Sebaliknya, tanda menghilang berarti makna teks turut mengalami kekosongan makna dan dirinya sendiri. Ia menandai bahasa (lisan, pesan) yang direpresentasikan juga lenyap kekuatannya. Tanda kemerdekaan serta merta kembali mengumpulkan kekuatannya demi teks tertulis yang terlepas dari realitasnya sendiri.
Kembali pada kekuatan tanda menurunkan ‘kelenyapan kedalaman’ yang menandai ‘celah’ antara teks dan makna, realitas dan realitas baru, penanda dan petanda. Penulisan dan pembacaan teks kemerdekaan menghadapi ketidakstabilan makna.Â
Orang mendengar suara dari pembacaan teks proklamasi kemerdekaan mengambil arah pembalikan menuju tanpa kemiripan dan tiruan teks. Boleh dikata, jejak-jejak terlacak melalui teks Proklamasi Kemerdekaan yang datang dari masa lalu menjadi penantian tulisan.Â
Tatkala tanda lenyap, tulisan tentang epik muncul menjadi tanda baru untuk mengisi kekosongan makna teks kemerdekaan. Hanya saja, kita masih melihat perayaan atau peringatan Hari Kemerdekaan mengandung celah. Saya sudah mulai lebih serius.
Pertama, hubungannya dengan teks-teks seremonial ditandai dengan rangkaian perayaan atau peringatan. ‘Pengulangan tanda’ perayaan kemerdekaan tidak dipisahkan dengan simbol diantara ritual upacara melalui pergerakan tanda-tanda bahasa, dari anak-anak ke orang dewasa, dari pemerintah pusat menuju pemerintah daerah, dari kota ke desa.Â
Setelah naskah Proklamasi Kemerdekaan dibacakan ke seantero dunia, ia adalah teks tertulis sebagai Jejak "dicuri" menjadi ‘ungkapan performatif’. Jacques Derrida telah mengulik tentang keterkaitan antara ingatan-jejak dan tulisan-arsip dalam Writing and Difference (2001).Â
Padahal, ungkapan performatif yang dimaksud agak berlebihan apabila dihadapkan dengan kondisi tanah air. Katakanlah, berita tentang kasus wajah-wajah pucat karena gizi buruk bisa terkuak melalui jejak digital dengan tulisan-citra yang muncul di layar media sosial dan media lainnya.
Berkenaan dengan ungkapan performatif yang tertuju pada teks tertulis tentang tanda wajah-wajah pucat, yang sepi dari obrolan saat gebyar Hari Kemerdekaan. Ungkapan tersebut menjadi tujuan dari tindakan peringatan Hari Kemerdekaan yang bersifat serimonial berada dalam simbol hanya dikelilingi dunia tanda.Â
Setiap tanda keluar dari titik penyebaran kebenaran dari kepalsuan yang khas, baik kemampuan performa maupun efek yang memproduksi bahasa yang tidak masuk akal.
Kata lain, saya melihat kegempitaan ritual perayaaan Hari Kemerdekaan dan rangkaian-rangkaian menyertainya terlepas dari tujuan tindakan yang menggambarkan bahasa tanpa efek terhadap penyebaran kebenaran dari kepalsuan. Penyebaran kata-kata, akhirnya terjatuh dalam kekosongan makna dari peristiwa perayaan kemerdekaan.Â
Ia akan merahi makna kembali sejauh konteks peristiwa yang menopang dan menguasainya melebihi teks-teks lainnya yang ditandai dalam pemikiran. Sesuatu yang tidak mewaspadai konteks peristiwa, termasuk peristiwa tanda tangan atau penandaan berupa nama termuat dalam teks Proklamasi Kemerdekaan RI masih tetap menjadi ‘kekosongan makna’ dari ungkapan performatifnya.Â