Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wajah-Wajah Pucat

9 Agustus 2023   16:33 Diperbarui: 11 November 2024   15:53 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di situlah konteks peristiwa penandaan sebagai ungkapan ganda, yaitu ungkapan retoris dan ungkapan performatif melebur di tengah peringatan Hari Kemerdekaan, yaitu kemerdekaan tanpa kebebasan dan kemerdekaan tanpa kemerdekaan yang berlindung di belakang kedaulatan negara. 

Kulit wajah kita pun diwarnai merah putih bersama bendera merah putih ditunjukkan di dasar laut dan di puncak gunung yang melintasi cara berpikir kita sendiri. Kita mengetahui, bahwa tanda-tanda dan permukaan membebaskan diri dari kedalaman makna menjadi simbol-simbol kebangsaan yang dimainkan sebagai kata-kata atau ungkapan, pernyataan dan identitas: bendera, busana, topi, tarian, dan sebagainya.

Ketiga, ‘penanda ironi’ dan permainan paradoks memiliki keterkaitan dengan gambaran peristiwa hingga menampilkan alur keterbalikan pengulangan perayaan. 

Satu sisi, ‘penghargaan atas perbedaan atau keragaman’ berlawanan dengan pandangan dan sikap intoleransi, kedamaian berbeda kekerasan menyisakan tanda tanya besar. 

Di sisi lain, pengulangan dan penyebaran tanda mengambang bebas dalam realitas. Ketidakhadiran petanda sakral dari Hari Kemerdekaan akan mengaburkan makna teks sesungguhnya dengan menopengi kemiskinan dan ketidakadilan lainnya melalui bentuk upacara peringatan.

Sebagaimana ditunjukkan pada setiap tahun melalui pelaksanaan upacara formal sebagai puncak peringatan Hari Kemerdekaan dilihat sebagai tanda-tanda paradoks yang ditandai. Teks tertulis Proklamasi ditandai: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia .....” Kata-kata dari “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan.” Tetapi, bangsa dan negara kita belum berdaulat “penuh” terutama di bidang pembangunan ekonomi.

Mengapa kita masih melihat ekonomi mengalami ketergantungan pada pihak asing padahal kekayaan sumber daya alam yang melimpah ruah. Apalagi kita masih tetap menyatakan, bahwa ada alasan kemampuan sumber daya manusia masih rendah dan pemerintahan salah urus dalam pengelolaan sumber daya. 

Penanda penjajah dalam bentuk penjajahan, berarti masih ada penindasan di atas permukaan dan di bawah permukaan. 

Apakah kita telah terbebas dari ketidakadilan sehingga kita tidak lagi menyaksikan kedalaman kesenjangan sosial dan diskriminasi hukum? Apakah kita sungguh-sungguh merdeka dari penipuan massal atau pembodohan rakyat? 

Dari titik tolak itu, tanda kemerdekaan berarti teater kejujuran dan utopia keadilan yang berbicara pada dirinya sendiri. Sejarah kita sekarang sesungguhnya adalah sejarah kemerdekaan ‘tanpa kata-kata kemerdekaan’ dan ‘tanpa ilusi kebebasan’. Anak-anak di negeri kita dengan wajah-wajah begitu polos. 

Wajah-wajah polos plus pucat. Maaf, saya lagi ngoceh! jika tidak dikatakan wajah-wajah pucat perlahan mulai memahami apa itu ilusi kebebasan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun