"Aku tidak tidak meyakini bahwa mereka berada di awan." Dari mimpi tentang peristiwa tragis di balik kekerasan rasial berlanjut dalam lingkaran pemujaan atas teks-tubuh-konduktor (bintang masa depan yang baru) bergantung sedikit pada desakan akan perubahan.Â
Ia menjadi pelacak jejak-jejak, yang bertugas untuk mematangkan proses pembentukan peristiwa dengan 'darah daging perubahan' (pernyataan-pernyataan dari relasi antara tubuh dan hasrat yang telah disamarkan dengan tinggi, ramping, cantik, mulus, luas, dan diameter) terbebas dari lelucon yang paling kocak.
Bagaimana mencermati taburan cahaya lampu jalan tidak sekedar eksis, lampu biasa yang diselimuti unsur-unsur fisik. Masih adakah cahaya di balik dua bayangan lampu berpijar terang?Â
Pikiran mengenai cahaya optikal masih dihubungkan dengan tubuh atau penglihatan mata yang ditampilkan dunia indera. Cahaya sensasi yang ada pada diri kita merupakan suatu bentuk tubuh setelah pikiran sebagai esensi mendahului identitas benda-benda.Â
Peristiwa tragis telah mengarahkan pada pikiran dengan obyek kekerasan menjadi simulasi yang melebur dalam ingatan. Ketika kita menerima sinyal-sinyal sederhana dari kesadaran.
Kita kembali ke perubahan dengan waktu bergerak menembus tapal batas dunia fisik. Suatu peristiwa kerusuhan rasial terjadi setelah tubuh mengorbankan tubuhnya sendiri.
Sambil menutup mata atau sebaliknya, ada seorang pemimpi atau pemabuk intelek dalam kegilaan. Ra furor brevis est (amarah adalah kegilaan yang singkat). Amarah ini merupakan titik didih dari daya afektif (emosi) berhubungan dengan gairah atau hasrat. Amarah dikoordinasikan dengan tubuh, ilusi, dan balas dendam. Mengapa amarah tidak disebut sebagai kebajikan? Dalam pemikiran modern, Spinoza menafsirkan "amarah (ira) adalah hasrat melalui rasa benci yang kita hasut untuk mengusahakan kejahatannya dengan siapa kita benci" (Ethics, 1959 : 137).
Sejauh ini, amarah tidak pernah memberikan landasan berpikir jernih atau menjadi suatu rententan pemikiran reflektif, dimana satu sisi pikiran menjauhi beban dari daya aktif yang jahat. Meski demikian, setiap rasa sakit bertubi-tubi yang menderanya bisa dilupakan atau dihilangkan. Spinoza masih selalu mempertahankan amarah melalui sisi lain dari ingatan dan mesin sebagai upaya melengkapi kaidah-kaidah kekerasan terhadap diri seseorang.Â
Amarah adalah energi yang memiliki persfektif paling luas terhadap tubuh, dimana momentum rasa sakit atau kebencian ditunaikan. Di bawah kepucatan para pemimpi, bahwa amarah sebagai sifat paling tipikal yang membekukan sebuah pergerakan atau perubahan tanpa kebebasan (Reformasi) yang kebablasan.
Akhirnya, kekerasan atau kerusuhan massa tidak penting apakah dalam peristiwa diskursif, suksesif atau tragis. Setiap orang berhak untuk membuka alur peristiwa-peristiwa murni secara obyektif yang dimuati dengan jejak-jejak dan tanda-tanda melebihi ingatan tentang kekerasan.Â
Setiap orang akan kembali melalui aliran waktu yang membebaskannya dan menggelincirkan kembali dalam peristiwa kekerasan lainnya. Kekerasan pra 21 Mei 1998 sebagai peristiwa yang bukan peristiwa.