Kita bisa membayangkan arah peristiwa dan kemana kasus pencabulan dan perundungan terhadap santriwati yang dilakukan oleh sosok pria normal diselesaikan secara hukum.Â
Hanya satu tersangka; ia bukan berarti bisa digeneralisasi begitu saja sebagai satu pelanggaran.
Paling penting, bagaimana sosok pria tersangka diperhadapkan dengan proses hukum, yang ditangani oleh aparat yang berwewenang. Menyangkut sebuah pelanggaran agama atas kasus pencabulan tentu memiliki perspektif lain.
Keterlibatan hukum negara dan prinsip agama yang dibangun oleh Ponpes tersebut bukan hanya mendapatkan pemahaman tentang ketaatan dan jalan keselamatan.Â
Tetapi, ia juga menjadi momen godaan dan nafsu, jeda godaan dan nafsu, resiko godaan dan nafsu, dan ketidakberuntungan godaan dan nafsu terutama dari si durjana.
Ponpes tersebut nampaknya menggambarkan seks menurut diskursus agama yang agak tersembunyi. Setiap orang akan digoda oleh seks, dari ketaatan hingga pelanggaran norma.
Di luar manusia atau pria hidung belang, di manakah godaan dan nafsu berahi bercokol? Apakah nafsu yang berujung pada pencabulan hanya diperankan oleh pria secara individual?
Jika godaan tidak pernah menjadi keluaran daya pikat badaniah. Sebuah telikung, Ponpes tidak harus bersentuhan dengan godaan dan bayang-bayang hukum.Â
Ponpes menghasilkan pelanggaran samar-samar atau bebas dari godaan? Ia menghasilkan pelanggaran samar-samar atau bebas dari godaan?
Kasus ACT dan oknum dari institusi pendidikan keagamaan adalah korban dari sesuatu yang erotis. Aliran erotis sama dengan sesuatu yang menggiurkan datang dari benda-benda, obyek, dan tubuh.Â
Akhirnya, karena izin dicabut, maka ACT membuatnya loyo. Ponpes Shiddiqiyyah kembali berdiri tegak. Godaan dan nafsu pun melintasi tubuh.