Ada yang betul-betul kontras. Lagu sedih mengiringi wajah-wajah pucat dari anak-anak usia di bawah lima tahun karena mengalami gizi buruk, misalnya. Nah, tanda ungkapan performatif seiring dengan tanda wajah-wajah pucat di balik gebyar Hari Kemerdekaan.
Kita masih membayangkan peristiwa perayaan Hari Kemerdekaan ternyata memiliki suatu kemiripan konteks lain dalam perbincangan yang cukup menarik. “Anda begitu fasih melafalkan dirgahayu Hari Kemerdekaan, persis bagaimana saya mengucapkan selamat mengarungi bahtera rumah tangga pada kedua mempelai, pria dan wanita dalam acara seremonial pernikahannya.” Di situlah kata-kata diluncurkan dalam dunia tanda, melebihi ungkapan yang permanen.
Tanda memberi makna teks yang tidak stabil. Mereka merupakan suara jeritan tersendiri keluar dari tanda yang dipadatkan, tidak bergantung pada ungkapan performatif yang ia buat sendiri.
Kedua, hubungannya dengan konteks peristiwa penandaan tanpa ketergantungan pada kata-kata diungkapkan, melainkan tanda-tanda yang membentuk ungkapan.
Dalam hubungannya dengan perayaan Hari Kemerdekaan bersifat seremonial dibedakan pula dari logika pengulangan akan permukaan dipertontonkan melalui perlombaan dan jenisnya. Setiap perlombaan dengan ritual tersendiri dianggap memiliki makna seperti penderitaan akibat penjajahan.
Suatu zaman dimana sulitnya untuk mendapatkan hak pemenuhan pangan dan sandang. Peristiwa pembatasan hak berbicara bertumpang tindih dengan pembentukan solidaritas melawan penjajahan.
Setiap makna dibalik perlombaan yang bersifat alamiah sebagai teks nampaknya disimulasi melalui media sosial; ia memiliki keterkaitan dengan obyek pengetahuan berubah menjadi tanda kelucuan. Memudarnya esensi kemerdekaan menandai kematian makna yang tercekik antara teks dan konteks peristiwa menampilkan rangkaian narasi dan diskursus, perbedaaan dan identitas, kehidupan dan pemikiran.
Bagaimana cara kita sekarang untuk membebaskan diri dari lingkaran teks dan konteks peristiwa perayaan kemerdekaan? Tanda yang jelas ditandai oleh diskursus terjadi dalam perlombaan untuk memperingati Hari Kemerdekaan.
Dua jenis perlombaan ditandai: “Si Tua berbicara. Anak-anak menjulurkan mulutnya ke atas dengan ‘tangan’ diikat di belakang. Anak-anak merebut ‘kerupuk’ hingga ludes.
Lalu di tempat lain, keseruan anak-anak muda tanggung berebut untuk mengambil ‘koin’ dalam tepung melalui mulut. Tangan mereka juga terikat di belakang. Si Muda menimpali.
Demikian pula di sebagian kampung lainnya. Lomba mengambil koin dengan mulut pada ‘buah pepaya’ tergantung. Buah itu berlumur minyak dan arang hitam. Lagi-lagi tangan mereka juga diikat ke belakang”.