Keterjarakan jejak-jejak antara mimpi dan ingatan sebagai bentuk keintiman yang menukik, memahami suatu disposisi birahi dan kegairahan pikiran dalam kekuatan ganda, tanpa pemolesan wujud artifisial. Sebagian perjalanan hidupnya, manusia mungkin tidak tertarik untuk berbicara, berhitung, menulis, merasakan, dan bertindak tanpa tubuh eksotis sebagai mediator sekaligus pemicu yang menakjubkan.
Peristiwa dengan pembacaan kembali atas teks atau tanpa ingatan kolektif tentang kekerasan dibandingkan memikirkan dalam-dalam tentang apa arti waswas, merenung, dan membalikkan kekerasan yang baru. Kita mesti banyak belajar di bawah maklumat, teks-teks, dan seni-kritis mengenai kekerasan bergerak ke arah jejak-jejak yang mendasari pemikiran dan ingatan kita.
Kita dipandang unik dari dunia lain berkat kuasa sebagai kenyataan 'panggung hidup' yang dimainkan oleh kekerasan seksual. Ia hanya penjelmaan dari skandal kebenaran dari daya yang lebih kuat dari kuat.Â
Tetapi, seluruh pengetahuan kronologis bagi individu akan tertahan dalam kekuatan ingatan yang kuat, dimana insting-insting, hasrat-hasrat, dan lainnya yang sebelumnya sebagai obyek tidak nyata, akhirnya menjadi relasi antara permainan kebenaran dan kekerasan.
Kekerasan dalam relasi pemikiran antara ingatan dan jejak-jejak bisa dipersembahkan untuk dianalisis kembali. Sedangkan, khayalan dan ingatan bukanlah instrumen, melainkan titik akhir dari pengetahuan yang membuat seseorang lebih serius mengatasi kekerasan.Â
Khayalan dan ingatan menjadi sasaran kekerasan. Dari titik ini, kekerasan dalam bentuk kekerasan rasial akan membelokkan pandangan yang luas dan sirnanya keyakinan mereka yang kuat.
Jika seseorang terasuki dan terbelenggu dalam kebebasan, maka individu berusaha semampu mungkin melalui kekuatan hasratnya yang tidak terpuaskan. Karena hasrat merupakan cetakan diri. Peristiwa kekerasan bagaimanapun juga merupakan bentuk penyaluran.Â
Tetapi, cengkraman rasa malas bergayutan terus menerus tanpa mengenal kelelahan seperti seekor onta dan seekor keledai yang memikul beban maupun juga memiliki insting untuk memperkirakan dunia melalui aura kesabaran dan keteguhan melintasi padang pasir atau daratan yang remeh.
Onta dan keledai merupakan jenis tanda-tanda bahaya jika melampaui batas-batas, melebihi kekuataannya. Manusia perlu iri hati melihat fenomena birahi yang lebih cermat dari dirinya hingga penaklukan yang tersembunyi dalam daya ingat berubah menjadi reaksi amarah terhadap dunia lain.
Berbeda dengan gaya selera, dimana selera dirancang sebagai sarana persuasi sekunder dari ingatan. Kaum intelektual dengan esprit vaste (daya intelektual yang mengembara) sebagaimana situasi-situasi kejiwaan, di sekitar respon-respon kekacauan khayalan bukan lagi suatu rangkaian sintaksitas kegairahan yang cair, melainkan ketidakhadiran pesan.
Seperti seseorang bergembira dengan berputar-putar mengelilingi godaan dan menerbangkan mimpinya ke dunia nyata. Suatu dunia sebagi ruang berpijak mereka. Dari arah lain, kegairahan individu bukanlah sekumpulan mayoritas dan minoritas yang dijadikan obyek pengetahuan. Tetapi bentuk, kekerasan rasial yang keluar dari representasi, tanpa dibumbuhi citra dan kesenangan begitu samar dan rapuh.