Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wajah-Wajah Pucat

9 Agustus 2023   16:33 Diperbarui: 11 November 2024   15:53 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kondisi gizi buruk pada anak-anak Balita (Sumber gambar: antaranews.com)

Di hari yang sama, berturut-turut chat dan upload sesuatu berselancar di grup WhatsApp. Sebuah chat dari bos dengan konten sekilas info. Saya kutip chat lebih dulu.

“Berdasarkan surat Bupati tersebut dan penegasan Bapak Bupati di Coffee Morning, maka diminta kepada seluruh ASN lingkup Bappeda agar mengumpulkan bendera masing-masing minimal 1 bendera 1 ASN di kemudian akan diserahkan ke Kesbangpol. Pengumpulan paling lambat Hari Jumat. Kemudian juga dihimbambau agar ASN menjadi contoh di lingkungannya untuk menaikkan bendera merah putih di depan rumah tempat tinggal masing-maaing mulai hari ini tanggal 1 Agustus 2023.”

Sepenggal kutipan dari bos saya tidak indahkan. Mestinya saat itu juga, bendera merah putih nampak berkibar. Kepada bendera merah putih! Hormat gerak! Tidak, tidak, sungguh! Bendera merah putih yang dipersiapkan bisa ditebak tidak bakalan dipakai. Mengapa? 

Mumpung bendera merah putih sudah pudar warnanya lantaran tergenang oleh air saat banjir bandang, empat tahun sebelumnya. Bendera merah putih dan yang empunya terjebak. Ah, sudahlah! Kelamaan nanti trauma lagi tatkala terbayang kembali. Lebih sepekan mungkin, saya coba untuk merenung. Saya rupanya cukup lama tidak lagi mengibarkan bendera merah putih demi 17 Agustus. 

Apa kata ruh para pahlawan kemerdekaan? Seandainya kakek dan nenek kita bisa berbicara di bumi. 

Eh, cucu-cucuku! Kibarkan bendera merah putih dong! Tuh, lihat! Cucu-cucuku sudah bisa sekolah tinggi. Bisa tersenyum. Maka pecahlah tawa riang gembira. 

Coba bandingkan cucu-cucu dengan masa perang revolusi kemerdekaan! Tempoe doeloe, sedih dan susah bukan kepalang. Di masa kecil, saat bersekolah, kita dididik untuk menghargai jasa para pahlawan. Ya ampun! Kibarkan merah putih, susah amat!

Menjelang siang, saya sudah mengibarkan bendara merah putih. Saya tersenyum sejenak. Betul, lebih sepekan terbangun dari rasa malas untuk mengibarkan bendera merah putih. 

Lantas, ada semacam panggilan jiwa. Saya mengambil bendera tersebut dalam kendaraan. Sudah tersedia tiang bendera. 

Singkat cerita. Bendera merah putih berkibar dengan gagahnya. Saya melirik ke arah bendera itu. Saya kembali tersenyum dibuatnya. Bisa juga saya mengibarkan bendera merah putih, gumanku dalam hati. Sisanya, bagaimana cara saya menjauhi semua yang bernada jargon. Wah, jargon lagi!

Jargon, jargon! Jargon mengintai hari kemerdekaan. 

Coba lihat! Wajah anak-anak dikelilingi oleh jargon-jargon. 

Setiap jargon dan pekik sebagai ‘kata kerja’ di bulan kemerdekaan. Mungkin kita sementara tidur pulas, berbelanja, menonton, bercerita, bersolek, bekerja, atau merenung akan pelintasan batas-batas dan pengulangan peristiwa. 

Di tempat lain, orang-orang melibatkan dirinya untuk memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, di setiap 17 Agustus. Saya melihat dari jauh tentang anak-anak dengan riangnya bermain. Mereka bahagia tanpa kepo apa makna dari kemerdekaan. Seru, gebyar bulan kemerdekaan. Saya seakan melihat para peziarah tanda kemerdekaan “tanpa perkabungan” berdatangan dari berbagai penjuru.

Sepanjang jalan yang saya lalui di kampung, 9 Agustus 2023 nampak sudah banyak bendera berkibar di depan halaman rumah dan kantor-kantor. Bendera merah putih, umbul-umbul, dan sejenisnya berkibar. 

Benda-benda tersebut seakan “lebih” hidup dari orang-orang yang dilanda rasa ‘pesimis’, ‘murung’, dan ‘melankolis’. Anak-anak sekolah di zaman sekarang sudah jarang berbaris di pinggir jalan sembari memegang bendera kecil. Mereka seakan lupa sejenak ingar bingar di sekitarnya. Orang-orang dewasa begitu “khusyu” menikmati kehidupan modern atau terlalu modern di tengah keriuhan, keseruan, dan deruh mesin politik. Kemana wajah-wajah ceria kita yang dulu?

Sabam hari angka statistik menyatakan sekian persen kemiskinan. Itu masih angka tinggi. Anak-anak yang semestinya mengecap pendidikan hingga di tingkat perguruan tinggi ternyata tersandung dengan masalah anak tidak sekolah. 

Berapa banyak anak-anak Balita yang terkena prevalensi gizi buruk? Berapa banyak anak-anak yang mengalami stunting? Berapa banyak orang yang mengalami prevalensi pemyakit kejadian luar biasa (KLB)? 

Sumpah! Dari ujung kaki hingga ujung batok kepala. Kita tidak bisa ngakak di semalam suntuk. Jika kita ketawa terbahak-bahak hanya menertawakan diri sendiri. Lelucon yang tidak lucu.

Terang terus, saya agak kesulitan ‘mencomot’ data tentang prevalensi gizi buruk. Data yang terupdate maksudku. Saya coba nge-Googling. Dapat ikannya! Data kurang gizi Asia Tenggara. 

Wow! Indonesia diurutan nomor ‘wahid’. Sebanyak 17,7 juta jiwa kurang gizi, 2019-2021. Ini versi data The State of Food Security and Nutrition in the World terbaru yang dirilis Food and Agriculture Organization (FAO). Pengaruh gizi buruk atau kurang gizi, yaitu stunting. Diakui, datanya tergerus. Angka prevalensi stunting Indonesia mengalami penurunan, dari 24,4 persen di tahun 2021 menjadi 21,6 persen di 2022. Di luar itu, data penduduk miskin. 

Tercatat 25,9 juta jiwa atau 9,36 persen, Maret 2023. Angka tersebut menurun 0,18 persen poin terhadap Maret 2022. Apa hubungannya dengan wajah-wajah pucat?

Sepintas dianggap tidak berhubungan antara data tersebut dan wajah-wajah pucat. Bukankah anak-anak penderita gizi buruk dan stunting akan tersenggol anemia. Ia terjadi ketika jumlah sel darah merah dalam tubuh lebih rendah dari jumlah normal. 

Begitulah sabda medis. Gara-gara amblas zat besi, ibu-ibu hamil bakal terpapar anemia. 

Cegahlah stunting dengan bebas anemia! Kita enteng saja bercuap-cuap. Cegah ini, bebas itu. Sejauh ini, kita belum melihat wajah anak-anak miskin cerah ceria sepanjang tahun. Saya belum menemukan data tentang wajah anak-anak yang sedang ditimpa kelaparan seraya ketawa ngakak dalam tempo lama.

Sekadar intermezzo semenit. Saya pernah membaca tentang pernyataan Soekarno. 

Tetapi, saya sudah lupa siapa penulis dan dimana dimuat. “Tak ada lagi kemiskinan di era kemerdekaan." Saya kira, pernyataan mesti disambung lagi. “Tak ada lagi terorisme dan korupsi di era setelah kemerdekaan yang sesungguhnya.” Biarlah pernyataan yang terakhir hanya sekedip mata.

Setelah itu, hari-hari dimana orang-orang menjalani dengan langkah demi langkah. Suatu momen dengan seluruh ingatan terhadap pelintasan batas-batas dan pengulangan perayaan Hari Kemerdekaan akan mengakhiri suara tidak terekam dan tidak tertulis, dari setiap peristiwa yang luar biasa. 

Teks-teks untuk kehidupan dan pemikiran selalu ada sebagai tanda yang beragam dan menyebar di sekitar kita tanpa kecuali Hari Kemerdekaan.

***

Tan Malaka. Ya, bung! Tan Malaka. Saya punya satu bukunya, Madilog. Saya lihat di toko buku ternyata belum cetak ulang. 

Pelintasan batas-batas dan pengulangan perayaan memisahkan dirinya dengan teks tertulis yang dipadati buku Menuju Merdeka 100 %. Karya Tan Malaka itu membuat titik tolak pengaruh yang tidak kadaluarsa, dari tanda yang menandai permulaan sama sekali tidak kita bayangkan sebelumnya. Permulaan itu bukanlah permulaan kosong dan baru.

Kisah heroik bukan jenis manusia langkah, mereka adalah pelintas batas-batas dan penziarah bagi bayang-bayang masa depan. Mereka tidak lagi menghentikan perjalanan yang terbentang di hadapannya menuju proses ‘pertukaran tanda ritual perayaan’ yang meriah dan boros. 

Tatanan epik tidak datang pada kita tatkala orang bepergian untuk melintasi jejak-jejak perbedaan telah digariskan untuknya dengan jalan meletakkan kembali jalur pelintasan dan pengulangan baru.

Dari hal-hal yang berbeda dan beragam seperti tanda, bentangan teks yang singkat. Suatu kata yang diambil tidak datang dari paragraf atau kalimat demi kalimat terbuka sebuah naskah. 

Perlintasan batas-batas dan pengulangan perayaaan itu diringi dengan sebuah teks lagu Indonesia Merdeka dari sosok Hussein Al Muthahar yang menciptakannya. Seluruh eksistensinya akan membawa teks perjuangan bersama bahasa, nyanyian kematian yang menggebu dan jejak-jejak lainnya mengikuti halaman per halaman memiliki ketidakjarakan dengan ingatan dan imajinasi kita. Suara jeritanlah tidak bergema saat itu, karena ungkapan performatif kemerdekaan tidak lagi merupakan kata-kata yang saling menjalin dan saling menopang antara satu dengan lainnya.

Tanda-tanda yang mereka ingat tidak mampu lagi ditarik ke depan sebagai teks tertulis (novel, syair lagu, buku sejarah dan ilmu pengetahuan lainnya) yang mengembara ke jagat tanda. Ia bersinggungan dengan benda-benda. 

Setiap sepak terjang dari pelaku sejarah begitu gagah berani tidak pernah merampungkan episode petualangannya tiba-tiba berubah menjadi tanda-tanda. Mereka menukarkan jejak-jejak (dari ingatan ke buku, dari naskah cerita novel-buku ke film) yang titik tolaknya masih tetap sebagai teks tertulis.

Anak-anak yang tertinggal dari pendidikan dan kesehatan tidak pernah tahu apa itu wujud virtual? Apa itu citra arfisial? Apa itu Artificial Intelligence

Pertanyaan itu bukan untuk bestie. Pertanyaan tersebut untuk saya sendiri. Wujud pertukaran tanda ritual perayaan ditandai dengan jenis-jenis ‘buku berkertas’ menjadi ‘buku elektronik’, dari ‘asap api’ (indeks) menjadi ‘peta digital’ (kode), dari representasi ‘foto peristiwa’ (ikon) menjadi ‘simulasi peristiwa’ melalui citra tiruan yang tersibernetisasi (simulakra) saling jalin menjalin antara satu dengan lainnya, antara wujud alamiah dan wujud artifisial yang diperbincangkan di sekitar kita.

Namun demikian, perayaan atau peringatan Hari Kemerdekaan yang kita dambakan menjadi bermakna hanyalah pengulangan peristiwa besar berlangsung secara hikmat sekaligus maknanya berangsur-angsur menguap tanpa meninggalkan jejak-jejak perubahan. Saat ia menyerupai kata-kata atau teks, dimana ia adalah benda-benda, representasi, dan bukti yang melengkapi tanda yang nyata padanya. 

Teks dan tanda kemerdekaan bukan lagi melengkapi bukti-bukti yang telah ada, kecuali tanda-tanda yang pasti menyediakan pelintasan batas-batas dan pengulangan tanpa mengatakan kebenaran sedikitpun.

Mengapa demikian bestie? 

Bahwa seluruh jejak yang mereka tinggalkan berupa teks tertulis dan tanda, penanda dan petanda terdapat celah-celah dari pelintasan batas-batas penantian Hari Kemerdekaan. 

Tanda dan jejak kemerdekaan menjadi pengulangan yang memungkinkan seluruh makna di dalamnya telah lenyap ditelan oleh zaman.

Teks-teks pengetahuan tentang narasi kemerdekaan tidak memperhitungkan lagi ada atau tidak ada makna. Penyebaran dan pelenyapan makna-makna baru tidak bergantung lagi pada titik ketidakstabilan makna diantara penanda dan petanda yang masing-masing memproduksi dirinya sendiri. 

Penyebaran makna melalui peringatan Hari Kemerdekaan bersifat terbuka dan bebas, bukan bersifat tetap dan stabil. Ada seorang memaknai Hari Kemerdekaan sebagai kesia-siaan.

Karena itu, makna teks Proklamasi Kemerdekaan tidak berada dalam teks, melainkan hasil pembacaan secara individual dan sosial. Teks selalu menantang bahaya, melawan tanda zaman dan saling berinteraksi dengan kondisi ketidakterputusan tatkala lintasan dari tatanan tanda dan teks telah membebaskan dirinya dari ketransendenan pemikiran. 

Aduh! Bestie ngobrol tentang tema kemerdekaan. Hebat bestie! 

Obrolan tersebut merupakan wilayah bekerjanya teks tertulis yang berbeda. Jika kita memperhatikan pergerakan yang terus-menerus tanpa akhir, bukan hanya sebagai tanda dirinya sendiri tanpa permulaan absolut, tetapi juga tanda-tanda yang memisahkan bacaan atas teks lainnya.

Kisah epik yang nyata diwariskan pada masa depan anak-anak bumi, dimana makna teks tertulis dari Proklamasi yang dibacakan dan diucapkan kembali setelah mengajukan mereka pada pemikiran menjadi kata-kata atau kalimat mengasingkan dirinya, tanpa arus untuk melintasi kedalaman yang kosong dari maknanya. 

Camkanlah itu bestie! Pergerakan hidup terus-menerus tanpa berakhir dari tanda-tanda. Ia akan menjadi titik pembebasan dunia di tengah realitas tanda tanpa isi dan pesan dari teks pengetahuan tentang makna kemerdekaan. 

Setiap aliran tanda-tanda yang menandakan kalimat demi kalimat, halaman demi halaman dari teks tertulis (buku, novel, chat) tidak lagi menjadi ‘pusat’ ungkapan dari banyak orang bagi jejak-jejak lainnya. Tetapi, dari perbedaan dan pertukaran tanda yang terbuka dan menyebar. Roland Barthes, Derrida, Foucault, Deleuze hingga Umberto Eco menawarkan pada kita suatu tulisan di atas tumpukan debu bacaan atas teks melalui tanda-tanda dalam realitas.

Setiap teks Proklamasi Kemerdekaan memiliki kuasa dibentuk tanda-tanda bahasa, sehingga ia terpisah dari pergolakan fiksi yang mereka tampilkan. Penyebaran dunia tanda diselingi teks dengan kata-kata dan benda-benda saling mengisi kekosongan dan saling menopang antara satu sama lainnya. 

Teks Proklamasi Kemerdekaan seakan-akan telah terputus dari dunia tanda atau realitas setelah ketidakhadiran teks tunggal, dalam pemikiran kita akan menarik kembali dirinya untuk keluar dari obyek narasinya. Belum berakhirnya catatan atau jejak pengembaraan sang pahlawan karena ia ditafsirkan ulang dengan makna awal yang kosong, kecuali pergerakan tanda ke tanda baru tanpa keterlibatan teks lainnya.

Sebagaimanan teks tertulis masih setia pada tanda, mimpi dan fantasi akan menemui ruang kemerdekaan, dimana sekarang masih sebagai jejak-jejak petualangan nan heroik. Tetapi, teks lenyap tidak berarti tanda ikut menghilang dalam realitas. 

Sebaliknya, tanda menghilang berarti makna teks turut mengalami kekosongan makna dan dirinya sendiri. Ia menandai bahasa (lisan, pesan) yang direpresentasikan juga lenyap kekuatannya. Tanda kemerdekaan serta merta kembali mengumpulkan kekuatannya demi teks tertulis yang terlepas dari realitasnya sendiri.

Kembali pada kekuatan tanda menurunkan ‘kelenyapan kedalaman’ yang menandai ‘celah’ antara teks dan makna, realitas dan realitas baru, penanda dan petanda. Penulisan dan pembacaan teks kemerdekaan menghadapi ketidakstabilan makna. 

Orang mendengar suara dari pembacaan teks proklamasi kemerdekaan mengambil arah pembalikan menuju tanpa kemiripan dan tiruan teks. Boleh dikata, jejak-jejak terlacak melalui teks Proklamasi Kemerdekaan yang datang dari masa lalu menjadi penantian tulisan. 

Tatkala tanda lenyap, tulisan tentang epik muncul menjadi tanda baru untuk mengisi kekosongan makna teks kemerdekaan. Hanya saja, kita masih melihat perayaan atau peringatan Hari Kemerdekaan mengandung celah. Saya sudah mulai lebih serius.

Pertama, hubungannya dengan teks-teks seremonial ditandai dengan rangkaian perayaan atau peringatan. ‘Pengulangan tanda’ perayaan kemerdekaan tidak dipisahkan dengan simbol diantara ritual upacara melalui pergerakan tanda-tanda bahasa, dari anak-anak ke orang dewasa, dari pemerintah pusat menuju pemerintah daerah, dari kota ke desa. 

Setelah naskah Proklamasi Kemerdekaan dibacakan ke seantero dunia, ia adalah teks tertulis sebagai Jejak "dicuri" menjadi ‘ungkapan performatif’. Jacques Derrida telah mengulik tentang keterkaitan antara ingatan-jejak dan tulisan-arsip dalam Writing and Difference (2001). 

Padahal, ungkapan performatif yang dimaksud agak berlebihan apabila dihadapkan dengan kondisi tanah air. Katakanlah, berita tentang kasus wajah-wajah pucat karena gizi buruk bisa terkuak melalui jejak digital dengan tulisan-citra yang muncul di layar media sosial dan media lainnya.

Berkenaan dengan ungkapan performatif yang tertuju pada teks tertulis tentang tanda wajah-wajah pucat, yang sepi dari obrolan saat gebyar Hari Kemerdekaan. Ungkapan tersebut menjadi tujuan dari tindakan peringatan Hari Kemerdekaan yang bersifat serimonial berada dalam simbol hanya dikelilingi dunia tanda. 

Setiap tanda keluar dari titik penyebaran kebenaran dari kepalsuan yang khas, baik kemampuan performa maupun efek yang memproduksi bahasa yang tidak masuk akal.

Kata lain, saya melihat kegempitaan ritual perayaaan Hari Kemerdekaan dan rangkaian-rangkaian menyertainya terlepas dari tujuan tindakan yang menggambarkan bahasa tanpa efek terhadap penyebaran kebenaran dari kepalsuan. Penyebaran kata-kata, akhirnya terjatuh dalam kekosongan makna dari peristiwa perayaan kemerdekaan. 

Ia akan merahi makna kembali sejauh konteks peristiwa yang menopang dan menguasainya melebihi teks-teks lainnya yang ditandai dalam pemikiran. Sesuatu yang tidak mewaspadai konteks peristiwa, termasuk peristiwa tanda tangan atau penandaan berupa nama termuat dalam teks Proklamasi Kemerdekaan RI masih tetap menjadi ‘kekosongan makna’ dari ungkapan performatifnya. 

Ada yang betul-betul kontras. Lagu sedih mengiringi wajah-wajah pucat dari anak-anak usia di bawah lima tahun karena mengalami gizi buruk, misalnya. Nah, tanda ungkapan performatif seiring dengan tanda wajah-wajah pucat di balik gebyar Hari Kemerdekaan.

Kita masih membayangkan peristiwa perayaan Hari Kemerdekaan ternyata memiliki suatu kemiripan konteks lain dalam perbincangan yang cukup menarik. “Anda begitu fasih melafalkan dirgahayu Hari Kemerdekaan, persis bagaimana saya mengucapkan selamat mengarungi bahtera rumah tangga pada kedua mempelai, pria dan wanita dalam acara seremonial pernikahannya.” Di situlah kata-kata diluncurkan dalam dunia tanda, melebihi ungkapan yang permanen. 

Tanda memberi makna teks yang tidak stabil. Mereka merupakan suara jeritan tersendiri keluar dari tanda yang dipadatkan, tidak bergantung pada ungkapan performatif yang ia buat sendiri.

Kedua, hubungannya dengan konteks peristiwa penandaan tanpa ketergantungan pada kata-kata diungkapkan, melainkan tanda-tanda yang membentuk ungkapan. 

Dalam hubungannya dengan perayaan Hari Kemerdekaan bersifat seremonial dibedakan pula dari logika pengulangan akan permukaan dipertontonkan melalui perlombaan dan jenisnya. Setiap perlombaan dengan ritual tersendiri dianggap memiliki makna seperti penderitaan akibat penjajahan. 

Suatu zaman dimana sulitnya untuk mendapatkan hak pemenuhan pangan dan sandang. Peristiwa pembatasan hak berbicara bertumpang tindih dengan pembentukan solidaritas melawan penjajahan.

Setiap makna dibalik perlombaan yang bersifat alamiah sebagai teks nampaknya disimulasi melalui media sosial; ia memiliki keterkaitan dengan obyek pengetahuan berubah menjadi tanda kelucuan. Memudarnya esensi kemerdekaan menandai kematian makna yang tercekik antara teks dan konteks peristiwa menampilkan rangkaian narasi dan diskursus, perbedaaan dan identitas, kehidupan dan pemikiran. 

Bagaimana cara kita sekarang untuk membebaskan diri dari lingkaran teks dan konteks peristiwa perayaan kemerdekaan? Tanda yang jelas ditandai oleh diskursus terjadi dalam perlombaan untuk memperingati Hari Kemerdekaan.

Dua jenis perlombaan ditandai: “Si Tua berbicara. Anak-anak menjulurkan mulutnya ke atas dengan ‘tangan’ diikat di belakang. Anak-anak merebut ‘kerupuk’ hingga ludes. 

Lalu di tempat lain,  keseruan anak-anak muda tanggung berebut untuk mengambil ‘koin’ dalam tepung melalui mulut. Tangan mereka juga terikat di belakang. Si Muda menimpali. 

Demikian pula di sebagian kampung lainnya. Lomba mengambil koin dengan mulut pada ‘buah pepaya’ tergantung. Buah itu berlumur minyak dan arang hitam. Lagi-lagi tangan mereka juga diikat ke belakang”.  

Di situlah konteks peristiwa penandaan sebagai ungkapan ganda, yaitu ungkapan retoris dan ungkapan performatif melebur di tengah peringatan Hari Kemerdekaan, yaitu kemerdekaan tanpa kebebasan dan kemerdekaan tanpa kemerdekaan yang berlindung di belakang kedaulatan negara. 

Kulit wajah kita pun diwarnai merah putih bersama bendera merah putih ditunjukkan di dasar laut dan di puncak gunung yang melintasi cara berpikir kita sendiri. Kita mengetahui, bahwa tanda-tanda dan permukaan membebaskan diri dari kedalaman makna menjadi simbol-simbol kebangsaan yang dimainkan sebagai kata-kata atau ungkapan, pernyataan dan identitas: bendera, busana, topi, tarian, dan sebagainya.

Ketiga, ‘penanda ironi’ dan permainan paradoks memiliki keterkaitan dengan gambaran peristiwa hingga menampilkan alur keterbalikan pengulangan perayaan. 

Satu sisi, ‘penghargaan atas perbedaan atau keragaman’ berlawanan dengan pandangan dan sikap intoleransi, kedamaian berbeda kekerasan menyisakan tanda tanya besar. 

Di sisi lain, pengulangan dan penyebaran tanda mengambang bebas dalam realitas. Ketidakhadiran petanda sakral dari Hari Kemerdekaan akan mengaburkan makna teks sesungguhnya dengan menopengi kemiskinan dan ketidakadilan lainnya melalui bentuk upacara peringatan.

Sebagaimana ditunjukkan pada setiap tahun melalui pelaksanaan upacara formal sebagai puncak peringatan Hari Kemerdekaan dilihat sebagai tanda-tanda paradoks yang ditandai. Teks tertulis Proklamasi ditandai: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia .....” Kata-kata dari “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan.” Tetapi, bangsa dan negara kita belum berdaulat “penuh” terutama di bidang pembangunan ekonomi.

Mengapa kita masih melihat ekonomi mengalami ketergantungan pada pihak asing padahal kekayaan sumber daya alam yang melimpah ruah. Apalagi kita masih tetap menyatakan, bahwa ada alasan kemampuan sumber daya manusia masih rendah dan pemerintahan salah urus dalam pengelolaan sumber daya. 

Penanda penjajah dalam bentuk penjajahan, berarti masih ada penindasan di atas permukaan dan di bawah permukaan. 

Apakah kita telah terbebas dari ketidakadilan sehingga kita tidak lagi menyaksikan kedalaman kesenjangan sosial dan diskriminasi hukum? Apakah kita sungguh-sungguh merdeka dari penipuan massal atau pembodohan rakyat? 

Dari titik tolak itu, tanda kemerdekaan berarti teater kejujuran dan utopia keadilan yang berbicara pada dirinya sendiri. Sejarah kita sekarang sesungguhnya adalah sejarah kemerdekaan ‘tanpa kata-kata kemerdekaan’ dan ‘tanpa ilusi kebebasan’. Anak-anak di negeri kita dengan wajah-wajah begitu polos. 

Wajah-wajah polos plus pucat. Maaf, saya lagi ngoceh! jika tidak dikatakan wajah-wajah pucat perlahan mulai memahami apa itu ilusi kebebasan. 

Apa itu akhir dari tanda kemerdekaan?

Suatu penanda ironi yang menandai bagaimana cara kita mampu menghindari ‘pengulangan perayaan (kemerdekaan)’. Filsuf dan sejarawan tidak jarang menggunakan “kaca mata” sejarah pemikiran yang digambarkan ulang kekuatannya. Maka setiap konsep yang dilahirkan adalah bagian dari mata rantai ‘diskursus’ kepahlawanan dan petualangannya yang eksentrik kadangkala bertentangan dengan ‘logika baru dari pengulangan’. 

Seluruh pergerakan penanda ironi dibalik tanda kemerdekaan menyatu dengan logika pengulangan retorika. ‘Kemerdekaan untuk semua’ dari ketidakmerdekaan. Oh, wajah-wajah pucat, maka tersenyumlah! Akhirnya, izin bestie! Saya menghitung. Tujuh belas, Agustus, Dua, Ribu, Dua, Tiga. Momen nestapa adalah momen tanda bagi wajah-wajah pucat orang miskin.

Untuk bestie. Siapakah yang menikmati kemerdekaan? Lapisan masyarakat apakah yang menjaga toleransi? Siapakah yang menumpuk kekayaan dan memperkaya diri? Sejauh manakah mayoritas melindungi minoritas? Mampukah kita memberantas korupsi yang merajalela hingga ke akar-akarnya? Semuanya itu menjadi ‘tanda tanya besar’ bertubi-tubi yang menandai setiap proses penerimaan dan pemisahan tanda-tanda kemerdekaan tanpa syarat yang digambarkan atau dituliskan kembali di hadapan kita. 

Sang Merdeka? Si Daulat? Bagaimana bestie?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun