Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Sekadar Teks Tertulis yang Kacau

14 Maret 2024   21:51 Diperbarui: 19 April 2024   14:40 1653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karena itu, setiap gambar dan logika dari selera nyata direpresi kedalam tubuh, tarian kematian berlawanan dengan nyanyian kemenangan sebagai obyek berat sebelah memiliki jarak yang tidak tetap menerobos dinding.

“Merekalah pelaku utama teror yang kejam, dan kitalah pahlawan, karena itu kita berkewajiban untuk menghancurkan sampai citra teroris dikejar di sudut-sudut ruang tersembunyi,” menunjukkan permainan tulisan. 

Ia berada sangat dekat di sekitar kita, di ruangan dan di saku pakaian. “Wajah monster” dalam kebenaran tunggal yang melakukan kekerasan di tengah kelimpah-ruahan tatanan.

Ada apa saudara? Tantangan berat terletak pada materialitas kesadaran yang ditandai dengan ketidaksesuaian antara lukisan atau figur yang direpresentasikan oleh pelukis di dalam ruangan tertentu, dimana ‘isi’ terdalam dari arus obyek nyata diasumsikan atau diprasangkakan secara dangkal. Kabut misterius memiliki terorisme yang menyelimuti citra, dimana realitas nampak meremehkan hasrat atas kekacauan persfektif yang melintasi permukaan gambar. 

Tetapi, masih tanda tanya besar. Mengapa terjadi aksi teror kejam atau terorisme?

Pertanyaan besar berarti teka-teki. Bisa kita berbicara, bahwa citra artifisial tidak memiliki asal-usul dan rujukan, tetapi sesuatu yang ‘nyata’ muncul dari terorisme. Tidak mungkin ada suatu tiruan atau kemiripan obyek menampakkan dirinya dalam terorisme yang menghancurkan jika tanpa alasan. Ia memiliki kemiripan nafsu primitif seolah-olah tidak memiliki lagi jarak dan dengan nafsu modern. 

Karena jenis kekacauan ini melawan tulisan, maka di situ ada seni kritis. Kita hanya bisa keluar dari prasangka dengan cara menyelidiki kembali ruang, yang menyekat tulisan bebas.

Akibat asal-usul dan rujukan dihapus dengan kemiripan dan tiruan. Satu sisi, sebuah mesin ketidaksadaran (hasrat, kesenangan) memasuki realitas baru (era Google). Di sisi lain, aliran tulisan dan aliran hasrat di tengah kelimpahruahan citra atau gambar.

Bagaimanapun juga, suatu kedalaman hasrat melepaskan ikatan ruang, tempat dimana hasrat turunan ditandai melebihi dirinya. Beban kedalaman hasrat yang kosong nampak menonjol tidak mungkin berlawanan dalam dirinya sebagai sumbu alteritas aneh memenuhi syarat kontradiksi internal di dalam jurang antara subyek dan obyek. Saya kira, cukup! 

Marilah kita mengerutkan dahi sebulan lamanya! Ngawur, kacau bukan tulisan ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun