Ketika sang musafir mengatasi fatamorgana karena lintasan dan jejaknya yang panjang melebihi fatamorgana nampak di kaki langit.
Sebaliknya, melalui tanda-tanda dan jejak-jejak, suatu perhitungan jitu berusaha menemukan berapa derajat posisi lintang sehingga nampak penanda gerhana matahari, dimana udara, uap dan permukaan tanah mengurung fatamorgana. Jejak-jejak sang musafir di gurun pasir menjadi pelintas batas setiap gambar atau lukisan, yang diubah dan diganti oleh fotografi.
Sang musafir setelah menginjakkan kakinya di atas gurun pasir, maka petualangan yang dimilikinya berusaha dituangkan dalam teks tertulis melebihi causa sui.
Lain halnya, ketika sesuatu yang senyap dan misteri ditawarkan oleh “gurun pasir” berubah menjadi citra artifisial dengan tubuh yang melintasi ruang yang berbeda.
Dalam kisah kecil, mengalirkan penderitan dan bahasanya merupakan nyanyian kemenangan yang menyakitkan dari kekosongan. Oleh para rohaniawan sehingga tatapan sinis kepada mereka yang melampiaskan nafsunya sebagai sesuatu yang sakral ketika ia dibawah kedalam kecerahan, akhirnya, kecerahan membawa kita lebih jelas apa rahasia kegelapan.
Tubuh menyeruak. Tubuh menyejajarkan dirinya dengan nafsu, antara keseimbangan dan kebebasan dengan keragaman makna berarti citra yang dimiliki manusia telah menjadi tawanan gelap.
Suatu representasi gambar dramatis sebagai kelahiran tanda yang diketatkan dalam tapal batas cahaya dan kegelapan.
Dalam tarian kematian makna tergiring kedalam lingkaran malam, tubuh dibangun diantara cahaya dan bayangan hanyalah akhir gambar dan figur mengilati mimpi menghilang dalam siang yang kelam.
Begitulah, hasrat dan tulisan menampakkan dirinya di balik tembok, akhirnya, ia menjadi bayangan teror kehidupan dalam ruangan yang bertaburan cahaya, selanjutnya citra perang akan diulang-ulangi dalam tanda dan jejak, bukan hanya di dalam mimpi buruk dan teks khayalan, tetapi peristiwa yang berbekas bagi kehidupan manusia, diledakkan di dalam materialitas kesadaran, ia bukan berasal dari realitas baru tanpa kemiripan.
Segala sesuatu yang mencapai kemiripan obyek tidak lebih dari celah mengalihkan aliran hasrat ke aliran gambar. Celah yang lain, ketidakhadiran rujukan menjadi obrolan yang terakhir.
Apakah dunia dalam citra cermin atau prinsip kemiripan tetap sebagai kemiripan, sekalipun lebih nyata dari tanda lainnya?