemikiran modern mempersilahkan para Tuan berkubang di dalam ’penubuhan di ruang kosong’. Belajar dari perlawanan esensial untuk menimbang lagi apa kemiripan remeh dari ’hantu nasib’, terpecah-pecah dan tersedot dalam suatu titik rawan ’permainan tanda yang terkondisikan’, dimana tubuh muncul kembali dalam bentuknya yang baru.

Kadangkala pergerakan bahasa dikacaukan dunia obyek. Di situlah dunia dalam ‘tahapan Pasca-Asal-usul.’  Aliran ganda, mencakup ketinggian dan kecuraman melanda hasrat melalui pembacaan atas teks tertulis. Sekarang, huruf-huruf atau tulisan kuno yang sulit dibaca, akhirnya pelan-pelan bisa terkuak melalui Artificial Intelligence. Taruhlah satu contoh simpel, ketika saya menemukan tulisan dan makna yang tidak stabil terhadap obyek (pabrik). 

Pernyataan akan aktualisasi lingkungan pabrik mengantarkan sebagai kata benda yang diungkapkan melalui satu pembacaan. Pernyataan ini dimaksud pengendapan yang tertunda, bahwa setiap ’teritori opresif’ berarti penolakan cerita dari teks.

Tetapi, obyek kesenangan dari benda diri, prilaku atau hasil dari daya kreasi manusia sangat menggiurkan bagi kenikmatan obyek hasrat yang berlipat ganda.  Inilah salah satu entitas dan fungsi pluralitas dewasa ini.  Melalui proses pemuntahan produksi material yang telah melintasi tubuh dalam citra pikiran, seperti obyek kesenangan sebagai kebajikan dan kejahatan sekaligus, bertanda ganda menunjukkan sisi kerangkapan tanda itu sendiri. 

Pada sisi ketidaktergantungan, sistem tanda berhubungan dengan perbedaan dan pengulangan ala Deleuzean.

Satu sisi, tubuh akan mengintimi tubuh yang lain. Seperti halnya tata bahasa ketidaksadaran terhadap relasi antara ’benda nyata’ (pabrik) dan ”limbah beracun” berada pada ’teks (pabrik)’ menjelma menjadi sesuatu yang plural maknanya. ’Pabrik mimpi’, ’pabrik selera’, ’pabrik buku’, ’pabrik ilusi’, dan sebagainya sebagai bagian dari makna yang tidak stabil dan plural.

Di sisi lain, tubuh bukan hanya sebagai obyek abstrak  (molekuler, virtual, seksual), tetapi meluncurkan suatu penampakan yang dingin dari obyek tanda. Sedangkan tubuh dalam setiap teks dan konteks dari tokoh pemahatnya dalam tanda yang berbeda. Tubuh apabila semata dilihat bagaikan hamparan tanah tandus sebagai obyek fisik atau hanya persepsi indera inderawi. Tubuh akan kehilangan daya maknawinya, tatkala ia tidak lagi mengkonsolidasikan dengan tubuh itu sendiri.

Misalnya, ketidaksadaran pada benda relasi antara tanda ”limbah beracun” sejalan dengan ”limbah industri” bersumber dari gagasan seseorang atau kelompok dengan basis analogis, berarti sistem metodis yang dikorbankan demi kelangsungan penyamaran tubuh. Selama ini, gambaran sensasi luar merupakan bagian dari obyek tanda. Terutama tanda kepemilikan ganda dari obyek benda aktif (pabrik/kekuatan) terampas oleh struktur mesin dari dalam tubuh alamiah.

Sebaliknya, sepanjang jalan teks tertulis sebelumnya, laksana ”sungai” akan selamanya menjadi model keintiman, karena ia dipersepsikan sebagai air yang mengalir dengan ”nilai guna” tertentu di antara benda-benda.  

Keseluruhan obyek tanda yang menggambarkan sebagai sesuatu yang mengalir. Katakanlah, malam yang mengalir terus-menerus dengan kekerasan malam silih berganti dengan siang sebagaimana air mengalir sebagai sumber tanda kehidupan.

Contohnya, gejala air sungai tercemar karena limbah beracun (obyek/pabrik) mensubordinasi manusia, dan kebenaranpun mengilusikan dunia sebagai kekerdilan jiwa yang dapat dimaafkan akibat kecenderungan dan kekuatan diri berlangsung tanpa akhir, dipandang sebagai jalan buntu bagi tanda kehidupan.

Karena itu, keberadaannya sudah pasti produksi sosial (ah, tanpa rekayasa pluralitas, subyek dan obyek: nelayan dan perahu) dapat menyingkapkann daya hidup dengan ”celah”, ”lekukan” dan ”saluran” dari obyek (sungai untuk menangkap ikan, air minum, obyek parawisata dan sebagainyanya), sebagaimana obyek hasrat dari hirarki tubuh secara terbuka bagi tanda.

Tergerusnya sensasi luar berarti cermin pasca-penubuhan dalam kegairahan yang sesaat. Ia mengangkat ketidakstabilan demi ketidakstabilan makna dengan mempertimbangkan teks tertulis untuk mengatakan. Kewaspadaan pada ketidaksadaran lebih dekat dengan monster; ia bukan kedalaman dari ’diskursus’.

Tidak ada kerahasiaan melankoli asal-usul, karena kita meniadakan suatu percepatan aliran dunia absurd demi mengacaukan ’narator’. Menyingkap rahasia rahasia, ketika kita mengajukan pertanyaan. Saya kira, tidak ada pertanyaan dan sia-sia memang mengajukan pertanyaan dengan tulisan ecek-ecek ini (izin saya, ketawa sedetik saja!).

Selama ini pertanyaan yang sering mengemuka yang terkait dengan ketulusan, diantaranya masih adakah subyek gairah ketika kondisinya tidak lagi menguntungkan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya? Apakah itu tubuh-erotis? Dapatkah kita bertahan hidup meskipun ”cinta atas tubuh libinal yang pucat” kita korbankan demi melayani egosentris alam? Ataukah prinsip kesenangan dan ”hiruk-pikuk pemikiran ilmiah” tidak berhubungan sama sekali dengan canda tawa dan kematian yang tertunda? 

Sampai saat ini, pengetahuan kita tentang cinta atas tubuh pikira berkaitan dengan gagasan kebahagian dan keindahan acapkali disesuaikan pada tanda representasi dan hirarki pengetahuan itu sendiri, tanpa mempersoalkan lagi tanda apakah mendahului atau didahului sesuatu. Akumulasi intelektual yang dimaksud adalah ’permainan’ yang menuntut segera membuka kepura-kepuraan dan kelesuhan jiwa.

Untuk menghindari keterperangkapan tersebut, dimana kita melewati situasi kritis dengan baik melalui pengarahan tatanan dunia ”tanda dasar” dari ”pikiran kritis” yang memalukan bagi struktur kenikmatan optimum: reproduksi rasa lezat ditukarkan dalam daya tarik artifisial sebagai obyek yang digairahkan menjadi dua poros, yaitu daya selera disebut ’realitas gairah intrinsik’, daya selera diubah menjadi daya-daya aktif dalam gairah dan poros kedua, menunjukkan daya dukung disebut dengan ’gaya hiperiluminasi’ bagi tatanan. 

Pada tahapan ‘permainan kecil’, suatu tanda muncul ketika alur permainannya agak diangkat dari tatapan ringan. Maka ia ada dan nyata tetap sekadar tatapan ringan. Tugas tubuh untuk menyingkap topeng: struktur, akumulasi, stabilitas, takhyul, dan gelak tawa yang dimainkan dengan permainan tanda yang lain. 

Sementara itu, topeng juga dimainkan dalam permainan. 

Setiap tubuh yang diketahui telah menegaskan tubuh lain, menghilangkan lingkaran terluar dari tontonan besar dalam seribu jenaka. Tubuh yang bergelimpahan dihapus dalam kekerasan gambar dan kutukan. Saya kira cukup sampai di sini. Saya harap Anda tidak membaca catatan ini (itupun jika Anda berminat membacanya). Anda semakin menjauh karena bingung membaca tulisan ini. Saya harap Anda hindari untuk mencerna tulisan ini karena memang tidak ada yang bisa dicerna tulisan (berguyon dulu). Sekian, terima kasih, Anda tidak mengintip tulisan ini!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun