Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tentang Erotis Lain dan Kaca Tidak Tembus Cahaya

16 Oktober 2022   09:05 Diperbarui: 18 Maret 2024   13:25 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : bigstockphoto.com

Yang satu ejakulator, lainnya sebagai erektor. Kelangsungan aliran modal dana bantuan yang fantastis dan ironis dalam kehidupan berderma disebut ejakulator kepedulian.

Kadangkala, makin lama menyalurkan ejakulator kepedulian sesama akan mengalami titik jenuh. 

Sedangkan erektor tidak lebih dari kebenaran seks, di mana titik ketegakannya menerobos tabu.

Pergerakan ejakulator peduli sesama tanpa ‘organ vital’. Bentuk ejakulator adalah aliran modal uang. 

Ia menjelma menjadi godaan; ia bergerak secara senyap dan menikung.

Orang melihat petinggi tidak keok lantaran skandal Bansos dan mega skandal lain “lebih” bernafsu gila daripada kasus Aksi Cepat Tanggap (ACT). Kecuali jika sosok petinggi ACT menganggap bukan ‘coleng’ karena dirinya agamawan lebih menggiurkan daripada uang dana.

Lama waktu ketahanan institusi pendidikan keagamaan sebelum gangguan dan ancaman kehidupan alamiah melalui hasrat berahi yang tidak terkontrol. 

Gaya pelepasan kekangan seksual terselubung, yang pada akhirnya terungkap disebut erektor. Baik ejakulator maupun erektor melalui mekanisme kenikmatan.

Tahan berdiri sejak kurang dari satu dekade, ACT beramal dalam kemanusiaan. 

Sementara, mas Bechi sebelum sosok tersangka bisa tahan berdiri sejak 2019, berakhir setelah terkuak kasusnya.

Apa yang baru saja dilihat orang atau pihak terkait yang menganalisis aliran modal dana peduli umat melintasi nomor rekening serupa panggung sebagai satu kenampakan. Keinginan untuk menampakkan ikatan sosial direnggut oleh uang yang diselewengkan.

Bermula dari kecurigaan pada rekening ACT menjadikan mata, telinga, dan penalaran analitis sebuah institusi bernama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan transaksi aneh. Bayangan-bayangan menampakkan dirinya dari ketidaknampakan aliran dana.

Satu sisi, aliran dana yang mengambang bebas seakan-akan menerobos batas-batas teritorial, ruang di mana kemunculannya pertama kali justru bergerak ke beberapa penjuru. 

Pada sisi lain, analisis transaksi keuangan dari institusi kredibel tidak memberi peringatan dini ketidakwajaran. 

Aliran dana itu tidak mengambang bebas, tetapi muncul dengan sendirinya.

Petinggi yang lama dan baru tampaknya tidak berbicara jika institusi amal kemanusiaan itu diduga memiliki jaringan pendanaan terorisme. Gila atau heran?

Setiap gelagat awal mencurigakan bukan berasal dari aura kekerasan (terorisme), melainkan godaan uang. 

Selubung ganda di balik kenampakan berupa dana amal kemanusiaan dan penilaian wajar tanpa pengecualian (WTP) hasil audit dari institusi berwewenang.

Logika permukaan dan kewajaran keuangan yang diraih oleh ACT tidak mutlak menunjukkan yayasan amal tersebut ‘bersih’ dari penyelewengan dana. Orang mengira ACT akan bebas dari godaan.

Bernafsu pada materi yang menguasai institusi peduli sesama akan terjatuh dalam ilusi.

Kekeraskepalaan petinggi ACT mengantarkan pada jurang selera tanpa dasar. Mengambil jalan pintas berisiko tinggi, akhirnya ia kehilangan kepercayaan publik. Justru godaannya berskala jumbo sama besarnya rayu ‘setan pikiran’. 

Miliaran dana amal sebagai penggoda yang dikelola oleh ACT berbeda godaannya dengan institusi amal lain yang hidupnya pas-pasan.

Logika permukaaan menutupi nafsu memperkaya para petinggi dan logika kewajaran keuangan ACT mengelabui ketidakwajaran dana amal. 

Tetapi, penyelewengan dana yang dianalis oleh PPATK berbicara lain. Titik noda tidak tiba-tiba menghilang, malahan bertambah dugaan hingga temuan lain.

Wahai sesama, ambillah pelajaran dari kedok amal! Lihatlah diri Anda ACT! Berbicaralah PPATK! Mengenduslah Bareskrim, BNPT, dan aparat hukum lain!

Dari hasil temuan PPATK yang ditindaklanjuti oleh negara sebagai perang melawan korupsi dan terorisme. Nietzschean berbicara moralitas tuan dan moralitas budak. 

PPATK berbicara temuan tidak wajar atas pengelolaan ACT hasil analisisnya yang menukik.

Tetapi, Nietzschean menihilkan ACT karena “menjual” agama. PPATK tidak menentang Nietzschean akibat fase tragis melewati ketidakrangsangan manusia terhadap yang bukan dirinya. Nafsu dan kenikmatan itulah dirinya. Tamatlah nalar!

PPATK menemukan dana amal per tahun, tetapi menetralkan dirinya terhadap laporan kemerosotan moral atau penghancuran integritas pribadi.

Satu cara PPATK untuk mengetahui tentang seluk beluk pengelolaan dana, apakah tepat sasaran atau tidak melalui analisis, yang diyakininya jelas dan nyata. 

Ia tidak memiliki kewenangan mengembar-gemborkan kemorosotan moral. Ia menunjukkan ke mana daya nalar pengurus ACT takluk di hadapan dana amal.

Jika dilihat dari kasusnya yang cukup berat, ACT menghidupkan manusia sekaligus meruntuhkan martabatnya. Mengapa tidak? Karena ia bermain dalam pelanggaran batas-batas. 

Negara memiliki aturan main tentang batas alokasi dana bantuan sesama, yang ditabrak oleh ACT.

Bagi institusi berwewenang, ia tidak mengkriminalkan nafsu syahwat dunia atau berfasilitas mewah dari sumber ACT, melainkan penyelewengan dana. 

Pihak berwewenang tidak akan melakukan proses hukum bagi petinggi yang memperkaya diri selama sumbernya sah, tanpa mengeruk keuntungan dibalik dana amal.

Melalui cara dan sumbernya jelas, sah atau transparan tidak dikenakan pasal kriminalitas.

Bagaimanapun juga, aroma penyelewengan dana, sekalipun disembunyikan berlapis-lapis, akhirnya akan terendus. Hanya soal waktu saja untuk membuka kedoknya.

Fakta berbicara ketika ACT dinilai bersih dan jelas oleh institusi audit publik, ternyata menyimpan ‘bom waktu’, yang siap meledak kapan saja. Ditutupi kebenarannya, terbukti begitu rawan penyelewengan.

ACT menggambarkan dirinya sebagai pemilik kehidupan yang bermanfaat bagi sesama. Kehidupan sosial diubahnya menjadi mistisisme kedermawanan yang melimpah di tengah orang-orang yang masih menunggu uluran tangan.

Sisa apalagi yang ditorehkan oleh ACT sebagai pergerakan amal kemanusiaan, yang berakhir dengan keputusan pemerintah untuk mencabut izin pengumpulan uang dan barang. Peraturan ditegakkan dari kedermawanan yang memilukan. (suara.com, 06/07/2022)

***

Betapa senangnya sebelum ketahuan! Hidup yang menantang! Dia belum penasaran pada godaan besar yang bukan lelucon kecil dari kenekatan berbahaya. 

Gangguan moral mempunyai kepentingan bagi “spiritualitas” berahi antara pria dan wanita. Bahwa seluruh jiwanya yang digelapkan oleh hentakan nafsu berahi tidak terhindarkan sulit disembuhkan.

Kehidupan agama dan diskursusnya, tatkala tujuan dan nilainya nampak akan lenyap.

Sekian hari, pelanggaran norma agama melemparkan tubuhnya dalam dekapan nafsu berahi. Tidak semua api asmara dipadamkan dan diselesaikan melalui pernikahan yang sah.

Dia tidak akan pernah lagi menampilkan kesucian dirinya akibat perbuatan nista. Ia juga tidak menemukan keindahan saat perbudakan nafsu berahi bercokol dalam sosok pria. 

Apalagi sosok pria yang dihormati karena kharisma terbentuk dari aura keagamaan, yang mengedepankan tanda kesalehan.

Selang waktu sekian lama, hukum belum membatasi ruang geraknya. Sosok pria anak dari pimpinan institusi pendidikan keagamaan mengalami mabuk godaan nafsu berahi. 

Wajah yang lugu dari sosok pria itu terletak di atas semua kesalehan yang memalukan.

Muslihat ‘setan pikiran’ merasuk dalam sukma di balik penampilan tubuh sosok pria. Dunia yang membawanya ke bisikan menggoda telah meruntuhkan tanda keilahian. 

Namun demikian, kematian manusia yang bisa mengakhiri kehidupan seksual. 

Kebenaran seks yang dianugerahkan pada setiap orang sebagai tanda kuasa Ilahi tiba-tiba memasuki kegelapan.

Tumpahan cahaya ilahi dilengahkan oleh nafsu berahi yang tidak terkontrol berganti menjadi sosok bayangan monster nyata menyelinap dalam pikiran. 

Kita kehilangan dimensi ruhani. Kebenaran seks tidak melulu dari unsur badaniah.

Godaan adalah telikung yang mengaburkan kebenaran seks, membuat tarik-menarik dengan pikiran dalam kenyataan bahwa seseorang mengidentifikasi dirinya melalui pilihan.

Dalam kaitannya dengan batalnya pencabutan izin operasional pondok pesantren (Ponpes) Shiddiqiyyah karena alasan ditujukan pada pria penggoda, sosok tersangka kasus pencabulan sudah menyerahkan ke pihak berwajib. Pencabulan datang dari godaan.

Selain itu, dari pemerintah menunjukkan alasan yang bersifat individual sebagai oknum, bukan bersifat institusional. Sehingga ketidakterlibatan institusi dilapisi alasan agar para santri bisa kembali belajar dengan aman dan terkendali. (kompas.com, 12/07/2022)

Setiap institusi pendidikan keagamaan menempatkan tantangan berada dalam lingkaran pengetahuan, nafsu, dan godaan. 

Secara umum, Ponpes tersebut dibatalkan pencabutan izin operasionalnya karena ada kaitannya dengan bahasa, disiplin ilmu, kharisma, tradisi, dan seks.

Tetapi, di atas pelarangan atas nafsu berahi yang bejat berupa pencabulan dan penyimpangan seks berlawanan dengan pelanggaran hukum dan agama yang diterapkan oleh negara dan Ponpes tersebut.

Hukum yang dibentuk oleh negara menetapkan garis tertentu, Ponpes menanamkan dan menumbuhkan agama sebagai disiplin ilmu dan bahasa atau jalan untuk menempatkan kebenaran seks sesuai tingkat pemahaman para santri. 

Para mursyid memiliki hubungan dialogis dengan murid, yang mengubah jalinan kaku dari dominasi dan terpusat.

Hukum dan agama masing-masing memilki logika yang berbeda. Meskipun berbeda cara dan pendekatannya, hukum dan agama berpotensi untuk dilanggar.

Batalnya pencabutan izin operasional dari Ponpes Shiddiqiyyah, Jombang Jawa Timur (sudah terang-terangan menyebut tempat kejadian perkaranya) juga demi hukum. 

Disebutkan sebelumnya oleh pemerintah bahwa ia bukan jenis kasus institusional, melainkan kasus yang melibatkan sosok pria sebagai oknum.

Kita bisa membayangkan arah peristiwa dan kemana kasus pencabulan dan perundungan terhadap santriwati yang dilakukan oleh sosok pria normal diselesaikan secara hukum. 

Hanya satu tersangka; ia bukan berarti bisa digeneralisasi begitu saja sebagai satu pelanggaran.

Paling penting, bagaimana sosok pria tersangka diperhadapkan dengan proses hukum, yang ditangani oleh aparat yang berwewenang. Menyangkut sebuah pelanggaran agama atas kasus pencabulan tentu memiliki perspektif lain.

Keterlibatan hukum negara dan prinsip agama yang dibangun oleh Ponpes tersebut bukan hanya mendapatkan pemahaman tentang ketaatan dan jalan keselamatan. 

Tetapi, ia juga menjadi momen godaan dan nafsu, jeda godaan dan nafsu, resiko godaan dan nafsu, dan ketidakberuntungan godaan dan nafsu terutama dari si durjana.

Ponpes tersebut nampaknya menggambarkan seks menurut diskursus agama yang agak tersembunyi. Setiap orang akan digoda oleh seks, dari ketaatan hingga pelanggaran norma.

Di luar manusia atau pria hidung belang, di manakah godaan dan nafsu berahi bercokol? Apakah nafsu yang berujung pada pencabulan hanya diperankan oleh pria secara individual?

Jika godaan tidak pernah menjadi keluaran daya pikat badaniah. Sebuah telikung, Ponpes tidak harus bersentuhan dengan godaan dan bayang-bayang hukum. 

Ponpes menghasilkan pelanggaran samar-samar atau bebas dari godaan? Ia menghasilkan pelanggaran samar-samar atau bebas dari godaan?

Kasus ACT dan oknum dari institusi pendidikan keagamaan adalah korban dari sesuatu yang erotis. Aliran erotis sama dengan sesuatu yang menggiurkan datang dari benda-benda, obyek, dan tubuh. 

Akhirnya, karena izin dicabut, maka ACT membuatnya loyo. Ponpes Shiddiqiyyah kembali berdiri tegak. Godaan dan nafsu pun melintasi tubuh.

Tubuh bukan lagi untuk dimiliki. Tubuh sebagai anugerah perlu disayangi dan dilindungi lantaran nilai tanda berharga. Lihatlah tubuhku! Anda tidak bebas lagi menjamaku! Benda-benda, obyek, dan tubuh yang menggiurkan menjadi debu tebal akan menghalangi cahaya dalam diri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun